Kedudukan Tanpa Kehormatan
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
15 September 2015
Banyak orang mencari
kehormatan dalam gelar dan jabatan tanpa memenuhi nilai-nilai prinsipil dan
tanggung jawab dari kedudukannya. ”Aib
terbesar,” kata Juvenalis, ”ketika
kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi
kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”
Sutan Sjahrir, salah
seorang negarawan-pemikir terbaik bangsa ini, sejak lama merisaukan fenomena
seperti itu. Dalam catatan harian dari balik penjara, dengan nama samaran
Sjahrazad, yang dibukukan dalam Renungan Indonesia, Bung Sjahrir menulis, ”Bagi kebanyakan orang-orang kita ’yang
bertitel’—saya pakai perkataan ini akan pengganti ’intelektuil’, sebab di
Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek, akan
tetapi pendidikan sekolah—bagi ’orang-orang yang bertitel’ itu pengertian
ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka
ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakekat yang hidup,
berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.”
Masalah kegilaan pada
titel (gelar) tanpa kedalaman ilmu, yang dicatat Bung Sjahrir pada 20 April 1934
itu, situasinya tidak tambah membaik, bahkan memburuk. Upaya peningkatan mutu
sumber daya manusia hanya dilandaskan pada tingkat pendidikan formal, bukan
pada penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan olah budi, olah cipta,
dan olah karsa (kreativitas). Perolehan ijazah lebih dikedepankan daripada
penguasaan ilmu. Guru-guru dipersyaratkan setidaknya menamatkan S-2, tanpa
dihiraukan peningkatan kapasitas pedagogisnya.
Seiring dengan itu,
gelar-gelar akademis dikejar banyak orang sebagai pelengkap jabatan. Makin
banyak politisi mengambil studi pascasarjana, tetapi makin sedikit yang
menjalani sungguh-sungguh dengan motif pendalaman ilmu. Lebih parah lagi,
kecenderungan itu melanda dunia akademisi juga. Banyak dosen/peneliti memburu
gelar profesor tanpa merasa perlu mempertanggungjawabkan mutu keilmuannya
sebagai guru besar. Betapa banyak profesor tidak dikenal apa karyanya.
Kegilaan banyak orang
juga berlangsung dalam perlombaan mengejar jabatan kenegaraan. Ketika
kekaguman pada ”nama-nama besar” mulai pudar akibat kemerosotan wibawa
pusat-pusat teladan, banyak orang mengalihkan kekagumannya pada diri sendiri
(self-glorification). Hanya berbekal
penampilan, gemar blusukan, atau berkantong tebal, seseorang sudah merasa
pantas menjadi pejabat teras di negeri ini.
Berbagai cara
dilakukan orang untuk meraih kedudukan. Namun, tatkala kedudukan itu diraih,
mereka tak sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya pejabat yang harus
melindungi kehormatannya. Menjadi pejabat negara semestinya mensyaratkan
kondisi kejiwaan berbeda dengan menjadi pengusaha. Di bisnis, keberhasilan
dilihat dari kesanggupan dalam mendatangkan keuntungan bersifat pribadi. Dalam
politik, keberhasilan diukur dari keberhasilan seseorang dalam memberikan
pelayanan publik.
Oleh karena itu,
pencapaian jabatan politik lebih dari sekadar pencapaian karier pribadi,
tetapi juga mengemban pencapaian kepentingan kolektif di pundaknya. Maka,
dalam tindak tanduknya, pejabat negara harus mempertimbangkan marwah dan
harga diri bangsa. Perilaku dan pilihan-pilihan pejabat negara dibatasi oleh
tugas pokok dan fungsinya. Berkunjung ke luar negeri untuk mengunjungi
pusat-pusat perbelanjaan, ber-selfie ria, bertemu pengusaha terkenal, bahkan
menghadiri kampanye politik, bukan sesuatu yang tidak terpuji dalam konteks
perseorangan. Akan tetapi, bisa bermasalah jika hal itu dilakukan pejabat
negara. Setiap pejabat negara pada dasarnya bertindak mewakili rakyatnya dan
harus menyadari dalam bidang apa dia mengemban mandat rakyatnya itu. Pimpinan
DPR tentu mewakili rakyat dalam legislatif, bukan dalam urusan menarik
investasi dari luar negeri.
Perpaduan antara
kegilaan atas gelar dan jabatan tanpa kedalaman ilmu, rasa malu, dan
kehormatan membuat negara ini mengalami defisit kemuliaan dan surplus
kehinaan. Perhatian negarawan mulia adalah apa yang dapat diberikan untuk
negara. Kebesaran jiwa mereka membuatnya tak mencari jabatan dan tak takut
kehilangan jabatan. Adapun perhatian politisi terhina adalah apa yang dapat
diambil dari negara. Kekerdilan jiwa membuat mereka berlomba mengejar jabatan
dan dengan segala cara manipulatif berusaha mempertahankannya.
Benar juga kata George
Bernard Shaw, ”Titel/jabatan memberi
kehormatan kepada orang-orang medioker, memberi rasa malu bagi orang-orang
superior, dan diperhinakan oleh orang-orang inferior.” Gemuruh para
petaruh di bursa pencari jabatan pertanda pos-pos kenegaraan diisi
orang-orang medioker. Derasnya umpatan, sinisme, dan ketidakpercayaan publik
kepada lembaga-lembaga kenegaraan menyiratkan bahwa pos-pos kenegaraan
dipimpin orang-orang inferior.
Para pemimpin inferior
yang menggantungkan pengaruhnya pada jabatan dan gelar semata, bukan
berlandaskan kewibawaan yang berjejak pada kapasitas, integritas, dan
pemenuhan amanah publik, tidaklah bisa berumah di hati rakyat. Pemimpin ada
kalau mereka hadir dalam alam kesadaran dan penderitaan rakyat. Bung Karno
mengatakan, ”Mereka seharusnya belajar
bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam
lingkungan mereka.... Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik
tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas
rakyat.” Secara retoris, Bung Karno juga mempertanyakan, ”Berapa orangkah dari alam pemimpin
Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar ’rakyati’ seperti dulu, masih
benar-benar ’volks’ seperti dulu?” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar