Menggantang Asap
Suhardi Suryadi ; Direktur Program Prisma Resource Centre
|
KOMPAS,
17 September 2015
Bagi ilmuwan,
kebakaran hutan adalah hantu lingkungan karena telah menurunkankesuburan
tanah, mengancam biodiversitas, mengurangi aset hutan, hingga meningkatkan
pemanasan global.
Menurut FAO, kebakaran
hutan terjadi hampir di 95 negara, mencakup 500 juta hektar setiap tahun. Di
samping oleh faktor alam, hutan terbakar juga dipicu aktivitas pertanian
manusia. Pembakaran adalah teknik paling tua, berbiaya murah, dan efektif
dalam pembersihan lahan yang dipakai ribuan petani, peternak, dan pemilik
perkebunan.
Indonesia merupakan
satu dari 10 negara yang paling sering dilanda kebakaran dan cenderung
meningkat intensitas dan lokasinya. Menurut World Resource Institute (WRI), kebakaran hutan di Provinsi Riau
masuk kategori pola besar dan salah satu peristiwa kebakaran dengan rekor
terburuk sejak 2001. Demikian pula yang terjadi di Jambi dengan luas lahan
gambut yang terbakar sangat cepat 33.000 hektar dalam kurun dua pekan
(Kompas, 9 September 2015).
Sekalipun melanda
banyak negara, dalam perspektif politik, peristiwa kebakaran hutan selama ini
menggambarkan ketakmampuan Indonesia di dunia internasional mengatasi
kebakaran yang terus berulang, terutama di Sumatera.Melihat data historis
dari 2001 sampai 2012, Sumatera mengalami rata-rata 20.000 peringatan titik
api setiap tahun. Peringatan titik api biasanya muncul Juni hingga September
(WRI, 26 Juni 2013) dan kabut asap yang ditimbulkannya mengganggu masyarakat
lokal dan tetangga, Singapura dan Malaysia.
Kambing hitam
Kebakaran hutan
merupakan persoalan serius dalam konteks pembangunan di Indonesia.
Penyebabnya sering terkait dengan pembersihan lahan perkebunan dengan
komoditas utama kelapa sawit, industri kayu, dan kertas. Data WRI 2014
mencatat bahwa titik api sebagai pemicu kebakaran hutan dan lahan terjadi di
perkebunan HTI (22 persen), sawit (13 persen), areal HPH (3 persen), dan 63
persen di luar wilayah konsesi.
Tak termungkiri,
masyarakat dan perusahaan berandil besar atas setiap kebakaran hutan. Namun,
tak adil jika pemerintah cu- ci tangan atas hal ini. Berulangnya kebakaran
hutan dengan pola lebih masif tak lepas dari cara penanganan dan pengendalian
pemerintah.
Langkah pemadaman
kebakaran terkesan reaksioner karena umumnya dilakukanketika titik api sudah
membesar dan meluas. Terlebih lagi teknis operasinya mengandalkan
penyemprotan air dari udara yang kurang efisien dari sisi sumber daya dan tak
relevan dalam situasi krisis air. Ini diperburuk dengan lemahnya penegakan
hukum terhadap masyarakat lokal dan perusahaan yang membakar hutan.
Sebagai contoh, meski
sudah dapat ditentukan ukuran kebakaran dan di mana lokasinya, pe- merintah
acap gagap dan gagal memublikasikan di mana perusa- haan sawit, kertas, dan
kayu yang melakukan pembakaran. Ini memberi kesan pemerintah tak
sungguh-sungguh mencegahnya dengan beberapa indikasi.
Pertama, penyediaan
anggaran yang tak memadai untuk membangun sistem pencegahan kebakaran agar
tak meluas. Misal saja, untuk kebakaran 1997/1998 dana yang disediakan Rp 400
miliar (termasuk bantuan luar negeri) untuk mengatasi 8 juta hektar areal
yang terbakar atau Rp 50.000 per hektar (Coachrane,
2003).
Kedua, kebijakan
paradoks: pemerintah membangun konstruksi untuk melindungi banjir di perkotaan
dan pertanian, tapi kurang memberi perhatian pembangunan infrastruktur
penyedia air pada musim kering di wilayah rawan kebakaran. Paradoks lain juga
terlihat dari kesungguhan menangani kebakaran di satu sisi, tetapi di sisi
lain tak dibarengi dengan pembatasan izin perluasan perkebunan sawit yang
jadi sumber kebakaran.
Ketiga, pelibatan
masyarakatyang rendah dalam pencegahan dan pemadaman kebakaran sehingga warga
apatis dan beranggapan pemadaman kebakaran hutan urusan pemerintah. Bahkan,
tokoh masyarakat formal ataupun informal cenderung meninggalkan lokasi
tatkala kebakaran. Kalaupun melibatkan masyarakat, misalnya dengan membentuk
Masyarakat Pengendalian Kebakaran, itu lebih legal formal, tak dibangun
berdasarkan kebutuhan dan sistem yang berlaku di masyarakat.
Kebakaran hutan dewasa
ini sudah pada tahap krisis. Kerugian ekonomi nyata dan tidak akibat
kebakaran hutan sekitar 3.509 juta dollar AS (ISAS Study 1998). Kondisi hutan
sebagai sumber produksi dan perlindungan kualitas air, kelangsungan nasib
hewan liar, serta sumber nafkah dan kesehatan masyarakat akan bergantung pada
kemampuan aparat memastikan jalannya penegakan hukum, koordinasi yang lebih
baik di antara institusi pemerintah, serta tanggung jawab perusahaan dalam
mengelola usahanya.
Namun, hal terpenting
adalah menjamin kemakmuran masyarakat di wilayah kebakaran karena tingkat
kemiskinan yang tinggi, terutama di daerah lahan gambut. Dengan perbaikan
kesejahteraan, masyarakat kelak jadi garda terdepan dalam mencegah dan
memadamkan kebakaran. Sebaliknya, tanpa perbaikan sumber nafkah dan pelayanan
sosial bagi warga, kesenjangan pendapatan melebar sekaligus meningkatkan
risiko kebakaran.
Kunjungan presiden ke
lokasi kebakaran hanyalah seremoni jika tanpa diikuti langkah kebijakan nyata
dalam penanganan kebakaran hutan. Sebagai forester,
presiden cukup paham bagaimana mengatasi krisis ini. Jika tidak, itu akan
membuatIndonesia selamanya memproduksi asap bagi warganya sendiri dan warga
negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar