Masa Depan Rekayasa Kasus
Haris Azhar ; Koordinator Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS)
|
KORAN
SINDO, 04 September 2015
Nasi sudah menjadi bubur. Nasib Dedi sudah telanjur hancur. Ia
telah mendekam dipenjara 10 bulan. Lebih tragis, anak semata wayangnya
berumur tiga tahun meninggal saat dia dipenjara akibat kurang gizi.
Dedi adalah tukang ojek korban salah tangkap kepolisian pada 25
September 2014 karena dituduh membunuh sopir angkot. Oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Timur, dia divonis dua tahun dan ditahan di Rumah Tahanan Cipinang.
Namun, awal Agustus 2015 dia dibebaskan melalui putusan pengadilan banding.
Tapi, nama baiknya hancur, sudah kadung dicap sebagai pembunuh. Anaknya pun
meninggal.
Kasus Dedi cukup membetot perhatian media massa. Perkara ini
ramai diperbincangkan karena menggambarkan betapa sembrono kerja para penegak
hukum sejak penyidikan hingga proses peradilan dalam pencarian fakta
sebenarnya pada persidangan. Terjadi kriminalisasi dan rekayasa kasus agar
terkesan ada yang bertanggung jawab dan memenuhi target pengungkapan dan
penyelesaian perkara.
Tahun ini tema kriminalisasi dan rekayasa kasus memang tampak
begitu heboh. Dalam skala lebih besar, kita tentu masih ingat penangkapan dan
penetapan tersangka dua komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang
Widjojanto (BW) dan Abraham Samad (AS). Dua aktivis pemberantasan korupsi itu
dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri tak lama setelah KPK menetapkan Budi
Gunawan (BG) sebagai tersangka.
Masih dari dalam KPK, penyidik senior KPK Novel Baswedan juga
harus diciduk ke Bareskrim Polri pada 1 Mei 2015 dini hari dan menjalani
pemeriksaan pada pagi buta. Dia dipaksa menjalani pemeriksaan dan
rekonstruksi yang dipaksakan tanpa didampingi kuasa hukum. Sejumlah hukum
acara pun banyak yang dilanggar.
Kasus BW dan AS ini diduga kuat sebagai upaya kriminalisasi
terhadap KPK karena telah menempatkan BG sebagai pesakitan. Tentu tak ada
yang membantah bahwa hukum harus ditegakkan, tiap kejahatan harus diberikan
sanksi dan diproses secara hukum. Namun, apa yang akan terjadi jika
kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum disalahgunakan untuk
kepentingan lain karena motif dan tujuan tertentu?
Lebih dramatis lagi bila kasus tersebut sebenarnya tidak pernah
terjadi. Contoh kasus lain yang dipaksakan yaitu serangkaian pemidanaan yang
dipaksakan dalam kasus tuduhan sodomi di Jakarta
Intercultural School (JIS). Pemberitaan yang masif mendorong polisi untuk
menangkap dan menetapkan pelaku meski di persidangan semua pelaku membantah
karena mengaku disiksa selama diperiksa polisi.
Satu orang petugas kebersihan, Azwar, bahkan mengalami siksaan
hebat dan meninggal dalam proses penyidikan. Lima orang petugas kebersihan
yang lain pun dipenjara dan divonis bersalah untuk suatu perbuatan yang
mereka tidak pernah melakukannya. Situasi dan opini publik yang berkembang
saat itu memang tidak menguntungkan lima petugas cleaning service yang bekerja di JIS itu.
Publik pun bersimpati kepada polisi ketika polisi menciduk
mereka. Pemberitaan yang masif telah memojokkan mereka sebab tak seorang pun
yang tampaknya setuju dengan kekerasan seksual apalagi terhadap anak-anak.
Belakangan hal yang sama juga menimpa Ferdinant Tjiong dan Neil Bantleman,
dua pengajar di JIS.
Penggunaan kekerasan dan penyiksaan agar tersangka mengikuti
skenario penyidikan adalah perbuatan keji yang layak kita tolak. Perlu ada
perbaikan sistem peradilan dan sistem penanganan hukum yang lebih holistik di
Indonesia agar proses seperti ini tidak terus terjadi. Proses hukum yang
dipaksakan sejak awal akan menimbulkan banyak kejanggalan-kejanggalan yang
pelan, tapi pasti akan terungkap.
Masih dalam kasus JIS. Indikasi bahwa banyak terjadi rekayasa
dan kejanggalan di kasus JIS yang sebelumnya tidak banyak diketahui publik
ternyata ditemukan oleh tim KontraS yang memantau kasus ini. Pertama,
penyidik mengabaikan fakta-fakta yang berbeda dengan cerita ibu pelapor.
Misalnya, berdasarkan absensi kerja, beberapa para pekerja
kebersihan yang saat ini menjadi terpidana (termasuk almarhum Azwar) tidak
sedang bertugas di Pondok Indah Elementary (PIE) lokasi yang dikatakan
terjadi kekerasan seksual.
Kedua, hasil pemeriksaan medis dari tiga lembaga ternama di
dalam negeri SOS Medika, RSCM, dan RSPI menyatakan kondisi anus anak pertama,
MAK, normal. Hal ini diperkuat hasil medis RS KK Women’ and Children’s
Hospital Singapura yang menyatakan kondisi lubang pelepas anak kedua, AL,
tetap normal dan tidak mengalami luka.
Ketiga, berkas acara menyebutkan MAK (yang dianggap sebagai
korban) mengalami 13 kali sodomi oleh lima orang dewasa selama periode
Januari-Maret 2014. Jika hal itu benar terjadi, sangat tidak masuk akal
kondisi lubang pelepasan MAK dalam keadaan normal saat dilakukan pemeriksaan
medis: SOS Medika pada 22 Maret 2014, RSCM pada 25 Maret 2014, dan RSPI pada
27 Maret 2014.
Sejak proses penyidikan, persidangan, hingga putusan pengadilan
di tingkat pertama, tampak majelis hakim cenderung lebih terbawa pada opini
publik yang sudah telanjur mengadili para terdakwa. Belakangan Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta pada 14 Agustus 2015 menganulir keputusan Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap dua guru JIS dengan menyatakan keputusan
PN Jakarta Selatan tidak cermat dan tidak matang dalam pembuktian. Di Pengadilan
Singapura, para terdakwa guru JIS juga memenangkan gugatan kasus JIS sesuai
dengan fakta persidangan dan pemeriksaan medis dari Rumah Sakit KK Women’s
and Children’s Hospital.
Apa pun dalihnya, kasus ini menarik lantaran belakangan
terungkap salah satu motif kasus ini patut diduga adalah persoalan ekonomi.
Orang tua siswa JIS berinisial TPW menggugat secara perdata JIS di kasus ini
dengan angka fantastis, senilai USD125 juta atau sekitar Rp1,6 triliun.
Belajar dari kasus-kasus di atas, ada banyak hal yang perlu kita
perbaiki. Kita memerlukan proses penyelesaian hukum yang mengedepankan
hak-hak asasi manusia dan perilaku para penegak hukum yang adil dan fair.
Sungguh memilukan bila penegakan hukum dilakukan dengan
cara-cara yang justru melanggar hukum, bahkan sangat tragis bila itu
dilakukan dengan merobohkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan itu sendiri.
Bila kasus-kasus seperti ini tak segera dibenahi, akan menjadi ancaman bagi
tiap warga negara Indonesia, terutama “orang kecil” yang tidak memiliki akses
dan kekuatan pada hukum.
Indonesia membutuhkan peradilan yang bersih, bebas dari rekayasa
dan kriminalisasi. Juga bersih dari praktik suap-menyuap oknum selama proses
hukum dilakukan. Suatu perkara yang sejak awal didesain akan banyak menimbulkan
dampak kerugian besar, baik bagi individu, institusi, maupun hukum pidana itu
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar