Senin, 07 September 2015

Masa Depan Rekayasa Kasus

Masa Depan Rekayasa Kasus

Haris Azhar  ;  Koordinator Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
                                                KORAN SINDO, 04 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Nasi sudah menjadi bubur. Nasib Dedi sudah telanjur hancur. Ia telah mendekam dipenjara 10 bulan. Lebih tragis, anak semata wayangnya berumur tiga tahun meninggal saat dia dipenjara akibat kurang gizi.

Dedi adalah tukang ojek korban salah tangkap kepolisian pada 25 September 2014 karena dituduh membunuh sopir angkot. Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dia divonis dua tahun dan ditahan di Rumah Tahanan Cipinang. Namun, awal Agustus 2015 dia dibebaskan melalui putusan pengadilan banding. Tapi, nama baiknya hancur, sudah kadung dicap sebagai pembunuh. Anaknya pun meninggal.

Kasus Dedi cukup membetot perhatian media massa. Perkara ini ramai diperbincangkan karena menggambarkan betapa sembrono kerja para penegak hukum sejak penyidikan hingga proses peradilan dalam pencarian fakta sebenarnya pada persidangan. Terjadi kriminalisasi dan rekayasa kasus agar terkesan ada yang bertanggung jawab dan memenuhi target pengungkapan dan penyelesaian perkara.

Tahun ini tema kriminalisasi dan rekayasa kasus memang tampak begitu heboh. Dalam skala lebih besar, kita tentu masih ingat penangkapan dan penetapan tersangka dua komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW) dan Abraham Samad (AS). Dua aktivis pemberantasan korupsi itu dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri tak lama setelah KPK menetapkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka.

Masih dari dalam KPK, penyidik senior KPK Novel Baswedan juga harus diciduk ke Bareskrim Polri pada 1 Mei 2015 dini hari dan menjalani pemeriksaan pada pagi buta. Dia dipaksa menjalani pemeriksaan dan rekonstruksi yang dipaksakan tanpa didampingi kuasa hukum. Sejumlah hukum acara pun banyak yang dilanggar.

Kasus BW dan AS ini diduga kuat sebagai upaya kriminalisasi terhadap KPK karena telah menempatkan BG sebagai pesakitan. Tentu tak ada yang membantah bahwa hukum harus ditegakkan, tiap kejahatan harus diberikan sanksi dan diproses secara hukum. Namun, apa yang akan terjadi jika kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum disalahgunakan untuk kepentingan lain karena motif dan tujuan tertentu?

Lebih dramatis lagi bila kasus tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi. Contoh kasus lain yang dipaksakan yaitu serangkaian pemidanaan yang dipaksakan dalam kasus tuduhan sodomi di Jakarta Intercultural School (JIS). Pemberitaan yang masif mendorong polisi untuk menangkap dan menetapkan pelaku meski di persidangan semua pelaku membantah karena mengaku disiksa selama diperiksa polisi.

Satu orang petugas kebersihan, Azwar, bahkan mengalami siksaan hebat dan meninggal dalam proses penyidikan. Lima orang petugas kebersihan yang lain pun dipenjara dan divonis bersalah untuk suatu perbuatan yang mereka tidak pernah melakukannya. Situasi dan opini publik yang berkembang saat itu memang tidak menguntungkan lima petugas cleaning service yang bekerja di JIS itu.

Publik pun bersimpati kepada polisi ketika polisi menciduk mereka. Pemberitaan yang masif telah memojokkan mereka sebab tak seorang pun yang tampaknya setuju dengan kekerasan seksual apalagi terhadap anak-anak. Belakangan hal yang sama juga menimpa Ferdinant Tjiong dan Neil Bantleman, dua pengajar di JIS.

Penggunaan kekerasan dan penyiksaan agar tersangka mengikuti skenario penyidikan adalah perbuatan keji yang layak kita tolak. Perlu ada perbaikan sistem peradilan dan sistem penanganan hukum yang lebih holistik di Indonesia agar proses seperti ini tidak terus terjadi. Proses hukum yang dipaksakan sejak awal akan menimbulkan banyak kejanggalan-kejanggalan yang pelan, tapi pasti akan terungkap.

Masih dalam kasus JIS. Indikasi bahwa banyak terjadi rekayasa dan kejanggalan di kasus JIS yang sebelumnya tidak banyak diketahui publik ternyata ditemukan oleh tim KontraS yang memantau kasus ini. Pertama, penyidik mengabaikan fakta-fakta yang berbeda dengan cerita ibu pelapor.
Misalnya, berdasarkan absensi kerja, beberapa para pekerja kebersihan yang saat ini menjadi terpidana (termasuk almarhum Azwar) tidak sedang bertugas di Pondok Indah Elementary (PIE) lokasi yang dikatakan terjadi kekerasan seksual.

Kedua, hasil pemeriksaan medis dari tiga lembaga ternama di dalam negeri SOS Medika, RSCM, dan RSPI menyatakan kondisi anus anak pertama, MAK, normal. Hal ini diperkuat hasil medis RS KK Women’ and Children’s Hospital Singapura yang menyatakan kondisi lubang pelepas anak kedua, AL, tetap normal dan tidak mengalami luka.

Ketiga, berkas acara menyebutkan MAK (yang dianggap sebagai korban) mengalami 13 kali sodomi oleh lima orang dewasa selama periode Januari-Maret 2014. Jika hal itu benar terjadi, sangat tidak masuk akal kondisi lubang pelepasan MAK dalam keadaan normal saat dilakukan pemeriksaan medis: SOS Medika pada 22 Maret 2014, RSCM pada 25 Maret 2014, dan RSPI pada 27 Maret 2014.

Sejak proses penyidikan, persidangan, hingga putusan pengadilan di tingkat pertama, tampak majelis hakim cenderung lebih terbawa pada opini publik yang sudah telanjur mengadili para terdakwa. Belakangan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 14 Agustus 2015 menganulir keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap dua guru JIS dengan menyatakan keputusan PN Jakarta Selatan tidak cermat dan tidak matang dalam pembuktian. Di Pengadilan Singapura, para terdakwa guru JIS juga memenangkan gugatan kasus JIS sesuai dengan fakta persidangan dan pemeriksaan medis dari Rumah Sakit KK Women’s and Children’s Hospital.

Apa pun dalihnya, kasus ini menarik lantaran belakangan terungkap salah satu motif kasus ini patut diduga adalah persoalan ekonomi. Orang tua siswa JIS berinisial TPW menggugat secara perdata JIS di kasus ini dengan angka fantastis, senilai USD125 juta atau sekitar Rp1,6 triliun.

Belajar dari kasus-kasus di atas, ada banyak hal yang perlu kita perbaiki. Kita memerlukan proses penyelesaian hukum yang mengedepankan hak-hak asasi manusia dan perilaku para penegak hukum yang adil dan fair.

Sungguh memilukan bila penegakan hukum dilakukan dengan cara-cara yang justru melanggar hukum, bahkan sangat tragis bila itu dilakukan dengan merobohkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan itu sendiri. Bila kasus-kasus seperti ini tak segera dibenahi, akan menjadi ancaman bagi tiap warga negara Indonesia, terutama “orang kecil” yang tidak memiliki akses dan kekuatan pada hukum.

Indonesia membutuhkan peradilan yang bersih, bebas dari rekayasa dan kriminalisasi. Juga bersih dari praktik suap-menyuap oknum selama proses hukum dilakukan. Suatu perkara yang sejak awal didesain akan banyak menimbulkan dampak kerugian besar, baik bagi individu, institusi, maupun hukum pidana itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar