Rabu, 06 September 2023

 

Jebakan Greenwashing Dalam Bursa Karbon

Retno Sulistyowati :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 4 September 2023

 

 

                                                           

GUGATAN class action terhadap Delta Air Lines di Pengadilan Los Angeles, Amerika Serikat, membayangi rencana perdagangan karbon di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Maskapai penerbangan Amerika Serikat itu kini dipersoalkan setelah mengklaim netralitas karbon senilai US$ 1 miliar dengan mengandalkan pembelian kredit karbon tanpa melakukan apa pun untuk mengurangi pemanasan global.

 

Menurut penggugat, Mayanna Berrin, warga California, klaim Delta Air Lines itu salah dan menyesatkan. Ia menilai pasar offset atau pertukaran kredit karbon penuh dengan penghitungan yang tidak akurat dan berlebihan. Pengacara Berrin dari firma hukum Haderlein and Kouyoumdjian LLP menuduh Delta Air Lines terlibat greenwashing. Greenwashing ibarat penipuan karena perusahaan mengklaim sudah menjalankan bisnis yang ramah lingkungan padahal yang terjadi sebaliknya. “Greenwashing sulit diidentifikasi konsumen,” kata pengacara itu seperti dilansir The Guardian pada 30 Mei lalu. 

 

Hal ini yang memicu banyak pihak menolak perdagangan karbon. Direktur Advokasi dan Hak Asasi Manusia Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Muhammad Arman mengatakan perdagangan karbon sama dengan alat cuci dosa bagi perusahaan yang merusak lingkungan. “Kami menolak perdagangan karbon,” tuturnya pada Jumat, 1 September lalu.

 

Padahal Indonesia baru saja memasuki babak baru perdagangan karbon setelah Otoritas Jasa Keuangan merilis Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang bursa karbon pada 23 Agustus lalu. Peraturan ini adalah amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

 

Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa mengatakan pembentukan peraturan mengenai bursa karbon merupakan bagian dari upaya mendukung pengendalian perubahan iklim melalui pengurangan emisi gas rumah kaca. Dia mengklaim hal ini sejalan dengan komitmen Perjanjian Paris.  

 

Namun Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan praktik offset karbon seolah-olah melegalkan atau memaafkan satu entitas yang melepas emisi karbon karena ia bisa melakukan offset dengan cara membeli kredit karbon di tempat lain, termasuk di bursa. “Artinya, satu entitas sebenarnya tidak bisa mengurangi emisi karbon di lokasi ia beroperasi,” ucapnya pada Kamis, 31 Agustus lalu.

 

Bukan hanya kasus Delta Air Lines yang membuat banyak pihak, terutama aktivis lingkungan, menolak perdagangan karbon. Bhima menunjukkan sederet kasus yang muncul di negara lain. Misalnya skandal Verra, di mana 90 persen klaim terhadap perdagangan karbon ternyata tidak menghentikan emisi. Verra adalah organisasi sertifikasi karbon yang berbasis di Washington, DC.

 

Kasus lain adalah proyek konservasi perusahaan di Hutan Amazon, Brasil, yang telah menjual kredit karbon dari lahan milik publik tanpa izin negara. Hasil investigasi Context, platform media milik Thomson Reuters Foundation, mengungkap bagaimana program penggantian kerugian karbon tetap berjalan beberapa tahun meski negara bagian tersebut telah mendaftarkan sebagian besar wilayah proyek sebagai lahan publik.

 

Proyek REDD+ Jari Pará di Brasil memperoleh persetujuan untuk menerbitkan kredit karbon pada 2020 dari Verra. Ini menjadi proyek terdaftar Verra terbesar di Brasil berdasarkan wilayah. Areanya diperkirakan mencapai 1,23 juta hektare, empat kali luas Hong Kong. Menanggapi investigasi Context, Verra menyatakan telah meninjau kembali proyek REDD+ Jari Pará dan menangguhkan penerbitan kredit karbon baru dari proyek tersebut.

 

Jari Pará dikelola oleh dua perusahaan swasta, yakni Jari Celulose, produsen selulosa untuk pembuatan kain, serta Biofílica Ambipar Environment, perusahaan spesialis penyeimbangan karbon. Mereka bekerja sama dengan Jari Foundation. Program ini bertujuan mengurangi emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan serta melindungi keanekaragaman hayati dengan mendukung cara-cara lokal mencari nafkah, seperti pengolahan kacang Brasil, yang menjaga pepohonan dan karbon yang tersimpan di dalamnya tetap utuh.

 

Pembeli kredit proyek Jari Pará adalah perusahaan internasional seperti Janssen, 3M, CNN, BMW, serta perusahaan Brasil, Globo dan Bank Bradesco. Mereka membeli kredit karbon untuk mengimbangi emisi yang dihasilkan oleh bisnis mereka.

 

Tapi koalisi masyarakat sipil sejak awal menolak perdagangan karbon. Saat konferensi tingkat tinggi mengenai iklim COP26 berlangsung di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-12 November 2021, empat organisasi asal Indonesia, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, serta Forest Watch Indonesia, mengeluarkan pernyataan bahwa perdagangan karbon adalah solusi palsu mengatasi krisis iklim. "Dengan membiarkan korporasi pelaku pencemar tetap menjalankan bisnis seperti biasanya, skema offset justru melahirkan ketidakadilan,” demikian pernyataan mereka.

 

Direktur Advokasi dan Hak Asasi Manusia AMAN Muhammad Arman mengatakan perdagangan karbon adalah cara perusahaan mencari suaka. Korporasi, dia menambahkan, menciptakan polusi, mengeluarkan emisi, dan kemudian mencuci dosa itu dengan cara membeli kredit karbon. Ironisnya, banyak korporasi mengklaim sudah melakukan hal baik untuk mengatasi perubahan iklim. “Mekanisme ini adalah tipu-tipu. Kalau mau fair, perusahaan harus menghentikan kegiatan usaha yang menghasilkan emisi karbon,” ujarnya.

 

Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis, Putra Adhiguna, mengatakan pada prinsipnya penggunaan kredit karbon adalah upaya terakhir setelah satu entitas berusaha maksimal menurunkan emisi mereka. Sebaliknya, dia melanjutkan, akan muncul persoalan apabila pelaku usaha hanya membeli kredit karbon tanpa memaksimalkan upaya penurunan emisi.

 

Berbagai skandal yang terjadi dalam bisnis perdagangan karbon memicu munculnya sejumlah inisiatif, seperti Integrity Council for the Voluntary Carbon Market (ICVCM). ICVCM berupaya mendorong integritas perdagangan karbon di dunia. Terminologi "integritas" dalam perdagangan karbon hanya ada apabila perusahaan membeli kredit karbon dan dana hasil transaksi digunakan langsung pada upaya pengurangan emisi. 

 

Di tengah pro-kontra tersebut, OJK optimistis terhadap bursa karbon. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan kuncinya adalah integritas secara keseluruhan. Yang pertama harus dilakukan, dia menerangkan, adalah menghitung bersama tingkat emisi baseline scope 1, scope 2, dan scope 3 di lembaga masing-masing.

 

Langkah kedua adalah berupaya menurunkan emisi, baru dilanjutkan dengan bertransaksi di bursa karbon apabila masih diperlukan. Inarno berharap kementerian teknis menerapkan konsep tertentu sehingga unit karbon yang diperdagangkan berkualitas dan tervalidasi. Dengan begitu, dia berucap yakin, “Isu greenwashing bisa dihindari.” ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/169640/greenwashing-bursa-karbon

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar