Rabu, 06 September 2023

 

Tantangan Bursa Karbon Indonesia

Agus P. Sari :  Chief Executive Officer Landscape Indonesia, lembaga advisori dengan pengalaman di pasar karbon selama 30 tahun

MAJALAH TEMPO, 4 September 2023

 

 

                                                           

BULAN ini, Indonesia bakal memiliki bursa karbon. Bursa karbon berdiri dengan dasar hukum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 yang terbit pada 23 Agustus lalu. Melalui aturan itu, sertifikat penurunan emisi karbon atau kredit karbon bisa dianggap sebagai efek, aset yang dapat diperjualbelikan oleh entitas di Indonesia untuk memenuhi kewajiban penurunan emisi. Aset ini bisa pula diperjualbelikan trader untuk memperoleh keuntungan, seperti halnya dalam perdagangan efek. Lahirnya bursa karbon menjadi era baru dalam upaya merealisasi nilai ekonomi karbon di Indonesia.

 

Mekanisme pasar melalui bursa karbon mampu mendorong asas ketaatan pada aturan pembatasan emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim, apabila dibandingkan dengan regulasi semata. Sebab, mekanisme pasar akan menemukan solusi yang paling murah dan efisien. Mekanisme pasar juga memberikan nilai ekonomi pada kegiatan penurunan dan penghindaran emisi gas rumah kaca sehingga pada akhirnya mendorong munculnya teknologi bersih. Ini juga yang akan melahirkan entrepreneur dalam ekonomi hijau.

 

Bursa karbon bakal mengampu perdagangan kredit karbon, biasa dikenal sebagai pasar sekunder. Sebelum pasar sekunder, ada pasar primer tempat investor berperan mendanai kegiatan penurunan emisi dan produksi kredit karbon yang tersertifikasi. Selain melalui bursa, kredit karbon dapat diperjualbelikan secara bilateral atau over-the-counter.

 

Kredit karbon diproduksi dalam pasar primer melalui dua mekanisme umum, yaitu cap and trade (batasi dan perdagangkan) serta offset. Cap and trade adalah mekanisme di mana beberapa entitas diberi izin melepaskan emisi yang dibatasi pada jumlah tertentu. Sejumlah entitas mungkin akan mampu menurunkan emisi lebih dari kewajiban mereka (surplus) dan beberapa lainnya justru mengalami defisit. Untuk memenuhi kewajibannya, entitas yang mengalami defisit penurunan emisi dapat membeli penurunan emisi dari entitas yang mengalami surplus.

 

Sementara itu, walaupun tidak diwajibkan, penurunan emisi dapat pula dilakukan secara mandiri oleh sebuah entitas melalui metodologi dan standar tertentu yang disertifikasi sebagai penurunan emisi yang kredibel. Di Indonesia, metodologi sertifikasi penurunan emisi diatur dalam Sistem Registri Nasional di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Entitas yang mengalami defisit penurunan emisi dapat pula membeli sertifikat ini untuk meng-offset atau menutup defisit sekaligus memenuhi kewajibannya.

 

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar bursa karbon menjadi efektif.

 

Bursa karbon akan berlangsung dengan baik bila pasar sekunder bisa likuid, dengan pasokan dan permintaan kredit karbon yang cukup banyak. Di dunia, sudah banyak entitas yang membutuhkan sertifikasi penurunan emisi, baik untuk memenuhi aturan di negara mereka maupun demi memenuhi kebutuhan internal. Pasar yang melayani pemenuhan kewajiban atas peraturan biasanya disebut sebagai pasar ketaatan atau compliance, sementara yang melayani pemenuhan komitmen sukarela sebuah entitas adalah pasar sukarela atau voluntary market. 

 

Belum diketahui berapa besar permintaan di dalam negeri karena penyusunan aturan pembatasan emisi untuk semua sektor belum tuntas. Terkecuali beberapa sektor utama yang pernah dibuatkan model pembatasan emisinya, seperti pembangkit listrik. Pasar sukarela di dalam negeri pun hampir tidak ada.

 

Bursa karbon juga akan berlangsung dengan baik bila sertifikasi penurunan emisinya kredibel. Kredibilitas, yang sering disebut environmental integrity, sangat penting dalam pasar karbon. Sebab, sertifikasi penurunan emisi karbon memberikan ruang kepada pembeli untuk mengklaim penurunan emisi tanpa harus melakukannya sendiri. Untuk itu, penurunan emisi yang tersertifikasi tidak akan terjadi tanpa ada dukungan tambahan dari pendanaan karbon. Tanpa tambahan atau additionality, pasar karbon hanya menyediakan penurunan emisi di atas kertas yang sebenarnya tidak terjadi.

 

Pembuktian atas additionality tidak mudah. Sebab, additionality tidak hanya harus diperlihatkan oleh tambahan dorongan akibat pendanaan, tapi juga hambatan-hambatan nonfinansial yang dapat diterobos. Karena itu, salah satu ujian terpenting dalam proses sertifikasi adalah menguji kebenaran additionality. 

 

Kajian oleh Öko-Institut untuk Uni Eropa, misalnya, menunjukkan bahwa bahkan dalam proyek-proyek penurunan emisi karbon di bawah clean development mechanism (CDM) pada Protokol Kyoto terlihat kelemahan yang cukup mengkhawatirkan. Padahal CDM dianggap sebagai standar tertinggi dalam praktik pasar karbon.

 

Selain didasari additionality, integritas pasar karbon ditentukan oleh baseline, yaitu emisi yang akan terjadi secara hipotetis apabila tidak ada upaya dan pendanaan karbon. Karena merujuk pada skenario emisi di masa depan yang belum diketahui, argumen mengenai baseline ini mungkin saja overstated.

 

Belum lama ini, Verra, pemegang standar terbesar dan yang mendominasi pasar karbon sukarela, dihantam kecurigaan bahwa beberapa sertifikat penurunan emisi yang diterbitkannya tidak kredibel atau bodong. Dugaan ini mengemuka dalam sebuah analisis yang dimuat The Guardian. Tuduhan paling utama adalah ancaman kerusakan hutan yang dibesar-besarkan sehingga kegiatan yang tersertifikasi itu memperlihatkan penurunan emisi yang juga dibesar-besarkan. Tentu saja Verra menampik tuduhan itu, dengan memperlihatkan kelemahan metodologi investigasi yang dilakukan The Guardian bersama mitranya, Die Zeit dan SourceMaterial.

 

Artikel The Guardian itu sempat menurunkan kepercayaan pasar. Harga karbon terjun bebas dari US$ 10 menjadi US$ 2 per ton di pasar sukarela. Pada akhirnya, Verra menarik beberapa metodologi penghitungan emisinya untuk diperbaiki, dan baru-baru ini menerbitkan pembaruannya yang diklaim lebih kredibel. Untuk memperbaiki kepercayaan pasar, pemainnya membentuk Integrity Council for the Voluntary Carbon Market yang berfungsi menjaga integritas dan kredibilitas klaim penurunan emisi. Tampaknya langkah ini efektif karena harga karbon mulai stabil lagi.

 

Kecenderungan overregulation juga mungkin akan menghambat likuiditas pasar karbon, termasuk di bursa. Pembatasan yang kadang berlebihan tidak perlu ada. Kekhawatiran bahwa Indonesia akan oversell atau menjual penurunan emisi terlalu banyak ke luar negeri memang beralasan. Sebab, Indonesia memiliki komitmen cukup tinggi pada Nationally Determined Contribution (NDC) yang terikat dalam Persetujuan Paris, yaitu 32 persen di bawah emisi referensi dengan kekuatan sendiri atau 43 persen dengan kerja sama internasional pada 2030. 

 

Apabila terlalu banyak yang dijual ke luar negeri, pencapaian komitmen domestik akan lebih sulit. Tapi risiko ini selalu ada dan kelebihan jual sebetulnya bisa dengan mudah diperbaiki dengan membeli kembali dari pasar di luar negeri. Apalagi masih ada opsi menerapkan domestic market obligation seperti komoditas ekspor lain.

 

Sebaiknya pasar ketaatan dan pasar sukarela dipisahkan. Pasar ketaatan internasional akan mengoreksi NDC negara penjual dan pembeli. Untuk sertifikasi emisi yang terjual ke luar negeri, penurunan emisi sebanyak itu harus dikeluarkan dari penurunan emisi dalam negeri dan dimasukkan ke penghitungan emisi negara pembeli. Ini adalah mekanisme corresponding adjustment. 

 

Sedangkan pasar sukarela memiliki perbedaan. Emisi yang terjual ke luar negeri tidak diperhitungkan sebagai penurunan emisi oleh negara pembeli. Ia hanya diklaim sebagai penurunan emisi swasta yang belum tentu akan menentukan penghitungan emisi negaranya. Dengan demikian, penurunan emisi di pasar sukarela ini tetap dapat diklaim sebagai penurunan emisi dalam negeri dan diperhitungkan dalam target NDC.

 

Akankah Indonesia memiliki bursa karbon yang kredibel dan efektif? ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/169623/plus-minus-bursa-karbon

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar