Minggu, 10 September 2023

 

Konferensi Kosong KTT ASEAN

Opini Tempo :  Redaksi Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 10 September 2023

 

 

                                                           

KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta kembali hanya menjadi ajang kongko-kongko para pemimpin negara di kawasan Asia Tenggara. Tak ada kesepakatan signifikan untuk perbaikan nasib rakyat di tiap negara anggotanya.

 

Bagi rakyat dan aktivis prodemokrasi di Myanmar, misalnya, KTT ASEAN di Jakarta pada 5-7 September lalu tak lebih dari konferensi omong-omong. Konferensi tingkat tinggi itu tak membuat terobosan untuk perdamaian, setelah tiga tahun junta militer Myanmar mengkudeta pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Padahal konflik politik di Myanmar kian buruk serta mengancam stabilitas politik dan keamanan di kawasan ASEAN.

 

Tiga kali berganti pemimpin, ASEAN tetap lembek dalam menekan junta militer Myanmar. Paling jauh, ASEAN hanya “mengucilkan” Myanmar, dengan tidak mengundang pemimpin junta ke pertemuan rutin perhimpunan negara Asia Tenggara itu. Sedangkan upaya penyelesaian krisis kemanusiaan di Myanmar tak pernah menjadi prioritas.

 

Setiap kali jurnalis menanyakan persoalan Myanmar, pemimpin negara yang hadir dalam KTT ke-47 ASEAN selalu merujuk lima poin konsensus yang mereka sepakati dengan junta Myanmar. Kelima poin itu meliputi penghentian kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak demi perdamaian, pembentukan utusan khusus yang memfasilitasi dialog, ko­mitmen ASEAN memberikan bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar. Padahal konsensus itu baru di atas kertas. Belum ada satu pun poin konsensus yang menghasilkan kemajuan dalam penyelesaian krisis di Myanmar.

 

Prinsip non-intervensi selalu menjadi dalih untuk tidak saling mencampuri urusan politik dalam negeri tiap negara anggota ASEAN. Nyatanya, dalih itu hanya pembenaran atas ke­tidakpedulian terhadap nasib rakyat Myanmar yang menjadi korban konflik atau represi. Buktinya, rakyat Myanmar yang mencari suaka ke negara tetangga masih banyak yang ditolak.

 

Berdasarkan catatan Amnesty International, misal­nya, otoritas imigrasi Indonesia pada 21 Juni lalu men­deportasi seorang pencari suaka asal Myanmar yang ke­ta­kutan karena perbedaan pandangan politik dengan junta militer di sana. Otoritas imigrasi Malaysia lebih tega. Mereka mendeportasi 150 pencari suaka asal Myanmar.

 

Sikap kedua negara, terutama Indonesia sebagai ketua ASEAN, melanggar Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang melindungi dan menjamin hak setiap pencari suaka demi menghindari persekusi di negara asalnya. Penolakan atas permintaan suaka juga mencederai Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Jangan lupa, Indonesia telah meratifikasi Kovenan ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Karena itu, Indonesia berkewajiban menjamin hak pengungsi dan pencari suaka agar aman dari bahaya bila mereka dikembalikan ke negara asal.

 

Seperti pada perhelatan serupa sebelumnya, KTT ASEAN di Jakarta juga lebih banyak membicarakan urusan ekonomi ketimbang isu demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan isu pelanggaran kedaulatan di Laut Cina Selatan seperti dianggap angin lalu. Pemimpin negara ASEAN justru sibuk mengupayakan kesepakatan ekonomi dengan Cina, yang di forum lain kerap dituding sebagai pelanggar perbatasan di Laut Cina Selatan.

 

Piagam ASEAN yang diteken pada November 2007 jelas menyebutkan organisasi ini harus berorientasi pada kepentingan rakyat negara anggotanya. ASEAN semestinya menjamin rakyat di negara anggota untuk hidup damai di lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis.

 

Jika KTT ASEAN hanya ajang kongko-kongko dan pencitraan para kepala negara itu mengabaikan kesempatan perhimpunan ini menjadi bermakna. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/opini/169689/ktt-asean

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar