Rabu, 06 September 2023

Pengakuan Korban Penculikan Paspampres

Riky Ferdianto : Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 4 September 2023

 

 

 

TERIAKAN dari dalam kios obat dan kosmetik milik Imam Masykur menyita perhatian warga yang sedang melintas di Jalan Sandratex, Kelurahan Rempoa, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, pada Sabtu sore, 12 Agustus lalu. “Rampok! Rampok!” ujar Raihan—bukan nama sebenarnya—menirukan teriakan tersebut kepada Tempo. Sehari-hari Raihan menjadi juru parkir di sekitar kios Imam. Mengira ada perampokan dan penganiayaan, ia langsung bergegas menuju kios.

 

Empat pemuda lain mendengar teriakan yang sama. Raihan melihat seorang pria bertubuh kekar tengah berhadapan dengan Imam, 25 tahun. Bersama empat orang lain, Raihan menyeret sang pria ke luar kios. Mereka memiting lalu meninju dan menendang pria tersebut secara bergantian. Pengeroyokan itu berhenti setelah seorang pria lain mendatangi mereka. “Dia mengaku sebagai polisi,” tutur Raihan.

 

Pria yang baru datang itu menunjukkan sehelai kertas putih di map berwarna cokelat untuk meyakinkan massa bahwa mereka polisi. Semula Raihan ragu atas pengakuan itu. Namun keraguan itu meredup ketika pria tersebut mengeluarkan borgol. Raihan dan pemuda setempat memilih mundur melihat Imam diseret ke sebuah mobil dengan tangan terborgol. Itulah hari terakhir mereka melihat Imam masih hidup. “Belakangan, lihat di berita, Imam sudah tewas,” ujar Raihan.

 

Dari berita, Raihan baru mengetahui Imam menjadi korban penculikan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI). Salah seorang di antaranya adalah anggota Pasukan Pengamanan Presiden. Setelah kabar ini terungkap, Raihan berondok. Itu sebabnya ia minta identitasnya disembunyikan.

 

Jasad Imam ditemukan mengambang di Sungai Cibogo, Desa Klari, Karawang, Jawa Barat, pada Selasa, 15 Agustus lalu. Awalnya tubuhnya sulit dikenali karena sudah membengkak. Identitas jasad itu baru dikenali delapan hari berselang setelah polisi dan tim penyidik Polisi Militer Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Pomdam Jaya) mengajak perwakilan keluarga menyambangi Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.

 

Polisi dan TNI mensinyalir mayat itu identik dengan ciri-ciri fisik Imam. Mereka mendapatkan ciri-ciri itu dari Fauziah, ibu Imam, yang tinggal di Bireuen, Aceh. Fauziah yang datang ke Jakarta memastikan korban adalah anak kandungnya. Ia menjerit histeris dan lunglai seketika saat menyaksikan jasad anaknya yang tersimpan dalam lemari pendingin ruang penyimpanan mayat. Jasadnya lebam penuh luka. “Itu anak saya,” ucap Fauziah yang datang bersama sepupu Imam, Sayed Sulaiman.

 

Jenazah Imam langsung diautopsi pada hari itu. Sayed mengungkapkan, dokter menyimpulkan adanya luka di kepala bagian belakang. Trauma akibat benturan benda tumpul itu menyebabkan perdarahan berat di otak. Punggung Imam juga biru lebam dan memperlihatkan jejak luka akibat pecutan. Tulang rusuknya patah. Ada pula lubang di bahu kiri. “Waktu itu dokter belum bisa memastikan apakah luka tersebut akibat peluru atau bukan,” ujarnya. Keluarga membawa pulang jasad Imam ke permakaman dekat rumah neneknya di Dusun Arafah, Gampong Mon Keulayu, Kecamatan Gandapura, Bireuen.

 

Sayed adalah orang pertama yang dihubungi Imam tak lama setelah terjadi kegaduhan di kios Rempoa. Ketika itu Imam memintanya mengirimkan uang Rp 50 juta. Suaranya terdengar lirih dan terisak. Imam mengatakan sudah tak kuat disiksa. Kepada penculik, Sayed mengaku tak bisa memenuhi permintaan itu. Rupanya, setahun lalu Imam pernah diculik dan diperas hingga Rp 13 juta. “Pelakunya orang yang sama,” tuturnya.

 

Tak mendapatkan uang dari Sayed, Imam menghubungi adik kandungnya, Fakhrul Razi. Sang adik mengaku tak punya uang. Penolakan Fakhrul berbalas video yang memperlihatkan penyiksaan punggung Imam dengan sabuk kulit oleh pelaku. “Ada video anak saya saat berdarah-darah,” kata Fauziah saat ditemui Tempo di rumahnya di Bireuen, Rabu, 30 Agustus lalu.

 

Komunikasi terakhir Imam dengan keluarga terjadi pada Sabtu pukul 21.42 WIB, 12 Agustus lalu. Imam tetap memohon agar keluarga mencari uang tebusan. Fauziah yang berada di ujung sambungan telepon mendengar anaknya menjerit kesakitan. “Katanya sudah tidak tahan lagi,” tutur Fauziah. Menurut dia, pelaku sempat menghubungi kembali sambil melontarkan ancaman. “Kalau Ibu sayang kepada anak, kirim uang Rp 50 juta,” ujar Fauziah menirukan ucapan pelaku.

 

Fauziah memohon agar penculik berhenti menyiksa Imam. Ia berjanji bakal mencarikan uang itu asalkan Imam tak disiksa. Fauziah meminta toleransi waktu karena belum punya uang. Pelaku membalas ucapan Fauziah dengan ancaman: “Kalau tidak Ibu kirim, anak Ibu nanti kami bunuh dan kami buang ke sungai.”

 

Setelah itu, nomor telepon seluler Imam tak lagi bisa dihubungi. Keesokan hari, Fauziah berangkat ke Jakarta. Bersama Sayed, Fauziah mendatangi kolega Imam sesama perantau asal Aceh guna mencari bantuan. “Saya pergi karena rasa gelisah, tapi belum tahu kalau Imam sudah meninggal,” katanya. Dua hari kemudian, ia melapor ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.

 

Imam adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Selama ini ia menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Imam menjajal peruntungannya dengan mengontrak kios 3 x 3 meter di pertigaan Jalan Sandratex. Kios itu dipakai sejak tiga bulan lalu. Ia juga menyewa kamar kos tak jauh dari kios. Ia berjualan kosmetik, bedak bayi, dan obat-obatan jenis tramadol.

 

Penyidik Pomdam Jaya turun tangan setelah mendapat petunjuk ihwal keterlibatan tiga personel TNI dalam kasus itu. Mereka adalah Prajurit Kepala Riswandi Manik yang bertugas di Batalyon Pengawal Protokoler Kenegaraan Paspampres. Pelaku lain adalah Prajurit Kepala Hery Sandi yang berdinas di Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat. Pelaku ketiga adalah Prajurit Kepala Jasmowir yang tercatat sebagai personel Komando Daerah Militer Iskandar Muda yang bermarkas di Banda Aceh.

 

Identitas ketiganya muncul selepas Fauziah melapor ke Polda Metro Jaya pada Senin, 14 Agustus lalu. Setelah mendapat laporan, polisi kemudian menggandeng TNI karena ada dugaan keterlibatan prajurit. Pomdam Jaya langsung bergerak. “Ada laporan kasus penculikan, penganiayaan, dan pemerasan,” ujar Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Hamim Tohari.

 

Selain ketiga personel TNI, penyidikan kasus itu mengungkap peran seorang pria lain bernama Zulhadi Satria Saputra. Namun penanganannya berada di bawah kewenangan Polda Metro Jaya lantaran Zulhadi warga sipil. Hamim menjamin kasus ini bakal diusut tuntas dan transparan. Terlebih setelah pemimpin TNI menaruh atensi. “TNI tidak akan memaafkan perbuatan para pelaku,” ucapnya.

 

Zulhadi adalah kakak ipar Riswandi. Ia ikut dalam proses penculikan dan menyopiri mobil ketika meninggalkan kios Imam. Belakangan, polisi menemukan indikasi keterlibatan dua warga sipil lain berinisial H dan AM. “Keduanya berperan sebagai penadah barang-barang hasil kejahatan komplotan ini,” tutur Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi.

 

Sejak kabar kematian itu terungkap, kios Imam kerap dikunjungi berbagai orang. Di antaranya tim penyidik Pomdam Jaya serta pegawai Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Menjelang Kamis dinihari, 31 Agustus lalu, Tempo melihat tiga pria yang datang menggunakan dua sepeda motor. Mereka lalu mengganti gembok pintu kios tersebut. Ketika ditemui, ketiganya enggan mengungkap identitas.

 

Belakangan, terungkap Imam bukanlah satu-satunya korban komplotan penculik tersebut. Komandan Pomdam Jaya Kolonel Irsyad Hamdie Bey Anwar mengatakan pelaku diketahui pernah mengangkut seorang pria lain yang bernama Al Qhaidar. Namun ia dilepas di jalan tol Jagorawi di sekitar Cikeas, Bogor, Jawa Barat, karena kesulitan bernapas. Dari keterangan saksi ini, penyidik mengungkap peristiwa penculikan itu. “Pelaku memeras dengan berpura-pura sebagai polisi,” katanya.

 

Rupanya, ketiga pelaku adalah personel TNI asal Aceh. Lewat jaringan di komunitas perantau asal Aceh, mereka bisa mengetahui identitas dan aktivitas bisnis para korban. Kolonel Irsyad tak membantah kabar bahwa ada banyak korban lain asal Aceh yang pernah dijadikan target para pelaku. Untuk informasi ini, penyidik Pomdam Jaya masih menyidik pola operasi kejahatan mereka dan sejak kapan mereka beroperasi. “Masih kami dalami,” ucap Irsyad.

 

Tempo mendapatkan rekaman kamera pengawas atau CCTV ketika komplotan itu beraksi menyasar pemilik kios kelontong di Sawangan, Depok, Jawa Barat, pada Oktober 2022. Pelaku berjumlah tiga orang. Mereka mengenakan seragam abu-abu dengan rompi hitam bertulisan “polisi”. Wajah mereka tertutup masker. Ketiganya tampak memaksa masuk ke kios serta menggeledah dan memeriksa barang dagangan.

 

Pada Juni 2022, mereka juga pernah menyasar seorang pedagang asal Aceh yang membuka kios di Cibungbulang, Bogor. Ada pula kejadian pada April lalu saat mereka menyasar pria asal Sawang, Aceh Utara, yang berdagang di Bekasi, Jawa Barat. Para korban juga disiksa dan diperas. Tapi mereka enggan melapor kepada polisi. “Sebagian korban memilih pulang kampung karena trauma,” ucap salah seorang anggota Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda, komunitas perantau asal Aceh, yang enggan identitasnya diungkap.

 

Dia menerangkan, selain Imam, korban penculikan dan pemerasan komplotan Riswandi ada delapan orang. Salah seorang korban ada yang diperas pada 2018. Kesamaan mereka adalah pedagang obat, salah satunya tramadol, yang berasal dari Aceh. Tramadol merupakan jenis obat keras pereda nyeri yang hanya bisa ditebus lewat resep dokter. Belakangan, sejumlah daerah di Jawa Barat mengklaim mengalami darurat penyalahgunaan tramadol. Tramadol kerap dikategorikan sebagai narkotik karena efeknya mirip obat penenang.

 

Salah seorang korban itu adalah pedagang kios obat di Pasar Kemis, Bogor, yang meminta dipanggil Roy. Peristiwa itu terjadi di kiosnya pada Senin sekitar pukul 13.30, 19 Juni lalu. Dalam konferensi pers, Pomdam Jaya mengungkap ketiga foto penculik dan penganiaya Imam. Roy memastikan ketiga pelaku adalah orang yang sama yang menculik dan memerasnya setahun lalu.

 

Pada saat itu Jasmowir yang mengenakan rompi hitam dan mengenakan masker mendatangi kiosnya. Mulanya Jasmowir berpura-pura hendak membeli tramadol. Roy, 50 tahun, menjawab hanya tersisa satu buah. Mendengar jawaban Roy, Jasmowir membuka rompi dan berbicara lewat walkie-talkie yang terselip di balik rompi. “Komandan, di sini ada satu, nih,” tutur Roy kepada Tempo, menirukan ucapan Jasmowir saat itu.

 

Riswandi Manik dan Hery Sandi kemudian turun dari mobil Daihatsu Sigra berkelir hitam dan berjalan menuju kios. Ketiganya mengaku sebagai polisi dan langsung menangkap serta memborgol Roy. Ia dibawa ke mobil. “Orang di sekitar kios awalnya mau menolong, tapi enggak berani karena melihat benda mirip pistol di rompi pelaku,” ujar Roy.

 

Di dalam mobil, Roy melihat ada dua orang lain di jok belakang. Wajah keduanya terlihat sudah babak-belur dan berdarah. Ia melihat slang yang di ujungnya terdapat besi. Belakangan, ia mengetahui salah seorang korban itu berinisial S. Mereka juga pedagang obat dan berasal dari Aceh. Roy duduk di jok tengah diapit Riswandi di kanan dan Zulhadi Satria Saputra di kiri. Hery Sandi menjadi sopir dan Jasmowir di kursi depan. Semua pelaku mengenakan masker.

 

Para pelaku langsung meminta uang Rp 25 juta kepada Roy. Karena Roy mengaku tak memegang uang, para pelaku menggunakan telepon seluler S untuk menghubungi istri Roy. Lewat WhatsApp, mereka mengancam akan membunuh Roy jika istrinya tak menyetor uang Rp 25 juta. Mereka berputar-putar di jalan yang sepi. Roy sempat berniat melompat ke luar, tapi mobil tak pernah berhenti, bahkan di lampu merah. “Kalau mereka mau membuka masker dan merokok di mobil, pelaku menutup kepala kami dengan sarung,” Roy bercerita.

 

Proses penculikan Roy hanya berlangsung satu setengah jam. Penyekapan berakhir saat istri Roy mengirimkan foto resi pengiriman uang senilai Rp 25 juta ke rekening S, korban yang bersamanya di dalam mobil, lewat WhatsApp. Karena istrinya langsung mengirim uang, Roy tak disiksa.

 

Roy menduga para pelaku menggunakan ponsel dan rekening S untuk menutupi jejak transfer uang. Setelah menerima bukti transfer, para pelaku menurunkan Roy di jalanan sepi di kawasan Jasinga, Kabupaten Bogor. Ia pulang ke kios dengan menumpang ojek dan membayar Rp 100 ribu. “Saya pinjam uang dari penjaga kios sebelah,” tuturnya.

 

Ia mendengar kabar S masih hidup. S langsung pulang ke Aceh lalu merantau ke Malaysia. Ia tak mendengar kabar satu korban lain yang bersamanya saat berada di dalam mobil para pelaku. “Lewat teman sesama perantau asal Aceh, saya mendengar ada lagi korban selain Imam dan kami bertiga,” ucap Roy.

 

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Hamim Tohari mengaku belum bisa memastikan berapa banyak orang yang pernah menjadi korban ketiga prajurit tersebut. Ia mengatakan penyidik Pomdam Jaya masih menggali keterangan dari para saksi. Bila dalam proses penyidikan ditemukan bukti adanya korban lain, ia memastikan keterangan itu bakal melengkapi berkas pemeriksaan para tersangka. “Kami ingin masalah ini diusut tuntas,” katanya. ●

 

Sumber :  https://majalah.tempo.co/read/hukum/169644/pengakuan-korban-penculikan

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar