Rabu, 06 September 2023

 

Saatnya Merevisi UU Peradilan Militer

Opini Tempo :  Redaksi Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 4 September 2023

 

 

                                                           

TIGA tentara tersangka pelaku penculikan dan pembunuhan pemuda asal Bireuen, Aceh, Imam Masykur, harus diadili di pengadilan umum. Meski berstatus anggota Tentara Nasional Indonesia, mereka disangka melakukan kejahatan yang merupakan pidana umum—dan tidak semestinya diajukan ke pengadilan militer.

 

Ketiga tersangka itu adalah anggota Pasukan Pengamanan Presiden, Prajurit Kepala Riswandi Manik; anggota Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat, Prajurit Kepala Hery Sandi; serta anggota Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Prajurit Kepala Jasmowir. Mereka disangka menculik Imam Masykur yang sedang menjaga toko kosmetik di Jalan Sandratex, Tangerang Selatan, Banten, pada Sabtu sore, 12 Agustus lalu.

 

Ketiga tersangka meminta keluarga Imam Masykur memberi tebusan Rp 50 juta. Jika permintaan itu tidak dipenuhi, Imam bakal dibunuh. Ketiganya juga menyiksa pemuda 25 tahun itu sebelum kemudian membunuhnya. Jasadnya ditemukan di sebuah sungai di Karawang, Jawa Barat, tiga hari kemudian.

 

Kejahatan ketiganya menambah panjang daftar tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI kepada warga sipil. Belum hilang dari ingatan publik ketika Kolonel Priyanto dan anak buahnya membuang dua orang yang tertabrak mobil mereka ke sungai. Padahal korban sebenarnya masih hidup dan bisa diselamatkan.

 

Peristiwa lain adalah penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada pula pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Papua. Di wilayah yang sama, empat anggota TNI terlibat kasus mutilasi. Kasus kekerasan berujung hilangnya nyawa warga sipil masih akan terus terjadi jika tidak ada hukuman yang maksimal bagi anggota TNI pelaku kejahatan.

 

Peradilan militer memungkinkan adanya bias semangat korps. Hukuman bagi pelaku menjadi tidak maksimal sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memang berjanji tak akan memberikan impunitas kepada para pelaku penculikan dan pembunuhan itu. Meski begitu, peradilan umum yang terbuka dan transparan akan lebih menguatkan kebenaran jaminan itu.

 

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak lagi kontekstual dengan perkembangan zaman. Aturan itu juga disusun pada akhir masa Orde Baru, didesain untuk melindungi anggota militer yang melakukan kejahatan demi melindungi rezim Soeharto. Undang-undang ini harus segera direvisi. Revisi harus menitikberatkan pemberlakuan peradilan militer yang didasarkan pada delik pelanggaran internal kemiliteran. Adapun kejahatan yang merupakan kejahatan umum, termasuk kejahatan perang, harus diadili di pengadilan umum, termasuk pengadilan korupsi dan pengadilan hak asasi manusia.

 

Pada masanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Namun tarik-menarik kepentingan terjadi kala itu hingga akhirnya kabar revisi ini tak terdengar lagi suaranya. Kini sudah saatnya Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat mengubah undang-undang tersebut. Apalagi konstitusi pun jelas menyatakan kesetaraan hukum berlaku bagi semua warga negara. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/opini/169631/uu-peradilan-militer

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar