Iran,
Nuklir dan Raisi Dian Wirengjurit ; Diplomat Utama, Duta LBBP RI untuk Iran dan
Turkmenistan (2012-2016) |
KOMPAS, 5 Agustus 2021
Setiap
kali berlangsung pemilu di Iran, utamanya sejak masalah program nuklir Iran
mencuat pada 2002, masyarakat dunia menyambutnya dengan “harap-harap cemas”,
termasuk ketika Ebrahim Raisi terpilih menjadi presiden ketigabelas sejak
Revolusi 1979. Pemilu Iran senantiasa dinilai media barat penuh kontroversi. Kali
ini tingkat pemilih (turn out) sekitar 49%, dianggap terendah sejak republik
Islam itu berdiri. Padahal, hal serupa terjadi pula dalam pemilu presiden AS
pada 1996 antara Bill Clinton vs Bob Dole yang tingkat pemilihnya 49%; atau
pada 2016 antara Donald Trump vs Hillary Clinton yang 55%, dengan keunggulan
popular vote 62 juta berbanding 65 juta pemilih, tetapi Hillary Clinton
dinyatakan kalah. Ketika
Mahmoud Ahmadinejad, yang ber“garis keras” terpilih pada 2005, dunia “geger”
karena “akan menghapuskan Israel dari peta” (wipe Israel off the map),
meskipun hanya diucapkan sekali pada Oktober 2005 dalam konteks berbeda.
Nyatanya, hingga Ahmadinejad lengser pada 2013, Israel masih tegak berdiri
dan justru melanjutkan program “wipe ‘Palestine’ off the map”, melalui
program perluasan pemukimannya di Tepi Barat dan Gaza. Ketika
Hassan Rouhani, yang moderat, menjadi presiden pada 2013, banyak yang
meragukan apakah dirinya sanggup menghadapi Dewan Keamanan nasional Tertinggi
yang lebih berkuasa. Padahal, dibawah Rouhani (dan bersama Presiden Obama),
masalah program nuklir Iran dapat diselesaikan dengan tercapainya kesepakatan
Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2015; sebelum akhirnya
diporakporandakan Presiden Donald Trump dengan menarik diri pada 2018 sebagai
bagian “maximum pressure”nya. Nasib JCPOA Trita
Parsi, mantan penasehat Presiden Obama, dalam buku Losing an Enemy: Obama,
Iran and the Triumph of Diplomacy (2017), mengatakan JCPOA telah
menyelesaikan dua masalah dalam sekali “jalan” yaitu menghindari perang
dengan Iran dan mencegah Iran memiliki bom nuklir. Menurut Parsi pula, jika
dibandingkan, kemenangan ini sama pentingnya dengan keberhasilan Presiden
Nixon mencairkan (rapproachment) hubungannya dengan Cina pada 1972. Kini
masyarakat dunia harap-harap cemas terhadap Presiden Raisi, yang digambarkan
sebagai ultra-konservatif, mengenai nasib JCPOA pasca-Trump, yang akan mulai
bertugas pada Agustus ini. Selama dua dasawarsa program nuklir Iran dicurigai
memiliki tujuan militer untuk membuat senjata nuklir dan dianggap telah
mengancam keamanan dan stabilitas di Timur Tengah dan juga dunia. Keluarnya
AS dari perjanjian ini jelas membawa penyelesaian masalah ini ke titik awal
(square one). Maximum
pressure model Trump (sanksi ketat dan ancaman aksi militer) tentunya tidak
bisa lagi diterapkan terhadap Presiden Raisi. Banyak negara dan kalangan
(termasuk di AS dan Israel) yang menyatakan bahwa ancaman semacam itu justru
akan menyulut perang dan tidak akan membuat Iran meninggalkan program nuklirnya. Padahal,
harus diakui, dalam JCPOA yang disepakati kelompok P5+1 (AS, Inggris,
Prancis, Rusia dan Cina, plus Jerman/UE) dan Iran pada 14 Juli 2015, serta
dikuatkan secara aklamasi melalui resolusi DK-PBB no.2231 (2015), Iran telah
mengakomodasi hampir semua concern masyarakat internasional. Obyektivitas IAEA Sejauh
ini, IAEA yang memegang otoritas pengawasan nuklir dunia, telah menerapkan
rezim non-proliferasi yang paling intrusif terhadap Iran, yang merupakan
negara pihak (state party) Non-Proliferation Treaty (NPT) 1970, dan belum
pernah (unprecedented) dilakukan terhadap negara manapun. Sejumlah
fasilitas nuklir utama Iran -di antaranya Arak, Natanz dan Fordow-, sudah
berkali-kali diinspeksi oleh IAEA, atas desakan negara AS khususnya. Hanya
saja IAEA juga menuntut inspeksi terhadap fasilitas dan pangkalan militer
yang dicurigai memiliki keterkaitan dengan aspek militer program nuklir
(Possible Military Dimensions/PMD) dan program rudalnya (missile). Isu
PMD dan rudal ini menarik karena: pertama, kedua isu ini berada di luar
cakupan JCPOA. Kedua, mengenai PMD, sebenarnya sudah diselesaikan dengan
dikeluarkannya laporan IAEA (3 Desember 2015) yang berjudul “Final Assessment
on Past and Present Outstanding Issues regarding Iran’s Nuclear Programme”,
yang merupakan penilaian akhir terhadap PMD dalam program nuklir Iran. Ketiga,
mengenai program rudal, Iran diminta mematuhi rezim pengawasan teknologi
rudal (Missile Technology Control Regime/MTCR, 1987), yang beranggotakan 35
negara industri maju; padahal rezim pengawasan ini tidak melarang negara
manapun mengembangkan rudal sendiri (indigenous development). Masalah
lain, dalam implementasi JCPOA, IAEA yang seharusnya mewakili kepentingan 173
negara anggotanya, selama kepemimpinan Dirjen Yukiya Amano (2009-2019),
justru dinilai tidak obyektif. Dokumen Wikileaks pada 16 Oktober 2009
menunjukkan kedekatan Dirjen IAEA dengan AS karena telah “berhutang”,
karenanya “…the US can do anything”.
Di lain pihak, AS juga sangat antusias dengan Dirjen IAEA yang baru terpilih
(saat itu) dengan menyatakannya sebagai “DG
of all states, but in agreement with us”. Menghidupkan kembali JCPOA Terpilihnya
Joe Biden sebagai presiden AS, bagi para petinggi di Teheran diharapkan dapat
membuka peluang mengubah kebijakan Washington terhadap Iran (Dian
Wirengjurit, “Detrumpifikasi dan Solusi Dua Negara”, Kompas, 22 Mei 2021) dan
kembali pada komitmen internasionalnya. Selain itu, menjelang akhir masa
jabatannya Presiden Rouhani dan P5+1 juga gigih memperjuangkan agar JCPOA
dapat dihidupkan kembali. Makanya sejak April 2021 delegasi dari P5+1 (minus
AS yang bukan lagi peserta JCPOA) dan Iran sudah bertemu di Wina, Austria,
untuk menghidupkan kembali JCPOA. Di
lain pihak, para pemimpin Iran juga dibayangi pesimisme. Dalam konteks
program nuklir Iran, detrumpifikasi dalam hal JCPOA (dan juga status
Jerusalem) tidak akan dilaksanakan presiden Biden dan justru akan
mempertahankan kebijakan Trump, sesuai janji kampanyenya. Maksudnya, JCPOA
harus dirombak total, sehingga tidak mengherankan, bahwa pertemuan Wina
terakhir (keenam) di Wina pada 22 Juni 2021 berakhir tanpa kemajuan apapun. Leslie
H. Gelb, President Emeritus Council on Foreign Relations menyatakan, sulit
dipercaya apabila Iran akan “tiarap” (prostrate) dalam menghadapi ancaman AS
dan Israel. Ancaman aksi militer dinilai hanya akan menyulut perang dan tidak
akan membuat Iran meninggalkan program nuklirnya. Secara sinis Gelb
mempertanyakan: “Did Saddam Hussein
kneel before George W. Bush’s threats? Did the Taliban handcuff itself when
faced with America’s military might? Has Kim Jong-un bowed before his Western
master? Tidak satupun yang tunduk pada pada negara adidaya seperti AS
sekalipun. (The Daily Beast, Updated,
July 13, 2017) Yang
lebih mengkhawatirkan, Washington kini skeptis dengan terpilihnya Raisi, yang
berhaluan keras dan pada 2019 dimasukkan ke dalam daftar hitam (blacklist)
oleh Presiden Trump, karena alasan pelanggaran HAM, akan mengubah prospek
untuk menghidupkan kembali kesepakatan dengan Teheran. Padahal Presiden Raisi
(60), yang mengaku independen dan dibesarkan pada masa pahit rezim sanksi dan
ancaman militer, berjanji akan memerangi kemiskinan, korupsi, penghinaan
(humiliation) dan diskriminasi, dan merundingkan kembali JCPOA sesuai “lampu
hijau” dari Ayatollah Khamenei. Sepanjang
empat dasawarsa ini, harus diakui bahwa program senjata nuklir Iran yang
dicurigai tidak pernah terbukti karena tidak pernah ada uji coba yang
dilakukan. Sepanjang masa itu pula rakyat Iran dipaksa hidup dalam kesulitan
dan ancaman perang AS dan Israel. Mumpung
Presiden Biden dan Raisi sama-sama pada awal kepemimpinannya, mungkin ada
baiknya mendasari upaya penyelesaian masalah ini dengan membuktikan kebenaran
kata-kata satiris politik Jerman, Ludwig Borne (1786-1837): “Goodwill is the one and only asset that
competition cannot undersell or destroy”. Sekaligus membuktikan bahwa
detrumpifikasi masih terus dijalankan dan julukan ultra konservatif juga
tidak benar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar