Novel
Burung-burung Manyar & Nasionalisme Orang-orang Kalah Chris Wibisana ; Jurnalis TIRTO |
TIRTO.ID, 23 Agustus 2021
Senja mulai menggelayuti Desa Grojogan ketika
seorang kurir Staf Umum TNI datang membawa berita bahwa pemerintah Republik
Indonesia akan dikembalikan ke Yogyakarta. Itu adalah kabar gembira yang
ditunggu-tunggu para gerilyawan Republik yang bersembunyi di desa kecil di
lereng Gunung Merapi itu. Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerbu dan
menduduki Yogyakarta. Pucuk pimpinan Republik ditangkap dan di asingkan.
Sejak itu, TNI dan laskar-laskar Republikan bergerilya dan membangun
kantong-kantong perlawanan di luar Yogyakarta. Di antara para gerilyawan yang semangatnya
sedang membuncah itu, Atik justru galau. Di depan pusara ayahnya—seorang
gerilyawan yang tewas tertembak dan dimakamkan di Grojogan, Atik teringat
pada teman masa kecilnya Teto. Teto adalah nama kecil dari Kapten Setadewa
yang mengabdikan dirinya pada Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL).
Teto dan kesatuannya turut andil dalam operasi pendudukan Yogyakarta yang
oleh sejarawan kita disebut Agresi Militer II. Atik tak habis-habisnya heran, mengapa Teto
memilih memihak Belanda. Atik sebenarnya tahu belaka, ada motif dendam yang
menggerakkan Teto. Tapi, Teto mungkin lupa bahwa segala yang diperjuangkannya
selama ini hanyalah abstrak. Sementara itu, di suatu tempat, Teto insaf
akan kenyataan Belanda kini tersudut. Teto pun telah menghitung dirinya
sebagai pihak yang kalah. Tapi, Teto menyadari bahwa sedari awal kekalahannya
itu hanyalah satu episode dari serial tragedi hidupnya yang
sambung-menyambung. Teto teringat kata-kata Mayor Verbruggen,
komandannya di KNIL, bahwa soal menang dan kalah tidak ada bedanya dari main
lotre. Jika kali ini kalah, belilah lotre sekali lagi. Begitulah kehidupan
berjalan. Tapi, setidaknya Teto masih punya pilihan:
tetap menjadi pendukung Belanda atau berbalik membela Indonesia. Pada
akhirnya, Teto memilih yang kedua, meski dia sendiri ragu apakah dengan
begitu Atik akan kembali memandangnya sebagaimana teman kecilnya dulu. Nasionalisme dan
Pencarian Jati Diri Liku kisah Atik dan Teto itu adalah bagian
dari roman sejarah Burung-Burung Manyar (BBM) karya Yusuf Bilyarta
Mangunwijaya atau kerap disapa Romo Mangun. Cetakan pertamanya diterbitkan
oleh Pustaka Djambatan pada Agustus 1981. Novel ini mengantarkan Romo Mangun
meraih kusala SEA Write Award dari Kerajaan Thailand pada 1983. Selain tinggi mutu sastranya, novel ini juga
tergolong laris pada masanya. Pada Desember 1981, ia sudah dicetak untuk
kedua kalinya. Hingga 2010, novel ini sudah dicetak ulang sebanyak 16 kali.
Kini, BBM bisa digolongkan sebagai novel klasik dalam sejarah sastra
Indonesia. Menurut kritikus Jacob Sumardjo, salah satu
keunggulan BBM adalah keberaniannya menengok sejarah dari perspektif seorang
Teto yang semula anti-Republik. Ia mengajak pembacanya merenungi lagi
nasionalisme dan, dalam taraf lebih pribadi, tentang pencarian jati diri. Pusat cerita roman ini mengambil latar pada
era Revolusi Kemerdekaan dan berpusat pada dua tokoh protagonis yang amat
kontras kehidupannya. Setadewa alias Teto adalah putra semata wayang
Kapten Brajabasuki dan Marice—seorang Indo-Belanda—yang tumbuh di lingkungan
tangsi KNIL Divisi II Magelang. Brajabasuki masih berkerabat dengan keluarga
elite dinasti Mangkunegara. Dia dikisahkan berwatak liberal dan
kebarat-baratan. Sementara itu, Larasati alias Atik adalah
putri Antana dan Raden Ayu Marsiwi yang juga masih kerabat Mangkunegara. Atik
kecil menjalani hidupnya di Bogor, tempat ayahnya berdinas sebagai pegawai
Dinas Kehutanan. Perjalanan hidup Teto dan Atik dipertautkan
oleh Puri Mangkunegaran. Keduanya dikisahkan menjadi teman kecil dan seiring
waktu tumbuhlah benih cinta di hati Teto. Dunia serba indah Teto dan Atik ternyata cuma
sebentar. Serangan tentara Jepang pada 1942 menjungkirbalikkan dunia mereka.
Usai KNIL dikalahkan, keluarga Teto pun berantakan. Kapten Brajabasuki
ditangkap Jepang dan Marice terpaksa menjadi gundik perwira Jepang untuk
menyelamatkan hidup suaminya. Kenyataan itu memporak-porandakan hati Teto
yang kini ditampung oleh keluarga Antana. Menjelang kemerdekaan Indonesia,
dengan kemarahan meledak-ledak, Teto melarikan diri dari keluarga Antana.
Muncullah tekadnya memerangi apa pun yang berbau Jepang. Teto pun memutuskan ikut KNIL, sesuai wasiat
dalam surat terakhir Marice sekaligus untuk membalaskan dendam ayahnya. Teto
kemudian menjadi bawahan Mayor Verbruggen, teman sekolah ayahnya di Akademi
Militer Breda, Belanda, sekaligus mantan kekasih ibunya. Sementara itu, keluarga Antana memilih jalan
mengikuti Republik Indonesia. Atik sendiri kemudian mengabdi sebagai salah
satu juru tik Sutan Sjahrir. Sejak itulah, jurang lebar memisahkan hati Teto
dan Atik. Teto patah hati, sementara Atik menutup hatinya. Teto dan Bumiputra di
Kubu Belanda Menjadikan Teto yang pro-Belanda sebagai
protagonis bisa dibilang pilihan yang ganjil. Dalam era Orde Baru, adalah
lebih lazim menempatkan tokoh-tokoh veteran TNI atau laskar sebagai pusat
cerita. Pun demikian di buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Pilihan Romo Mangun itu tentulah bukan sekadar
gaya-gayaan atau memenuhi ego “yang penting melawan arus”. Sekali pun ganjil,
kisah Teto tetap punya landasan sejarah yang objektif. Melalui perjalanan
hidup Teto, Romo Mangun seakan mengajak pembacanya memahami orang-orang Indonesia
yang memilih kubu seberang. Di era kolonial, banyak orang Indonesia
terpelajar yang lebih memilih jadi pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Sebagian bumiputra juga ikut menjadi bagian militer kolonial dalam KNIL.
Alasannya praktis saja: kemapanan hidup. Dengan jadi pegawai kolonial, mereka
punya jaminan penghasilan dan keamanan finansial. Era transisi selalu diikuti dengan
ketidakstabilan kondisi sosial-politik. Demikianlah yang terjadi kala
Indonesia diduduki Jepang hingga tahun-tahun pertama kemerdekaan. Dalam
kondisi macam itu, bukan hal aneh jika ada orang yang berganti haluan. Ada kisah tentang seorang bernama Yassin yang
semula adalah intel Kepolisian Hindia Belanda. Di masa pendudukan Jepang,
Yassin beralih jadi Polisi Jepang. Dia sekali lagi berpindah haluan di zaman
Revolusi dengan menjadi Polisi NICA. Dalam konteks inilah, kita dapat memahami
keluarga Brajabasuki dan juga Antana. Ketetapan atau perubahan pilihan mereka
di kemudian hari pun tidak terlepas dari gerak sejarah Indonesia. Motifnya
tentu saja beragam. Dalam diri Teto, kita bisa lihat motif balas dendam yang
menggerakkannya. Ada pula motif pragmatis mengamankan sumber pendapatan,
seperti halnya Mayor Verbruggen yang siap mendaftarkan diri di Legiun Asing
Prancis seandainya didemisionerkan dari KNIL. Bukan hanya rakyat biasa saja yang seperti
itu, tokoh-tokoh elite pun setali tiga uang. Contoh yang paling terkenal
adalah Abdulkadir Widjojoatmodjo. Di era Hindia Belanda, Abdulkadir adalah
pegawai pemerintah kolonial. Dia ikut mengungsi ke Australia ketika Belanda
dikalahkan Jepang pada tahun 1942. Antara 1944 hingga 1946, kala Belanda mencoba
memulihkan kekuasaannya, Abdulkadir ditunjuk menjadi wakil pemerintah NICA di
Papua. Abdulkadir juga adalah ketua delegasi Belanda dalam Perundingan
Renville. Sangkan Paran Revolusi
Dalam esai panjang “Pengakuan Seorang Amatir”
yang dimuat Pamusuk Eneste dalam bunga rampai Proses Kreatif 3: Mengapa dan
Bagaimana Saya Mengarang (2009), Romo Mangun menyebut masalah penokohan dalam
BBM tidak ubahnya mengaplikasikan kosmologi wayang ke dalam novel modern.
Tentu dengan interpretasi bebas yang tidak terikat pakem. Misalnya, Teto yang terinspirasi dari sosok
Kakrasana (kemudian bergelar Raja Baladewa) yang bersifat seta—putih
darah-daging-luar-dalamnya. Dia adalah kakak dari Narayana (kemudian menjadi
Raja Kresna) yang bersifat hitam darah-daging-luar-dalamnya. Meski begitu,
kontras antara Kakrasana dan Narayana, juga sifat putih dan hitam, itu tidak
lantas diejawantahkan sebagai kontras baik dan jahat belaka. “Nenek moyang kita sangat sadar betapa makna
hitam dan putih jangan dicari pada kontras warna fisiknya, baik dan buruk,
juga tidak mempersoalkan kedwitunggalan kosmik antara kutub bumi dan angkasa,
jantan-betina, kanan-kiri, dan sebagainya, tetapi menunjuk lebih ke dalam, ke
pertanyaan hidup yang lebih mendasar, yakni sangkan paran, dari mana mau ke
mana,” papar Romo Mangun dalam esainya (hlm. 127). Karena itulah, Romo Mangun mempertanyakan cara
orang membaca sejarah yang begitu dikotomis. Gugatan itulah yang
disiratkannya melalui tokoh-tokoh utama BBM, Setadewa dan Larasati. Apakah Teto yang bergabung dengan KNIL lantas
jadi sosok jahat? Apakah dia kemudian harus jadi musuh yang disingkirkan Atik
si tokoh baik? Bukan premis cerita macam itu yang ingin disampaikan Romo
Mangun karena semesta penceritaan mengenai pencarian jati diri bakal tak
tercapai jika keduanya dipertentangkan. “Teto dan Larasati, si dia yang gagal dan dia
yang berhasil, dia yang ikut musuh dan dia yang memihak diri kita, Kurawa dan
Pandawa, Kama dan Ratih, benarkah mereka saling berlawanan?” gugat Romo
Mangun (hlm. 128). Pada akhirnya, Romo Mangun juga mengajak
pembacanya untuk menafsir ulang nasionalisme. Di awal bagian dua, Teto merasa
tanah airnya adalah bentuk pengabdian kepada Ratu Belanda yang berdaulat atas
Hindia. “Maaf, Anda keliru alamat menamakan aku budak
Belanda. Bagiku NICA hanya sarana seperti Republik bagi mereka sarana juga.
Omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang menipu. Apa dikira
orang desa akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah
mahkota Belanda?” cecar Teto menjelaskan alasannya masuk KNIL (1981, hlm.
58). Namun, seiring dengan perkembangan cerita dan
karakter, Teto akhirnya memilih menjadi Indonesia. Terlepas dari apakah dia
melakukannya untuk mendekat kembali pada Atik atau bukan, itu adalah tengara
dari dinamika nasionalisme yang cair. Demikian pun Larasati dalam permenungannya di
depan pusara sang ayah. Sambil membayangkan Teto, Atik bertanya retoris, “Ah,
mengapa ada manusia kalah? Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita mendambakan
dunia sesudah perang kemerdekaan ini, yang menghapus dua kata ‘kalah’ dan
‘menang’ dari kamus hati dan sikap kita?” (1981, hlm. 168). Revolusi 1945 pun, menurut Romo Mangun, tidak
lepas dari pertanyaan sangkan paran ini. Dari mana, untuk siapa, dan hendak
ke mana revolusi itu. Burung-Burung Manyar dihadirkan Romo Mangun untuk
mencoba membantu kita menjawab pertanyaan sangkan paran itu. Tak hanya dalam
soal sejarah lahirnya Indonesia, tapi juga jati diri dan citra menjadi suatu
bangsa merdeka. ● Sumber : https://tirto.id/novel-burung-burung-manyar-nasionalisme-orang-orang-kalah-giMu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar