Merdeka
dari Sindrom Inferiority Complex Masdar Hilmy ; Guru Besar dan RektorUIN Sunan Ampel
Surabaya |
JAWA POS, 18
Agustus 2021
”a civilization that proves incapable of solving the problems it
creates is a decadent civilization.” (aimé césaire, 1972:9) HARI Ulang
Tahun (HUT) Ke-76 Kemerdekaan RI kembali dirayakan di tengah masa pandemi
Covid-19. Jika melihat persebaran pandemi yang cenderung melandai, terdapat
secercah harapan di benak masyarakat akan kemampuan bangsa ini keluar dari
kubangan pandemi. Tentu optimisme ini menjadi modalitas psikososial yang
dapat dikonversi menjadi komitmen, tekad bersama, dan ikhtiar nyata untuk
menanggulangi Covid-19 secara lebih serius lagi. Namun,
optimisme jangan sampai membuat bangsa ini lengah. Kasus ”bobolnya” gerbang
negara dari serbuan pertama Covid-19 terbukti belum mampu memberikan
pelajaran bagi kita untuk mengantisipasi datangnya serangan kedua varian
Delta. Ketika India dihantam varian baru Covid-19, banyak pihak menyangsikan
kemampuan bangsa ini untuk membendung masuknya virus tersebut. Benar saja,
akhirnya gerbang terluar negara jebol kembali oleh serbuan varian Delta yang
datangnya bak gelombang tsunami. Apa yang
menimpa bangsa ini terkait pandemi Covid-19 mengingatkan saya pada pernyataan
Aimé Césaire (1913–2008), seorang ilmuwan pascakolonial dari Martinique,
sebagaimana dikutip di awal tulisan ini: ”sebuah peradaban yang terbukti
tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dia hadapi merupakan
peradaban yang dekaden”. Dengan ungkapan lain, peradaban yang dekaden adalah
peradaban yang medioker atau inferior. Sindrom Superiority Complex Di sisi lain,
keberhasilan sejumlah negara menekan persebaran Covid-19 melalui vaksinasi yang
diproduksi sendiri memberikan rasa percaya diri yang memuncak dalam bentuk
sindrom superiority complex. Fenomena semacam ini ditandai oleh menguatnya
kebanggaan diri yang berlebihan dalam bentuk sikap merendahkan bangsa lain.
Sindrom superiority complex biasanya banyak terjadi di kalangan negara maju
yang tidak mau tunduk pada protokol kesehatan sebagaimana direkomendasikan
oleh WHO. Sindrom
superiority complex hendak meneguhkan superioritas mereka di atas
bangsa-bangsa lainnya. Mentalitas semacam ini bisa dilihat dari sikap mantan
Presiden AS Donald Trump yang menyebut Covid-19 sebagai the Chinese viruses
(virus Tiongkok). Olok-olok politik tersebut dimaksudkan sebagai strategi
glorifikasi diri atas supremasi dan superioritas mereka di atas bangsa-bangsa
lain. Stigmatisasi tersebut sempat menimbulkan sentimen anti-Asia dan
anti-Tiongkok di kalangan warga AS, terutama di kalangan para pendukung
Donald Trump. Untuk menjadi
besar, sebuah bangsa memang membutuhkan mentalitas superiority complex dalam
kadar yang tepat. Berkaca dari banyak peradaban besar di panggung sejarah
dunia yang datang silih berganti, kunci menuju kebesaran dan kejayaan tentu
saja adalah mentalitas superior yang dimiliki oleh warganya. Mentalitas
superior tergambar dari karakter yang mereka miliki, seperti berpikir dan
bertindak rasional, disiplin, kerja keras, menghargai proses, dan semacamnya. Namun, kadar
superiority complex yang overdosis dapat menyebabkan kehancuran sebuah
bangsa. Hal demikian terjadi ketika sebuah bangsa mengalami gejala
”intoksikasi” atas kebesaran dirinya yang cenderung disertai sikap
merendahkan bangsa lain. Oleh karena itu, mentalitas superior dibutuhkan
dalam dosis yang tepat. Revitalisasi Kemerdekaan Memasuki HUT
Ke-76 RI, kemampuan kita keluar dari berbagai persoalan akibat pandemi
Covid-19 menjadi isu sentral yang relevan untuk direfleksikan bersama. Jika
tidak ingin menjadi bangsa yang dekaden seperti ditegaskan Césaire di atas,
kita harus mampu mengatasi berbagai persoalan yang membelit bangsa ini. Dalam
konteks ini, merevitalisasi makna merdeka menjadi sebuah keniscayaan. Istilah
merdeka memiliki dua konotasi makna. Pertama, merdeka dalam pengertiannya
yang negatif seperti ditunjukkan dalam ungkapan ”merdeka dari” (freedom from)
dan makna positif atau ”merdeka untuk” (freedom to). Dalam pengertiannya yang
negatif, Hayek (2006) mendefinisikan merdeka sebagai ”the state in which a
man is not subject to coercion by the arbitrary will of another”. Kemerdekaan
adalah sebuah kondisi ketika seorang individu tidak tunduk pada paksaan
kehendak orang lain yang sewenang-wenang. Dengan demikian, sumber dari
ketidakmerdekaan seseorang adalah pemaksaan personal yang mengungkung
kebebasan orang lain. Konotasi makna
merdeka yang kedua adalah dalam pengertiannya yang positif. T.H. Green (1986)
mendefinisikan kemerdekaan yang positif sebagai ”the positive power or
capacity of doing or enjoying something worth doing…and something that
we…enjoy in common with others”. Konsep merdeka dalam konteks ini
didefinisikan sebagai determinasi rasional yang bersifat otonom dari seorang
individu serta tidak mengebiri kemerdekaan orang lain. Kemerdekaan secara
positif melibatkan unsur kesadaran diri atau kemampuan membuat keputusan. Untuk menuju
kemerdekaan dalam pengertian positif, bangsa ini harus mampu melampaui
kemerdekaan dalam pengertiannya yang negatif terlebih dahulu. Logikanya,
bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa menjadi besar jika ia tidak mampu
mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi? Harus diakui, salah satu kendala
terbesar bagi bangsa ini untuk meraih kehebatannya adalah sindrom inferiority
complex. Yakni kondisi psikososial yang menempatkan warga bangsa ini dalam
posisi lebih rendah dan inferior dibanding bangsa-bangsa lain. Sindrom
semacam ini telah lama menjadi ”penghalang mental” bagi bangsa ini untuk
berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Penghalang mental ini pula yang
membuat kita selalu merasa puas sebagai bangsa medioker alias biasa-biasa
saja. Padahal, Presiden Soekarno (1964) telah memformulasikan konsep Trisakti
dalam rangka mengatasi sindrom inferiority complex ini, yakni berdaulat dalam
politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kenyataannya,
mengatasi sindrom inferiority complex tidak semudah membalik telapak tangan.
Dibutuhkan pengerahan total segenap energi bangsa untuk melangkah bersama
meraih kejayaan NKRI. ● Sumber
: https://www.jawapos.com/opini/18/08/2021/merdeka-dari-sindrom-inferiority-complex/?page=all |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar