Budi
Darma, Kritik(us) Itu... Bandung Mawardi ; Kuncen di Bilik Literasi |
DETIKNEWS, 21
Agustus 2021
Pada 1983,
terbit buku berjudul Solilokui, berisi esai-esai Budi Darma. Sekian esai
sering mengandung masalah kritik tapi judul buku tak perlu menggunakan diksi
kritik. Sejak masa 1950-an, orang-orang mengetahui HB Jassin dan A Teeuw
sering berkaitan kritik (sastra) dengan penulisan esai-esai dan penerbitan
buku-buku. Pada masa berbeda, Budi Darma juga rajin mengurusi masalah kritik,
selain nama-nama tenar: Jakob Sumardjo, Hartojo Andangdjaja, Ajip Rosidi,
Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, dan Sapardi Djoko Damono. Kita malah
boleh memberi sebutan Budi Darma adalah manusia-kritik mengacu
tulisan-tulisan dipublikasikan di majalah-majalah dan terbit menjadi
buku-buku, sejak masa 1970-an. Ia rajin menggunakan diksi kritik, menggunakan
dalam beragam misi dan dampak. Ketekunan mengurusi kritik (sastra) kadang
bergerak ke kritik sosial, kritik politik, kritik intelektual, kritik seni,
dan lain-lain. Kini, kita menghormati Budi Darma sebagai manusia-kritik
mumpung pemerintah dan publik sedang berpusing mengartikan kritik. Budi Darma
tetap saja dimuliakan sebagai pengarang cerpen dan novel ketimbang kritikus.
Dulu, ia sudah menggoda dengan buku berjudul Kritikus Adinan (2002). Judul
menggunakan diksi "kritikus" tapi isi buku adalah cerita-cerita.
Pada suatu hari, tamu datang ke rumah kritikus Adinan. Ia memberikan surat
perintah dari pengadilan. Kritikus Adinan mengaku seumur hidup tak pernah
berhubungan dengan pengadilan. Surat itu bakal mengubah biografi. Datanglah
ia ke gedung pengadilan. Pada suatu
adegan menunggu di ruangan gara-gara surat panggilan pengadilan: "Kalau
tadi kritikus Adinan merasa bebas untuk duduk di kursi yang mengeluarkan
bunyi gerit-gerit, membolak-balik surat panggilan yang tentunya menimbulkan
bunyi halus dan mondar-mandir yang menghasilkan bunyi ketepak-ketepak,
sekarang kritikus Adinan merasa tidak layak untuk mengeluarkan bunyi apa pun
dan betapa halus pun. Melangkah sedikit berarti mengeluarkan bunyi, karena
itu kritikus Adinan memutuskan untuk berdiri tegak di depan pintu tanpa
berbuah apa pun, kecuali bernafas perlahan-lahan. Kembali wajah ibunya yang
selalu menasihatinya untuk berbuat sabar melayap di kepala kritikus
Adinan." Tokoh itu
mengalami menit-menit menegangkan. Nasib kritikus Adinan mudah
"kritis" dan "krisis" akibat hal-hal sulit dimengerti
secara wajar. Budi Darma
sebagai kritikus mengadakan kritikus Adinan. Kita sudah membaca meski tetap
terpukau dengan cerita-cerita dalam buku berjudul Orang-Orang Bloomington
(1981). Cerita-cerita juga mengandung kritik, selain buku-buku esai tak
jemu-jemu memasalahkan kritik. Sejak dulu, Budi Darma mengerti kritik,
mempersembahkan cerita dan esai mengenai kritik. Kita membaca
sambil merenungi kritik atau membiarkan kritik menghuni dalam tulisan-tulisan
saja tanpa perlu dibawa ke urusan-urusan di luar sastra. Kita tentu tak perlu
menuntut agar ada penerbit mau mengumpulkan tulisan-tulisan Budi Darma
terpilih menjadi buku berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik,
Esai, dan Cerita. Judul lebih panjang dari buku HB Jassin: Kesusastraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Pada suatu
masa, Budi Darma menulis esai berjudul Para Pencipta Tradisi. Di situ, ia
mengisahkan kritik menggelitik. Ia mengajukan tokoh Nirdawat. Kita diajak
tertawa gara-gara kritik: "Nah,
pada waktu berjalan-jalan di perpustakaan itulah Nirdawat menemukan buku
lain, yang juga sudah pernah dibacanya beberapa tahun yang lalu. Beberapa
tahun yang lalu buku itu juga memancing kegusarannya. Judul buku ini
sederhana, yaitu Portrait of an Artist as a Doddering Man, alias Potret
Seorang Seniman Sebagai Orang Buyuten. Pintalan kata-kata dan pikiran orang
yang dianggap umum sebagai esais di Indonesia itu tidak lain dan tidak bukan
hanyalah bias buku ini. Dan dia tahu benar bahwa orang yang dianggap sebagai
esais ini telah membentuk sebuah tradisi tersendiri dalam penulisan esai di
Indonesia." Pada masa
1980-an, Budi Darma memberi omelan bahwa sastra Indonesia melulu puisi dan
cerita pendek. Pembuktian adalah pengiriman naskah dalam lomba-lomba
penulisan sastra. Jumlah esai selalu sedikit. Esai sering "kering
kerontang", bernasib apes dalam sastra Indonesia. Kemunculan esais
dimengerti Nirdawat memang wajar saja membentuk "tradisi" masih
terwariskan sampai sekarang. Di situ, Budi Darma menitip kritik. Gamblang
tanpa menggunakan diksi kritik. Budi Darma
mengingatkan kebiasaan memberi kritik berlaku bagi pengarang dalam urusan apa
saja. Budi Darma pun memenuhi misi kritik melalui cerita pendek, novel, dan
esai. Budi Darma itu kritikus. Kritik demi kritik menjadikan Budi Darma sadar
melaksanakan peran tak ringan. Ia membahasakan: "Saya
menjadi pengarang karena takdir. Bakat, kemauan, dan kesempatan menulis
hanyalah rangkaian pernyataan takdir." Kita
menganggap penulisan kritik-kritik berarti pemenuhan takdir. Budi Darma itu
manusia-takdir dan manusia-kritik. Pada usia tua, ia masih rajin menulis.
Kritik-kritik tetap diceritakan dan dijelaskan. "Tidak menulis berarti
berkhianat terhadap takdir," pengakuan Budi Darma (1981). Pengakuan
dilengkapi dalam membahasakan ilusi. Budi Darma (2001) mengenang babak-babak
terpikat sastra dan memenuhi takdir. Budi Darma mengesankan lugu tapi
sungguh-sungguh mewartakan diri dalam arus kritik demi takdir. Ia mengaku: "Setelah
saya berkenalan dengan sastra asing tahulah saya bahwa salah satu epigram
novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rise, diambil dari salah satu kitab
suci, juga mempertanyakan mengapa laut tidak pernah penuh. Itulah obsesi
pengarang, yaitu serangkaian pertanyaan yang terus-menerus mendorong
pengarang untuk menulis." Takdir terus
bergerak dan menghendaki Budi Darma terus menulis, mengajak pembaca menikmati
kritik-kritik, dari masa ke masa. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5690825/budi-darma-kritikus-itu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar