UI
Sedang Sakit Keras, Siapa yang Harus Bertanggung Jawab? Mutiara Hikmah ; Dosen Hukum Perdata Internasional Fakultas
Hukum UI; Anggota Senat Akademik UI periode 2014-2019; Ketua Bidang Studi
Hukum Internasional periode 2015-2021 |
KOMPAS, 5 Agustus 2021
Universitas
Indonesia merupakan salah satu perguruan tinggi besar dan tertua di
Indonesia. Lahir pada 2 Februari 1950, UI merupakan perguruan tinggi yang
menjadi sasaran dari lulusan sekolah menengah di Indonesia, bahkan dari luar
negeri. Sebagai universitas besar yang menyandang nama bangsa dan negara, UI
telah menjadi kebanggaan bagi sivitas akademika UI, bahkan menjadi kebanggaan
bagi bangsa Indonesia. Sejak
perubahan yang penting tahun 2013, UI telah menjadi Perguruan Tinggi Negeri
Badan Hukum (PTN BH) dengan semua konsekuensi yang mengharapkan UI bisa
menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Sejak saat itu, UI telah
melakukan berbagai penyesuaian termasuk merumuskan visinya, yaitu ”Mewujudkan
Universitas Indonesia menjadi PTN BH yang mandiri dan unggul serta mampu
menyelesaikan masalah dan tantangan pada tingkat nasional ataupun global,
menuju unggulan di Asia Tenggara”. Ada apa dengan UI Beberapa
tahun terakhir ini, begitu banyak kejadian yang menimpa institusi besar ini
membuat perhatian masyarakat banyak tertuju kepadanya. Salah satu kekisruhan
UI secara internal terjadi ketika Rektor UI digugat ke PTUN oleh salah satu
wakil rektornya karena melakukan pemberhentian dengan tidak patut. Kemudian,
digugatnya Majelis Wali Amanat (MWA) UI oleh mahasiswa UI. Kasus
yang belum lama terjadi adalah pemanggilan BEM UI oleh rektor. Dan baru-baru
ini adalah kisruh rangkap jabatan rektor UI yang berujung dengan lahirnya
Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI. Itu
adalah sebagian kecil dari puncak gunung es di UI, bagaimana tata kelola dan
manajemennya sangat memprihatinkan dengan begitu banyaknya campur tangan dari
pihak luar. Saat ini UI sulit memosisikan sebagai institusi pendidikan yang
bersifat otonom, obyektif, dan ilmiah. Hal ini disebabkan UI sudah
terkungkung dan terpatri oleh politik kepentingan pemerintah sebagai penguasa
saat ini. Ada
beberapa hal menarik yang bisa ditelisik mengenai kondisi UI saat ini yang
menurut penulis, andaikan penulis adalah seorang dokter, diagnosa untuk UI
saat ini adalah sedang sakit kronis bahkan koma (dying). Kenapa hal ini bisa
terjadi, bisa dibahas satu per satu berikut ini. Manajemen dan tata kelola UI Manajeman
dan tata Kelola UI sangat bergantung pada kredibiltas dan efektivitas empat
organ UI, yang terdiri dari MWA, Rektor, Senat Akademik, dan Dewan Guru Besar
(DGB). Dari empat organ UI tersebut, MWA UI merupakan organ yang paling penting
dan menentukan masa depan UI. Hal ini disebabkan MWA mempunyai wewenang untuk
mengangkat dan memberhentikan rektor, menilai pertanggungjawaban rektor,
serta membuat aturan-aturan dan langkah kebijakan beserta organ yang lainnya.
Dengan masuknya orang-orang yang berasal dari pemerintah dan politisi di
tubuh MWA UI, hal ini mengakibatkan gejala yang kurang sehat pada MWA UI. Jadi,
dari unsur masyarakat dan dosen, MWA UI bermasalah apalagi setelah
diangkatnya sekretaris MWA UI sebagai Kepala Jubir Tim Covid-19 secara
nasional. Hal tersebut merupakan pelanggaran Pasal 24 butir c Statuta UI 2013
tentang jabatan rangkap sekretaris MWA. Maka lumpuh sudah MWA UI karena tidak
maksimal menjalani tugasnya dan tidak akan efektif bekerja. Urusan UI menjadi
nomor dua, tidak heran apabila jadwal-jadwal rapat rutin MWA berlalu, gone
with the wind. Lumpuhnya MWA adalah virus pertama dalam tubuh empat organ UI. Pengalaman
penulis ketika menjadi anggota Senat Akademik di UI periode 2014-2019,
anggota MWA UI unsur masyarakat dipilih oleh pansus MWA, yaitu dari iluni
yang telah menyebar di berbagai sektor. Dengan adanya darah UI mengalir pada
MWA dari unsur masyarakat, jelas akan memberikan perubahan, perbaikan,
peningkatan terhadap UI karena mereka memiliki sense of belonging terhadap
UI. Tidak seperti yang ada sekarang ini. Alih-alih membawa perubahan dan
perbaikan, malahan menumpang nama besar UI dan membuat karam UI seperti kapal
Titanic. Rektor
UI merupakan organ penting kedua, sebagai pelaksana dan penyelenggara
pendidikan di UI. Rektor UI sebagai unsur pelaksana pun sarat dengan masalah.
Dimulai dengan adanya gugatan salah satu Wakil Rektor I UI terhadap Rektor UI
ke PTUN Jakarta karena diberhentikan dari jabatannya ketika belum lima tahun
(2019-2024) menjabat pada 20 Oktober 2020 (Detiknews, 18/2/2021). Belum
lama ini juga terjadi polemik antara BEM UI dan Rektor, disebabkan BEM UI
melabeli Presiden RI sebagai ”The King of Lip Service”. Buntutnya, pihak
rektorat memanggil dan menegur mahasiswa. Pihak rektorat keberatan jika
mahasiswa mengecap Presiden Jokowi seperti itu. Polemik tersebut berujung
pada kekisruhan selanjutnya, yaitu rangkap jabatan rektor UI. Saat
awal merumuskan draf Statuta UI yang kemudian menjadi PP Nomor 68 Tahun 2013,
penulis dari Senat Akademik Fakultas Hukum UI sepakat dengan anggota tim lain
dari UI bahwa posisi rektor UI sangat strategis dan penting karena UI
mengemban nama negara, perguruan tinggi yang paling tua dan menjadi teladan
bagi universitas-universitas lain di negeri ini, dan tidak boleh dirangkap
dengan jabatan lain. Oleh karena itu, larangan rangkap jabatan dituangkan
dengan tegas dalam Pasal 35 Statuta UI (Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun
2013 yang ditandatangani presiden). Rektor
UI harus fokus memimpin UI demi kemajuan dan kualitas unggul yang harus
dipertahankan untuk menjadi leading university sehingga jabatan rektor UI
tidak boleh dirangkap, karena selain Statuta UI, undang-undangnya mengatur
demikian. Pelanggaran rektor terhadap peraturan yang ada dan tidak diselesaikan
baik secara internal maupun secara etika dan hukum merupakan virus
selanjutnya dalam tubuh UI. Walaupun
sudah diprotes oleh sivitas akademika dan sudah ada teguran keputusan dari
Ombudsman RI, tampaknya tidak ada respons yang menunjukkan itikad baik dari
Rektor UI untuk menaati peraturan tentang rangkap jabatan. Organ
ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah Senat Akademik UI karena organ
inilah yang melakukan pemilihan terhadap anggota MWA. Ketika MWA lumpuh
karena hasil pilihan Senat Akademik UI, seharusnya Senat Akademik UI pun
harus mempertanggungjawabkan kinerjanya yang membawa UI menjadi sakit kronis.
Senat Akademik UI berisi lima perwakilan dari 14 fakultas yang ada di UI.
Setiap fakultas diwakili oleh dekan (ex officio), dua guru besar, dan dua
doktor yang berpangkat lektor kepala. Menjelang
akhir periode masa jabatan MWA, Senat Akademik akan membuat Panitia Khusus
Pemilihan anggota MWA. Dengan masuknya virus beberapa kali MWA UI yang
mengakibatkan lumpuhnya MWA juga harus menjadi bahan introspeksi bagi Senat
Akademik UI, dan organ ini harus bertanggung jawab. Tidak efektifnya Senat
Akademik UI yang telah memilih MWA yang tidak kredibel, merupakan virus
ketiga bagi UI. Tumpuan harapan pada DGB. Dewan
Guru Besar UI adalah organ yang paling terhormat dan paling tinggi kastanya
di antara organ-organ yang lain karena beranggotakan perwakilan lima guru
besar dari 14 fakultas di UI. DGB UI-lah satu-satunya harapan terakhir bagi
UI untuk bisa menyelamatkan UI dari kekronisan sakitnya. Namun jika DGB UI
dalam hal ini tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya seperti yang
diamanatkan dalam Statuta UI, kronisnya UI juga merupakan tanggung jawab DGB
UI. Dewan
Guru Besar UI seharusnya bisa menjadi organ yang berkompeten untuk menegur,
menindak, dan memproses perkara ini ke jalur hukum karena rektor telah
melakukan malaadministrasi ketika terjadi pelanggaran terhadap Statuta UI.
Selain statuta, rektor pun melanggar Undang-Undang tentang Rangkap Jabatan
ASN dan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-2/MBU/02/2015 jo Peraturan Menteri
BUMN Nomor PER-10/MBU/10/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan
dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN. Diangkatnya
rektor UI oleh Menteri BUMN (anggota MWA UI) sebagai Wakil Presiden Komisaris
BRI melalui RUPS BRI merupakan perselingkuhan yang dilakukan oleh dua organ
UI. Hal itu jelas bertentangan dengan peraturan yang ada. Ternyata
perselingkuhan itu terjadi lagi ketika mereka mengegolkan peraturan
pemerintah tentang Statuta UI yang baru. DGB UI seharusnya bisa menjadikan
hukum sebagai panglima di UI. Jadi,
jika empat organ UI lumpuh, tidak heran jika UI saat ini dying. Semua
fakultas, empat organnya juga tenang-tenang saja selama ini, seperti tidak
terjadi apa-apa. Lahirnya Statuta UI secara instan Kekisruhan
UI diperparah dengan lahirnya PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI pada
2 Juli 2021. Lahirnya PP ini selain jalurnya fast track, isinya pun sarat
dengan pro dan kontra, baik pada tingkat organ UI maupun di kalangan sivitas
akademika UI. Ada beberapa hal menarik yang bisa dikritisi dari Statuta UI
yang baru ini. Pertama,
dari segi proses dan prosedur penerbitan, statuta baru UI isinya berbeda
dengan draf statuta yang sudah disepakati dalam rapat Kemendikbudristek dan
tim gabungan empat organ UI tahun 2020. Perubahan-perubahan yang dilakukan
adalah usulan-usulan rektor, pimpinan eksekutif UI, dan MWA UI yang
sebenarnya telah ditolak (antara lain soal adanya perangkat rektor baru,
yaitu sekretaris universitas) dalam rapat-rapat Kemendikbudristek dengan Tim
Gabungan Revisi Statuta UI. Namun secara instan, telah keluar PP tersebut.
Ibarat bayi, PP ini lahir prematur dan kurang bulan sehingga organ tubuhnya
kurang lengkap. Kedua,
dari segi substansi. Banyak perubahan secara substansi di dalam Statuta UI
yang baru, di antaranya adalah adanya anggota MWA Kehormatan yang diangkat
oleh menteri (Pasal 25 Ayat 4), jumlah anggota MWA Kehormatan sembilan orang
(Ayat 5). Ini merupakan hal baru yang tidak diatur di dalam statuta lama.
Dengan dirumuskannya aturan tersebut, sangat nyata pihak penguasa semakin
besar dominasinya ingin melakukan intervensi di tubuh UI. Kemudian
adanya ketentuan baru mengenai sekretaris universitas di Pasal 35 (yang
ketika rapat penyusunan draf dari tim gabungan, menolak adanya sekretaris
universitas). Mengenai masa jabatan Ketua/Sekretaris Senat Akademik (Pasal 43
Ayat 7) dan Ketua/Sekretaris DGB menjadi 2,5 tahun (Pasal 45 Ayat 3). Jika
melihat pada statuta lama adalah lima tahun. Pada Pasal 44 Ayat 1 butir (h),
Statuta UI memberikan kewenangan Senat Akademik untuk melakukan penilaian dan
pengajuan dosen dari jabatan lektor kepala menjadi guru besar. Ini merupakan
perubahan baru karena menurut statuta yang lama, kewenangan itu ada pada DGB
UI. Saat
ini UI sedang koma karena meskipun rektor telah mundur dari jabatan komisaris
di BRI dan juga dituntut mundur dari jabatan rektornya, bukan berarti
permasalahan selesai. Lumpuhnya empat organ UI membuat organisasi UI terdapat
kekosongan karena semua organnya tidak efektif. Saat ini UI sedang dying dan
siapakah yang harus bertanggung jawab? Dokter mana yang bisa menyembuhkannya
dan resep mana yang ampuh untuk menyelamatkan UI? Hanya
Yang Maha Kuasa yang memiliki jawaban atas semua ini. Vivat Academia… Vivat Profesores...
Vivat Senatores… ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar