Baliho,
Pandemi, dan Mimpi Politisi Lely Arrianie ; Dosen Komunikasi Politik Universitas
Nasional, Presidium Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI) dan Dewan
Pakar ISKI |
SINDONEWS, 19
Agustus 2021
RUANG publik
Kota Jakarta dan hampir seluruh kota di Indonesia tiba-tiba dipenuhi baliho
berukuran besar. Baliho tersebut memuat gambar orang-orang yang sebenarnya
telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Akibat baliho tersebut terjadilah
kekacauan persepsi seketika. Pertanyaan pun mengemuka, apa maksud di balik
pemasangan baliho tersebut? Di tengah
situasi pandemi dan kepanikan rakyat yang kekurangan oksigen, kehilangan mata
pencaharian, atau yang berduka karena kepergian orang-orang tercinta untuk
selamanya, perhatian kita harus tersita ke baliho bergambar wajah orang-orang
yang sebenarnya tidak begitu penting mempromosikan diri lagi karena sudah
nyata dikenal dan punya kuasa. Pertanyaan apa
maksud dari pemasangan baliho tersebut tentu akan dengan mudah dijawab oleh
elite partai yang wajah tokohnya terpampang di baliho. Mereka akan mengatakan
bahwa ini sudah direncanakan sejak lama, sudah agenda yang tidak bisa diubah
, atau dengan banyak alasan lain yang sebenarnya juga bisa dijawab masyarakat
dengan membalikkan argumen yang mereka ketengahkan. Namun, yang
sulit dibantah adalah baliho tersebut adalah ajang promosi diri para elite
untuk menuju panggung kekuasaan pada 2024. Persepsi itu melekat di benak
hampir seluruh rakyat Indonesia saat ini. Lalu pertanyaannya, efektifkah
baliho-baliho tersebut dalam upaya meraih dukungan atau suara publik? Pandemi dan Promosi Diri Baliho memang
merupakan salah satu sarana komunikasi pemasaran dan "menjual diri"
secara politik, di mana partai dan atau politisi berusaha untuk
menginformasikan, mengingatkan, membujuk baik secara langsung maupun tidak
langsung tentang produk politik yang mereka jual. Hal ini pernah diingatkan
oleh Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2009) bahwa sebenarnya ada banyak
strategi yang bisa dilakukan untuk mempromosikan diri, terutama dari segi
push, pass, dan full marketing. Anggaplah
politisi yang ingin dijual merupakan produk unggulan partai. Jika demikian
partai seharusnya lebih memilih posisi dominan pada kesadaran akan merek
partai yang melekat pada politisi tersebut. Jadi yang hendak dibangun adalah
loyalitas pada merek partai bukan politisinya. Artinya, di tengah situasi
pandemi ini yang bergerak seharusnya adalahpartai dengan berbagai aktivitas
kemanusiaan yang bersifat altruisme. Bukan malah menjejali benak masyarakat
dan konstituen dengan gambar wajah politisi yang notabene tidak ada korelasi
langsung dengan aktivitas kemanusiaan untuk menaikkan branding image partai. Partai punya
peran relevan jika ingin memfungsikan sistem push marketing ini di tengah
pandemi. Caranya, dengan memaksimalkan konversi aktivitas sosial dan
kemanusiaan partai untuk sampai pada audiens yang tidak terjangkau program
bantuan pemerintah, baik pemberian sembako, vaksinasi gratis, maupun bantuan
peralatan medis. Semua bantuan itu bisa dikemas dengan simbol bergambar
“merek” partai maupun politisi yang akan dijual. Meski hal ini juga rawan
kritik, namun jauh akan lebih terukur derajat keberpihakan partai dan
politisinya pada masyarakat, ketimbang menghamburkan uang untuk membuat dan
memajang wajah di baliho yang nilainya bisa digunakan dalam membantu ribuan
orang yang terdampak pandemi. Sedangkan
jalur pemasaran politik yang pull, juga sangat penting dikelola partai,
terutama terhadap konstituen lama yang sudah teruji kesetiaannya. Jadi, untuk
daerah-daerah yang sebenarnya menjadi basis partai, justru baliho sangat
tidak penting, apalagi jika daerah tersebut masuk daerah pemberlakuan
pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4. Ibarat promosi dagang,
wajah politisi di baliho yang sudah terkenal tidak memberikan efek apapun
jika yang dikejar adalah elektabilitas. Baliho hanya salah satu ajang promosi
diri secara politik, sementara ajang promosi lain justru lebih dominan
pengaruhnya untuk mengangkat elektabilitas politik dari politisi partai
tersebut. Jangan karena ingin mendongkrak elektabilitas, lalu meniadakan
empati dan simpati terhadap masyarakat, terutama yang terdampak pandemi,
dengan memajang wajah gembira di baliho yang bertebaran di tepi jalanan.
Baliho adalah produk politik bernilai mahal, padahal biaya itu bisa saja
digunakan untuk menyumbang masyarakat yang terdampak pandemi. Saran ketiga dari Khotler
dan Kevin tentang pass marketing, yakni partai yang ingin menjual produk
politiknya bisa saja melakukan upaya charity in community, misalnya. Mereka
bisa memanfaatkan basis massa di ranting-ranting partai di berbagai pelosok
sebagai ujung tombak dengan program-program sensitif pandemi. Sehingga, tanpa
baliho pun nama-nama elite yang digaungkan dalam program itu bisa
"dibisikkan" langsung ke masyarakat yang ingin diminta suaranya,
terutama kelak jika hajat politik digelar di kemudian hari. Penggabungan
national sponsorship dan local sponsorship akan jauh lebih efektif ketimbang
memajang baliho yang akan lapuk diterpa hujan dan lekang diserang panas. Mimpi
Politisi Meski tahun ini “baru”
2021 dan masih tersisa tiga tahun lagi sebelum digelarnya ajang pemilihan
presiden (pilpres), tapi bagi partai dan politisinya tahun ini justru “sudah”
2021. Kata “baru” dan “sudah” memiliki arti yang berbeda dalam persepsi
partai dan politisinya dibandingkan dengan persepsi masyarakat secara
keseluruhan. Karena bagi masyarakat ini
“baru” 2021, maka seharusnya politisi mau mengubur mimpinya sejenak untuk
mempersiapkan diri memasuki arena kontestasi Pilpres 2024. Mereka harus lebih
peka pada kehidupan masyarakat, terutama yang terdampak pandemi. Naluri dan
hasrat politik hendaknya menyingkir sejenak, beralih dengan tindakan
altruisme dan kemanusiaan yang bisa mengangkat kehidupan rakyat yang kelak
akan dibutuhkan suaranya oleh partai dan politisi itu. Namun, kenyataan berbeda
karena bagi partai dan politisi kata “sudah” juga berarti tibanya mimpi untuk
meraih dan menduduki kekuasaan yang seolah tidak boleh beralih kesempatannya
kepada orang lain. Ibatat teori peran, mengapa ia diributkan, karena ia
diperebutkan. Mimpi politisi akan
kekuasaan ibarat mur dan baut, dua hal yang sulit dipisahkan. Jika dipisah
akan membuat partai tidak berfungsi. Oleh karena itu kebanyakan partai dan
politisinya tega-tega saja melupakan fenomena dan masalah sosial, ekonomi,
bahkan politik di sekitarnya, yang penting mimpi politiknya terealisasikan. Partai memang punya kuasa
untuk mengatur, merencanakan, mengelola dan mengaplikasikan pesan politiknya
kepada masyarakat. Tapi partai seharusnya juga punya kuasa untuk berperan
memanusiakan calon pemilihnya yang kelak di kemudian hari dibutuhkan suaranya
oleh partai, baik untuk pemilihan calon di legislatif maupun di eksekutif.
Tapi sekali lagi, bukan karena baliho masyarakat memilihnya. ● Sumber : https://nasional.sindonews.com/read/515266/18/baliho-pandemi-dan-mimpi-politisi-1629342480 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar