Si
Tulang Bongkok dan Semangat Kemerdekaan Anindita S Thayf ; Novelis dan Esais |
KOMPAS, 29 Agustus 2021
Jelas
ada yang berbeda dari suasana tujuh belas Agustus tahun ini jika dibandingkan
tahun-tahun sebelum pandemi. Perbedaan yang seolah hendak bersembunyi di
balik kibaran penuh semangat bendera merah putih dan barisan umbul-umbul
meriah yang menghiasi tepi jalan, tapi gagal. Siapapun bisa menemukannya pada
wajah orang-orang yang berlalu-lalang. Wajah-wajah yang tertutupi masker. Pandemi dan Revolusi Jiwa Pandemi
memaksa banyak hal berubah, termasuk perayaan hari kemerdekaan Indonesia.
Masih jelas dalam benak setiap warga negeri ini betapa tanggal tujuh belas
Agustus adalah salah satu tanggal yang dinantikan kedatangannya dalam
setahun. Tanggal sakral yang mampu membuat semua orang dipenuhi semangat
bahkan sejak jauh-jauh hari. Semangat
kemerdekaan yang tersalurkan lewat rutinitas tahunan setiap kompleks
perumahan, kelurahan, Rukun Tetangga, hingga kampung-kampung, baik di kota
maupun daerah terpencil: lomba agustusan. Sayangnya, badai pandemi yang belum
surut membuyarkan semua rencana lomba, bahkan angan memenangkan wajan pada
lomba panjat pinang. Wajah-wajah kurang bersemangat itu terlihat jelas di
kampung saya. Pemberlakukan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk wilayah Jawa dan Bali yang
diperpanjang berkali-kali membuat warga kampung saya kian tidak bersemangat.
Tidak ada obrolan riuh seperti yang biasa terdengar saat para warga bergotong
royong memasang bendera dan umbul-umbul. Orang-orang dewasa bahkan seolah
bersepakat untuk bersikap sama di hadapan anak-anak mereka yang tiada henti
bertanya tentang jadwal lomba agustusan. Semuanya
satu suara menyalahkan Covid-19 yang entah kapan bakal hengkang dari negeri
ini, sebelum menyuruh anak-anak itu tutup mulut, melupakan soal lomba. Namun
siapa sangka, sikap pesimis yang ditunjukkan orang-orang dewasa ini justru
memunculkan reaksi yang berbeda dari anak-anak mereka. Dalam
keterangan penutup untuk novelnya, Di Tepi Kali Bekasi, Pramoedya Ananta Toer
menyebutkan bahwa pertempuran melawan penjajah pada masa revolusi merupakan
“epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa
merdeka.” Dengan
berbekal senjata seadanya, termasuk bambu runcing, dan tanpa pendidikan
kemiliteran, para pemudi dan pemuda pada zaman itu berjuang untuk melepaskan
diri dari jiwa jajahan demi menjadi jiwa merdeka. Kini, anak-anaklah yang
berusaha membangkitkan kembali revolusi jiwa tersebut demi melepaskan diri
dari jiwa “terjajah” Covid-19. Mitos Sebagai Media Perlawanan Dalam
situasi yang berbeda dari masa revolusi kemerdekaan, anak-anak di kampung
saya menunjukkan semangat kemerdekaan yang nyaris serupa dengan para
pendahulu mereka. Di tengah keterbatasan pengalaman dan usianya, anak-anak
itu telah mampu menyadari bahwa apa yang terjadi di sekitar mereka pada hari
ini adalah sebuah kondisi yang harus dilawan. Ibarat
sebuah “pernyataan perang” terhadap sesuatu yang menyebabkan mereka tidak
bisa bersekolah seperti biasa dan mesti terkurung dalam rumah selama
berbulan-bulan, mereka pun beramai-ramai membuat apa yang disebut Tulang
Bongkok sejak minggu pertama bulan Agustus. Tujuannya jelas hanya satu, yaitu
untuk mengusir musuh terbesar mereka saat ini: Covid-19. Tulang
Bongkok merupakan bagian dari mitos yang berkembang di kampung-kampung
sekitar daerah tempat tinggal saya sejak zaman dulu. Ia serupa sosok mistis
pengusir bala yang terbuat dari tulang pelepah kelapa kering yang dibentuk
sedemikian rupa hingga menyerupai manusia. Sebagaimana
disampaikan Erich Fromm (2020), mitos merupakan ekspresi pemikiran-pemikiran
filosofis yang menawarkan kisah-kisah yang terjadi di lingkup ruang dan waktu
tertentu. Kisah tersebut ditampilkan lewat bahasa simbolis, dalam hal ini
Tulang Bongkok, yang mempunyai signifikasi tertentu. Di
kampung saya, mitos Tulang Bongkok diwariskan secara lisan oleh setiap orang
tua kepada anak-anaknya; kakek dan nenek kepada cucu-cucu mereka. Mitos ini
kerap dikaitkan dengan musibah atau kejadian yang mendatangkan bala bagi
seluruh warga kampung, misalnya wabah penyakit atau pageblug. Dalam situasi
demikian, kehadiran Tulang Bongkok diyakini sanggup menghalau bala yang
tengah bercokol di kampung tersebut. Itulah
mengapa sosok Tulang Bongkok kerap hadir dengan wajah seram menyeringai dalam
upayanya untuk mengusir kekuatan jahat atau energi negatif yang mengancam
seisi kampung, sekaligus menakut-nakutinya agar tidak kembali lagi. Terlepas
dari apakah Tulang Bongkok mampu melaksanakan tugasnya dengan baik atau
tidak, yang pasti mitos ini sanggup bertahan melewati tahun demi tahun,
generasi demi generasi, hingga tiba saatnya pandemi Covid-19 mengobrak-abrik
negeri ini. Di
mata anak-anak, Tulang Bongkok ibarat jagoan pengusir pageblug. Dengan penuh
keyakinan pada mitos yang ada, mereka menciptakan Tulang Bongkok dari pelepah
kelapa kering terbaik, setelah sebelumnya membuang semua sisa daun yang ada
dan meraut tepian tulang pelepahnya dengan hati-hati. Agar
tampak hidup, mereka lantas menggambar sepasang mata, hidung dan mulut pada
bagian terbesar pelepah kelapa yang kelak dijadikan bagian kepala dengan
menggunakan cat atau arang. Selanjutnya, mereka membuatkannya sepasang tangan
dan kaki penyangga entah dari potongan dahan, pipa bekas atau gagang sapu. Sebagai
sentuhan terakhir, anak-anak itu tidak lupa memberi Tulang Bongkok pakaian
lengkap, ikat kepala, helm, masker, hingga senjata mainan yang tergantung di
dada. Beberapa anak dengan imajinasi tinggi bahkan berusaha menghadirkan
jagoan kartun idolanya lewat Tulang Bongkok, seperti tokoh Naruto. Di akhir
susah payah itu, dengan penuh semangat, anak-anak kampung saya kemudian
memasang Tulang Bongkok buatan masing-masing di depan rumah mereka atau di
tepi jalan kampung. Seorang
peneliti sosial asal Australia, Mark McCrindle, menamakan anak-anak ini
sebagai Generasi Alfa. Anak-anak kelahiran tahun 2010 ke atas yang dikabarkan
terikat dengan teknologi dan memiliki karakter yang berbeda dari
generasi-generasi sebelumnya sehingga harus dididik secara khusus. Bocah-bocah
usia Sekolah Dasar yang sejak dua tahun terakhir mesti tersapih dari
lingkungan sekolah mereka dan lingkungan pergaulan yang lebih luas, dan tentu
saja masih sangat kekanak-kanakan, secara tidak terduga mampu menumbuhkan
sikap positif tertentu lewat tempaan kondisi yang ada. Kendati
lebih suka bermain dan menghabiskan sebagian besar waktu di depan ponsel,
anak-anak ini ternyata tidak benar-benar tercerabut dari lingkungan
sekitarnya. Kepedulian sosial mereka terbukti tidak berkurang, begitu pula
rasa senasib sepenanggungan dalam menghadapi pandemi. Lewat
Tulang Bongkok yang dipasang berjejer dengan umbul-umbul dan bendera merah
putih, anak-anak kampung saya seolah hendak menunjukkan cara yang tepat untuk
merayakan kemerdekaan Indonesia pada tahun ini. Yaitu, dengan menengok
kembali pada apa yang mungkin telah kita punggungi tanpa sengaja: nilai-nilai
luhur kearifan lokal yang menawarkan harapan dan kekuatan baru bagi warganya
agar tidak mudah menyerah melawan pageblug. Sikap
anak-anak itu juga seolah hendak menyiratkan pesan betapa mereka paham
besarnya tanggung jawab yang ada di pundak mereka, baik sebagai warga negara
maupun penerus bangsa. Bahwa kemerdekaan hari ini harus bisa dipertahankan
dan terus diperjuangkan sebagaimana tersirat dalam lirik lagu perjuangan,
Hari Merdeka, “Sekali merdeka tetap merdeka, selama hayat masih dikandung
badan.” Inilah
anak-anak yang siap mengantar Indonesia menuju masa depan yang lebih baik
sebagai bangsa yang lebih kuat, sehat, dan merdeka. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/29/si-tulang-bongkok-dan-semangat-kemerdekaan/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar