Menekan
Dependensi Rupiah terhadap Dollar AS Kristianus Pramudito Isyunanda
; Penasihat Hukum di Departemen Hukum Bank
Indonesia |
KOMPAS, 26 Agustus 2021
Bank
Indonesia kembali memperluas kerja sama penyelesaian transaksi bilateral
menggunakan mata uang lokal. Kerangka
kerja sama yang dikenal dengan istilah local currency settlement (LCS) ini
dipercaya mampu meningkatkan efisiensi transaksi antarnegara, dengan cara
menekan ketergantungan negara terhadap mata uang tertentu dan peluang
diversifikasi risiko. Kali
ini, Bank Indonesia (BI) menjalin kerja sama dengan bank sentral China dalam
penggunaan rupiah dan yuan sebagai mata uang penyelesaian transaksi bilateral
di antara kedua negara. Gagasan
LCS bermula dari kerentanan pelaku usaha di Indonesia yang masih bergantung
pada dollar AS dalam menyelesaikan transaksi internasional. Statistik tahun
2020 menunjukkan 90 persen dari total transaksi perdagangan luar negeri
Indonesia masih menggunakan dollar AS. Padahal, perdagangan luar negeri
Indonesia dengan AS pada periode yang sama tercatat kurang dari 9 persen. BI
mendorong LCS sebagai terobosan untuk mengurangi dampak negatif dependensi
transaksi luar negeri terhadap dollar AS. Di tengah pandemi yang masih
melanda dunia, perluasan implementasi LCS sejalan dengan upaya pemulihan
ekonomi dan tema yang diusung Presiden Joko Widodo dalam menyambut presidensi
G-20 Indonesia, yaitu recover together, recover stronger. Dollar
AS merupakan mata uang cadangan devisa (reserve currency) global. Kenyataan
ini menjadi salah satu simbol adidaya ekonomi AS dan bermula sejak perjanjian
Bretton Woods tahun 1944, ketika dunia menyepakati harga 35 dollar AS untuk
satu ons emas. Pada
1971, Presiden Richard Nixon menghentikan penukaran dollar AS terhadap emas
guna mempertahankan ekonomi domestik AS. Alhasil, patokan moneter terhadap
harga emas (gold standard) ditinggalkan dan semakin mengukuhkan dollar AS
sebagai reserve currency. Risiko nilai tukar Dalam
tinjauan makro, ketergantungan terhadap dollar AS membawa tantangan yang
kerap disebut sebagai masalah ”n+1”. Di samping inflasi, sentimen ekonomi,
serta hukum permintaan dan penawaran, nilai tukar suatu mata uang bertaut
dengan berbagai faktor di luar kendali negara. Pada
konteks dollar AS, fluktuasi nilai tukar dipengaruhi oleh fundamen ekonomi
dan kebijakan Pemerintah AS. Indonesia berkepentingan menjaga kestabilan
nilai tukar rupiah demi kelangsungan ekonomi nasional. Sebelum
LCS, pelaku usaha domestik dan negara mitra menghadapi tantangan yang lebih
kompleks, yaitu ”n+2”. Tantangan tersebut timbul akibat kebutuhan untuk
melakukan dua kali konversi melalui perantaraan dollar AS. Kondisi itu memicu
peningkatan kompleksitas aktivitas lindung nilai (hedging) yang belum tentu
cukup memberikan solusi. Manfaat LCS LCS
menyederhanakan risiko nilai tukar kembali menjadi ”n+1” melalui konversi
yang lebih efisien. Apabila disepakati pembayaran menggunakan mata uang lokal
negara mitra, pelaku usaha di Indonesia dapat melakukan konversi langsung
tanpa harus menggunakan dollar AS. Sebaliknya, jika disepakati menggunakan
rupiah, pelaku domestik dapat berbisnis tanpa mengkhawatirkan risiko nilai
tukar. Risiko
nilai tukar pun dapat semakin dikelola secara baik melalui kerangka LCS. BI
membuka kerja sama LCS dengan mempertimbangkan mitra dagang strategis
Indonesia yang memiliki korelasi arah dan karakteristik fluktuasi mata uang
yang serupa dengan rupiah. Melalui
LCS, pelaku usaha domestik dan negara mitra berada pada lingkungan yang lebih
terkontrol dan stabil. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
produktivitas. LCS
juga memberikan peluang pendalaman sektor keuangan Indonesia. LCS semakin
membuka opsi pengelolaan risiko mata uang dan berpotensi menambah keberagaman
pelaku pasar valuta asing dengan mata uang yang semakin variatif, serta
pembentukan harga yang semakin kredibel mencerminkan kondisi pasar yang
sesungguhnya. Selain
itu, LCS juga diintegrasikan dengan komponen pengembangan inovasi pembayaran
lintas batas (cross-border payment). Implementasi LCS Tak
hanya dengan China, BI telah terlebih dahulu mengantongi kerja sama LCS
dengan Bank Negara Malaysia dan bank sentral Thailand di tahun 2016, serta
Kementerian Keuangan Jepang di tahun 2020. Saat
ini tersedia lima pilihan mata uang dalam kerangka LCS, bergantung pada
tiap-tiap negara mitra, yaitu rupiah, ringgit, baht, yen, dan yuan. LCS
dilaksanakan melalui bank appointed cross currency dealer (ACCD) yang
ditunjuk oleh BI dan negara mitra. Nasabah bank ACCD cukup mendaftarkan
aktivitas ekonomi yang melandasi (underlying) transaksi LCS untuk dapat
memanfaatkan kerangka LCS. Tak
hanya penyelesaian transaksi perdagangan, LCS juga dapat berfungsi
memfasilitasi transaksi pendapatan dan investasi langsung, termasuk
pembiayaannya. Menopang pemulihan Berkurangnya
dependensi Indonesia terhadap dollar AS akan mendukung upaya BI menjaga
stabilitas nilai tukar rupiah. Implementasi LCS juga dapat menopang pemulihan
ekonomi yang masih menghadapi ketidakpastian pergerakan nilai dollar AS dan
menunjang geopolitik Indonesia berbasis kekuatan ekonomi kawasan. Ke
depan, kita patut berharap LCS dapat semakin berkembang melalui penjajakan
kerja sama dengan negara mitra strategis lainnya, perluasan underlying
transaksi, dan penambahan jumlah bank ACCD. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/menekan-dependensi-rupiah-terhadap-dollar-as/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar