Pendengar Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu |
KOMPAS, 29 Agustus 2021
Kira-kira
dua minggu belakangan ini, saya telah dijadikan sebagai pendengar yang ”baik”
oleh beberapa orang. Awalnya, saya tak merasa demikian. Namun, setelah
beberapa kali kejadian, termasuk saat saya sedang bercakap-cakap secara
daring, pemikiran dipaksa menjadi pendengar itu muncul. Percakapan yang
harusnya terjadi di antara dua manusia berakhir dengan saya lebih banyak
mendengar daripada sama-sama aktif. Tembok Kejadiannya
memuncak sampai pada suatu hari bersantap siang bersama seorang teman yang
sudah cukup lama tak bertemu. Setelah acara makan siang yang membosankan itu
selesai, saya benar-benar merasa kesal setengah mati mengapa saya seperti
orang yang tak berdaya dijadikan pendengar. Apalagi
kalau kita sudah lama tak bertemu, bukankah sewajarnya ada keinginan kedua
belah pihak mendengar cerita masing-masing dan bukan membuat yang satu
menjadi pendengar bahwa usahanya sukses di tengah orang lain pada kesusahan?
Mengapa saya kesal? Pertama,
saya memang orang yang dilahirkan bukan untuk menjadi pendengar. Apalagi
menjadi pendengar yang baik. Saya ini sangat dominan, apa pun yang saya kerjakan.
Meski belakangan sifat dominan itu sudah jauh berkurang. Meski demikian, saya
tetap merasa menjadi pendengar bukan saya banget. Saya itu manusia yang
senangnya menjadi pusat perhatian. Untuk menjadi pusat perhatian, saya merasa
tak bisa hanya diam saja. Harus menyuarakan sesuatu. Kedua,
saya itu berpikir bahwa ketika saya atau Anda memutuskan untuk menghubungi
seseorang dengan tujuan untuk bercakap-cakap, apa pun konten dari percakapan
itu, maka percakapan atau obrolan atau diskusi harus dilaksanakan secara dua
arah. Maksudnya, ada waktunya seseorang menjadi pendengar dan ada waktunya
untuk berbicara. Kalau
tidak demikian, sebaiknya seseorang bercakap-cakap saja dengan tembok. Toh,
pada akhirnya saya atau Anda tidak membutuhkan komentar atau masukan dari
pihak yang diajak berbicara. Tembok itu sudah pasti dapat menjadi pendengar
yang tidak hanya baik, tetapi sangat baik dan tak akan memberi reaksi apa pun
terhadap apa yang dibicarakan. Yang
membuat saya naik pitam itu sejatinya bukan masalah saya dipaksa harus
menjadi pendengar. Semua manusia yang menghubungi saya itu menunjukkan sebuah
benang merah yang sama jelasnya. Mereka selalu membuka percakapan dengan
menanyakan keadaan saya. ”Kamu sehat, kan, Mas?” atau ”Mas Sam, masih di
Bali-kah?” dan sejuta sapaan pembuka percakapan yang klise. Satu
atau dua orang menanyakan sedikit lebih dalam dari pertanyaan standar itu.
Namun, apa pun sapaan pembuka percakapan itu, saya bisa merasakan semuanya
hanya sebuah sapaan palsu yang tidak diniati sungguh-sungguh untuk
ditanyakan. Dari mana saya tahu kalau itu hanya basa dan sangat basi? Setara Mereka
hanya menanyakan keadaan saya sangat singkat. Bahkan, supersingkat. Sayang
saya tidak bisa mempraktikkan dengan suara. Kalau ditulis tak akan terasa
palsunya. Tapi bagaimanapun akan saya tuliskan juga. Jadi, begini. ”Mas Sam,
kamu sehat, kan?” Saya jawab dengan, ”Ya, aku baik dan sehat.” Kemudian
percakapan selanjutnya tidak berhubungan dengan apa yang ia tanyakan. ”Eh…,
by the way, ya, Mas, kemarin itu aku
ketemu bla-bla-bla….” Kemudian
sepanjang lima belas menit sampai setengah jam berlangsung, merekalah yang
menguasai medan percakapan itu. Setelah percakapan itu usai, saya kemudian
merasakan bahwa mereka hanya mau saya menjadi pendengar semata. Mereka
secara egois menelepon saya untuk memuntahkan segalanya dan menggunakan
sapaan palsu sebagai pembuka percakapan. Inilah benang merah yang sangat
kental dan jelas terasa yang dilakukan oleh beberapa orang yang berbeda itu. Memaksa
menjadi pendengar itu bukan hanya melalui telepon atau bertemu muka. Ada satu
anak manusia yang melakukan dengan mengirim pesan. Awalnya, seperti yang
lainnya, menggunakan pertanyaan apa kabarnya. Kemudian ia bertanya kepada
saya, ”Mas, kenapa, ya, aku kok belakangan suka terbangun pukul dua pagi dan
terus jadi susah tidur.” Nah,
menurut Anda, para pembaca yang budiman, kalau ia mengajukan pertanyaan yang
demikian kepada saya, siapa yang menurut Anda sepantasnya untuk menjawab?
Saya, bukan? Itu kalau kitanya waras. Anda tahu, ia mengajukan pertanyaan itu
dan ia sendirilah yang menjawabnya. Kemudian,
ia bercerita soal hidup masa kecilnya. Bagaimana orangtuanya memperlakukan
dia berbeda dengan saudara-saudara kandungnya yang lain. Singkat cerita, dia
mengatakan begini. ”Jadi, aku tuh gak bisa tidur gini ini, seperti kebiasaan
bapakku. Bapak juga dulu kayak aku ini.” Setelah percakapan itu selesai, saya
mulai mikir. Kalau dia itu pada akhirnya tahu jawaban dari masalahnya, apalah
gunanya menanyakan itu kepada saya? Dari
sanalah saya tahu bahwa ia hanya butuh seorang pendengar semata. Ia tak butuh
jawaban sebab ia sudah tahu jawabannya. Jadi, pertanyaan itu hanya sebuah
pertanyaan yang seperti pepesan kosong. Itu hanya sebagai alat melicinkan
cerita panjangnya untuk didengar. Buat
saya, tak ada gunanya sama sekali dia mau susah tidur atau tidak tidur sama
sekali. Memaksa orang jadi pendengar tanpa memberi tahu terlebih dahulu bahwa
seseorang ingin curhat adalah perilaku yang superegois. Kalau orang
mengatakan adalah baik untuk menjadi pendengar, karena itu menjadi sebuah
cara untuk meringankan beban seseorang, saya tak terlalu setuju dengan hal
itu. Kebaikan
itu bukan memaksakan saya jadi pendengar, melainkan memperlakukan orang
setara. Karena, kalau tidak demikian, seperti yang saya tuliskan di atas,
sebaiknya seseorang memuntahkan ceritanya kepada tembok. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/29/pendengar/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar