Konsekuensi
Hukum Gagalnya Hibah Rio Christiawan ; Dosen Hukum Bisnis dan Keperdataan
Universitas Prasetiya Mulya |
DETIKNEWS, 18
Agustus 2021
Beberapa
minggu belakangan seluruh media yang ada baik cetak, elektronik, maupun media
sosial ramai memberitakan mengenai hibah yang rencananya akan diberikan ahli
waris dari Akidi Tio sebesar Rp 2 triliun melalui salah satu lembaga negara.
Sebagaimana diketahui bahwa rencana hibah tersebut tidak terealisasi,
demikian juga setelah dilakukan pemeriksaan bahwa kepemilikan dana di bank
dari calon pihak yang memberikan hibah tersebut tidak mencapai jumlah yang
rencananya akan dihibahkan tersebut. Pro-kontra
terjadi dalam masyarakat sehubungan dengan tindakan pihak kepolisian yang
menetapkan pihak yang rencananya akan memberikan hibah tersebut sebagai
tersangka. Artikel ini tidak akan secara khusus mengulas mengenai proses
hukum tersebut, namun akan membahas mengenai aspek hukum dari tindakan hibah maupun
konsekuensi hukumnya jika hibah yang direncanakan tersebut tidak terjadi. Hibah secara
hukum diatur dalam Pasal 1666 KUH Perdata, yakni hibah adalah suatu
perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan
dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan
si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Jika melihat dari rumusan
Pasal 1666 KUH Perdata, maka sudah jelas dan terang benderang bahwa hibah
masuk ranah keperdataan. R Subekti
(1980) menjelaskan bahwa undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain
hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Konsekuensi dari tidak
terjadinya hibah yang direncanakan tersebut secara hukum telah jelas diatur
dalam Pasal 1683 KUH Perdata, yakni tiada suatu penghibahan pun mengikat
penghibah atau mengakibatkan sesuatu sebelum penghibahan diterima dengan
kata-kata tegas oleh orang yang diberi hibah atau oleh wakilnya yang telah
diberi kuasa olehnya untuk menerima hibah yang telah atau akan dihibahkannya
itu. Penegasan
penerimaan hibah tersebut harus dilakukan melalui akta notaris sebagaimana
disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 1682 KUH Perdata. Artinya dalam hal
ini jika terdapat pelanggaran Pasal 1666 juncto 1683 KUH Perdata tersebut
harus diselesaikan melalui mekanisme keperdataan, mengingat benda/aset yang
akan dihibahkan tersebut secara sah masih dimiliki oleh pihak yang yang akan
menghibahkan. Jika pada hari
yang telah ditentukan hibah tidak terjadi termasuk disebabkan karena tiadanya
benda/aset yang akan dihibahkan tersebut, maka sepanjang hibah tersebut belum
dituangkan dalam akta notaris, maka tidak memiliki konsekuensi hukum
mengingat sesuai Pasal 1682 dan 1683 hibah dianggap belum terjadi. Sebaliknya
jika telah dibuat perjanjian hibah, namun pihak yang akan memberikan hibah
gagal memenuhi janjinya, maka menimbulkan konsekuensi hukum keperdataan yakni
cidera janji ( wanprestasi) sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata.
Pada tahap ini secara hukum jelas tiadanya unsur pidana pada gagalnya hibah. Termasuk dalam
hal ini jika yang dimaksud oleh pihak yang memberikan hibah adalah benda/aset
yang baru akan ada di kemudian hari, maka konsekuensinya adalah batalnya
hibah itu sendiri sebagaimana dimaksud Pasal 1667 ayat (2). Kecuali, secara tegas
pemberi hibah menyatakan seolah-olah benda/aset itu telah ada dan telah
menuangkan dalam akta hibah sebagaimana dimaksud dalam 1682 dan 1683 KUH
Perdata. Namun pada kenyataannya benda/aset yang dihibahkan tersebut belum
ada atau belum menjadi milik sah dari pihak yang memberikan hibah tersebut,
maka dalam hal ini terkadung unsur pidana pada tindakan hibah tersebut. Hibah Wasiat dan Unsur Pidana Selain hibah
sebagaimana diatur dalam Pasal 1666 yang telah dijelaskan di atas, pada KUH
Perdata dikenal juga jenis hibah wasiat yang diatur dalam Pasal 957, yakni
hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada
satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan
macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang
tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya. Kondisi hibah
wasiat ini berlaku apabila pemilik benda/aset yang akan dihibahkan tersebut
sudah meninggal dunia, artinya hibah wasiat akan direalisasikan oleh ahli
waris dari pemilik sah benda/aset yang akan dihibahkan tersebut. Eggens (1961)
menjelaskan bahwa makna hibah wasiat adalah gabungan dari dua peristiwa hukum
yakni hibah dan wasiat; hibah merujuk pada bab tentang penghibahan KUH
Perdata, dan wasiat merujuk pada bab tentang waris. Konstruksi
hibah wasiat adalah adalah wasiat dari pihak yang meninggalkan benda/aset
sebagai warisan untuk dihibahkan oleh ahli warisnya kepada pihak yang
ditunjuk. Jadi dalam hal ini jika ahli waris yang ditunjuk lalai atau menyimpangi
isi wasiat tersebut, maka selain dapat menimbulkan konsekuensi keperdataan
juga dapat menimbulkan konsekuensi pidana, mengingat benda/aset yang akan
dihibahkan tersebut bukanlah milik sah dari ahli waris yang akan melakukan
hibah wasiat tersebut. Penyimpangan
penggunaan benda/aset warisan yang bukan milik sah dari ahli waris tersebut
akan berimplikasi pada konsekuensi pidana dengan syarat bahwa pihak yang
meninggal dunia dan meninggalkan warisan tersebut membuat surat wasiat
sebelum meninggal. Tiadanya surat wasiat akan menggugurkan unsur pidana
karena ahli waris dianggap sebagai pemilik sah atas seluruh atau sebagian
benda/aset warisan tersebut. Mengingat
secara hukum hibah wasiat merujuk pada dua hal, yakni hibah dan wasiat, maka
penentuan ada maupun tiadanya unsur pidana ditetapkan oleh dua hal, yakni ada
atau tiadanya surat wasiat yang menyatakan bahwa pihak yang meninggal
menyerahkan warisannya kepada pihak lain melalui mekanisme hibah dengan
menyebut secara pasti jumlah, bentuk maupun hal spesifik lainnya. Demikian
juga unsur lainnya apakah sudah terpenuhi unsur perjanjian hibah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1682 dan 1683 KUH Perdata. Penetapan
unsur pidana sehubungan dengan hibah wasiat akan sangat tergantung
dipenuhinya kedua unsur tersebut. Sifat kedua unsur tersebut adalah kumulatif
yang artinya kedua unsur tersebut (unsur hibah dan surat wasiat) harus
terpenuhi untuk menentukan unsur pidana. Artinya jika tidak terpenuhi salah
satu maupun keduanya, maka akan menggugurkan unsur pidana sehubungan dengan
hibah wasiat tersebut. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5686478/konsekuensi-hukum-gagalnya-hibah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar