Kesalahan
Fatal Geopolitik Ekonomi Indonesia Utamakan China Anthony Budiawan ; Managing Director Political Economy and
Policy Studies (PEPS) |
WATYUTINK, 26
Agustus 2021
Amerika
Serikat (AS) memberi pesan kuat kepada dunia bahwa Asia Tenggara sangat
penting bagi Amerika Serikat. Khususnya Singapore dan Vietnam yang “didaulat”
sebagai negara sahabat yang sangat penting di Asia Tenggara. Pesan
ini terbaca jelas dari kunjungan Wakil Presiden AS, Kamala Harris, ke Asia
(Tenggara) yang dimulai pada 20 Agustus 2021. AS hanya mampir ke Singapore
dan Vietnam. Sedangkan
Indonesia tidak dalam jadwal kunjungan Wapres AS Kamala Harris. Artinya, AS
memberi pesan kuat bahwa Indonesia (dianggap) bukan negara “sekutu” dengan
visi yang sama. Indonesia dianggap tidak netral, dan lebih mengutamakan
China, khususnya menyangkut hubungan ekonomi. Mungkin juga politik. Indonesia
bisa membatin, biar saja. Go to hell. Faktanya memang sudah seperti itu. Kebijakan
ekonomi Indonesia saat ini secara terang-terangan lebih dekat, kalau tidak
mau dikatakan lebih memihak, kepada China. Jadi, memang kenapa? Kenapa?
Tentu saja kenapa-napa. Karena ekonomi Indonesia akan tertekan. AS
dan China merupakan ekonomi nomor satu dan nomor dua terbesar dunia. Tetapi,
kedua negara tersebut mempunyai kebijakan ekonomi yang sangat bertolak
belakang. China
menguasai perdagangan dan produksi, menjadi pabrik semua negara di dunia.
China ekspor ke seluruh dunia. Artinya, neraca perdagangan China selalu
surplus. Sedangkan negara lain selalu defisit. Neraca
perdagangan Indonesia dengan China juga defisit. Semakin lama semakin besar.
Defisit pada 2002 hanya 3,4 miliar dolar AS. Kemudian defisit melonjak
menjadi 17 miliar dolar AS pada 2019. Neraca
perdagangan Vietnam dengan China juga defisit, dan juga membesar. Neraca
perdagangan Vietnam masih surplus 135 juta dolar AS pada 2000. Tapi kemudian
melonjak menjadi defisit 34 miliar dolar AS pada 2019. Memang luar biasa
tingginya lonjakan defisit ini. Di
lain sisi, kebijakan ekonomi AS sangat beda. AS lebih banyak impor dari pada
ekspor. Neraca perdagangan AS selalu defisit. Artinya, hampr semua negara
lain mengalami surplus perdagangan dengan AS. Neraca
perdagangan Indonesia dengan AS surplus 3,9 miliar dolar AS pada 2000, dan
naik menjadi 8,6 miliar dolar AS pada 2019. Kenaikan surplus ini memang
sangat lambat, apalagi kalau dibandingkan dengan surplus neraca perdagangan
Vietnam-AS yang melonjak tajam sekali. Yaitu
dari surplus hanya 369 juta dolar AS pada 2000 menjadi surplus 46,9 miliar
dolar AS pada 2019. Surplus ini masih naik lagi menjadi 63,4 miliar dolar AS
pada 2020. Sebuah kenaikan surplus yang Luar biasa. Indonesia ketinggalan
kereta. Dengan
kata lain, menjalin erat hubungan ekonomi dengan AS jauh lebih menguntungkan
dari pada dengan China. Karena AS membeli, sedangkan China maunya menjual. AS
akan memberi kesejahteraan karena produksi dalam negeri meningkat, China
menebar kesulitan karena produksi dalam negeri tertekan. Bahkan
China sendiri mengambil manfaat besar dari ekonomi AS. Defisit neraca
perdagangan AS dengan China mencapai lebih dari 5,1 triliun dolar AS selama
periode 2000 hingga 2020. Selain
itu, produk yang dijual ke AS adalah produk akhir untuk konsumsi. Artinya
mempunyai nilai tambah tinggi. Sedangkan produk yang dijual ke China
kebanyakan bahan mentah, komoditas atau barang setengah jadi. Semua itu
mempunyai nilai tambah rendah. Barang tersebut diolah di China menjadi produk
akhir yang dijual ke berbagai negara termasuk kembali ke Indonesia. Vietnam
sangat jeli memilih kebijakan geopolitik ekonomi dengan menjalin hubungan
ekonomi erat dengan AS, meskipun bertetangga dengan China. Artinya,
Vietnam sedang membuka jalur kesejahteraan bagi rakyatnya. Melalui komitmen
tambahan dari AS dengan kunjungan Wapres AS Kamala Harris ke Vietnam. Ekonomi
Vietnam akan semakin cepat maju. Dalam waktu tidak lama akan menyusul dan
meninggalkan Indonesia. Karena Indonesia sedang membuka jalur ke lembah
penderitaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar