Tak
Ada Hitam Putih di Afghanistan Agustinus Wibowo ; Penulis Perjalanan |
KOMPAS, 26 Agustus 2021
”Di
sini semua mahal. Yang murah hanya satu: nyawa manusia.” Begitu seorang warga
Afghanistan pernah berkata kepada saya tentang situasi negaranya. Sebagai
jurnalis yang pernah bekerja di Afghanistan dari 2007 hingga 2009, saya
pernah mengalaminya sendiri. Di Kabul, bom meledak setidaknya sekali dalam
dua hari. Orang-orang pun senantiasa dicekam teror berupa hujan roket,
perampokan, penculikan, dan pembunuhan. Kenangan
itu seperti diputar kembali. Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, 15 Agustus
2021, peristiwa mengejutkan sekaligus menakutkan bagi banyak orang
Afghanistan. Ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak, berbondong
menuju bandara Kabul, satu-satunya jalur tersisa untuk melarikan diri. Isak
tangis dan teriakan bertalu-talu dari lautan manusia. Mayat bergelimpangan di
bandara, mungkin terinjak-injak atau tertembak tentara. Para lelaki berusaha
bergelantungan pada badan pesawat militer AS yang hendak lepas landas.
Beberapa dari mereka terjatuh dari pesawat yang mengangkasa. Begitu takut dan
putus asanya mereka, hingga nekat melakukan apa pun. Apa pun. Beberapa
kawan jurnalis di Kabul dan Mazar-i-Sharif mengatakan, mereka beberapa hari
ini belum berani ke luar sama sekali. Mereka khawatir anggota Taliban akan
melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah, membunuhi siapa pun yang dianggap
musuh. Apakah
kemenangan Taliban bisa dianggap kemenangan rakyat Afghanistan mengusir
penjajah AS? Atau kemenangan perjuangan Islam menumbangkan rezim liberal
sekuler? Realitasnya tak sesederhana itu. Dalam sejarahnya, AS justru pernah
berada di belakang kelompok militan Islam. Peran AS Konflik
Afghanistan hari ini tak terlepas dari sejarah Perang Dingin, ketika dunia
terbelah menjadi dua ideologi besar yang saling bermusuhan. Pada 1978,
Afghanistan menjadi negara komunis, dan partai yang berkuasa ”mengundang”
militer Uni Soviet masuk pada 1979. AS
tak ingin Afghanistan jadi satelit Soviet yang baru sehingga melancarkan
strategi untuk mencetak pejuang religius yang rela bertempur melawan Soviet.
AS mengalirkan dana dan persenjataan ke negara tetangga Pakistan, dan
menjamurlah madrasah di Pakistan yang melahirkan banyak jihadis militan. Kaum
mujahidin yang didukung AS ini akhirnya memang berhasil. Tahun 1989, pasukan
Soviet mundur dari Afghanistan. Dua tahun setelah itu, Soviet bubar. Tak
punya lagi musuh besar, AS meninggalkan Afghanistan begitu saja. Yang terjadi
di Afghanistan setelah itu adalah kekacauan. Faksi-faksi
mujahidin saling bertempur memperebutkan supremasi kekuasaan. Afghanistan
terpecah belah menjadi banyak daerah kecil yang dikuasai para raja perang
sehingga tak ada hukum yang bisa diandalkan. Kehancuran merata di berbagai
penjuru. Di
tengah kekacauan ini muncul Taliban. Berawal dari Kandahar, Taliban menguasai
Kabul tahun 1996 dan sekejap kemudian hampir seluruh Afghanistan. Pada
mulanya kehadiran Taliban disambut baik masyarakat karena Taliban membawa
keamanan dan kestabilan yang dirindukan orang Afghanistan yang telah babak
belur oleh perang saudara berkepanjangan. Jalanan pun kembali menjadi aman
dilintasi, terbebas dari ancaman perampok dan pembunuh. Namun,
Taliban kemudian menerapkan hukum syariah dengan penafsiran yang luar biasa
ketat. Perempuan diwajibkan memakai burkak yang menutup seluruh wajah,
termasuk mata. Perempuan tak bisa bersekolah dan bekerja, dan dilarang ke
luar rumah tanpa ditemani mahram. Para
lelaki diwajibkan memakai pakaian tradisional, topi atau serban, juga
memelihara jenggot. Taliban pun melarang orang menonton televisi,
mendengarkan musik, menari, bermain layang-layang, dan masih banyak lagi. Pemerintahan
Taliban dijalankan dengan kekerasan. Mereka yang melanggar aturan dipukuli,
dirajam, diamputasi, atau dieksekusi di depan publik. Taliban juga membantai
etnik minoritas. Di
Mazar-i-Sharif dan Bamiyan pada 1998, laskar Taliban mendatangi rumah demi
rumah untuk membantai ribuan orang Hazara, termasuk perempuan, anak-anak, dan
bayi. Gerakan perlawanan rakyat Afghan terhadap Taliban pun terus meluas dan
menguat, terutama di bagian utara negeri yang dihuni kaum minoritas. Konstelasi
dunia berubah total pasca-9/11. AS bersitegang dengan Taliban karena Taliban
melindungi Osama bin Laden dan gerakan Al Qaeda yang dituding bertanggung
jawab atas serangan teror ke Menara Kembar WTC di New York. Dalam
misi ”Perang Melawan Teror”, AS di bawah Bush melancarkan serangan ke
Afghanistan untuk menumbangkan rezim Taliban. Dalam politik memang tak ada
kawan dan musuh yang abadi. Siapa yang dulunya kawan bisa jadi musuh ketika
terjadi perubahan kepentingan. AS dan gerakan Islam radikal, yang semula
bergandeng tangan melawan komunis Soviet, di abad ke-21 justru seperti musuh
bebuyutan yang abadi sejak dulu kala. Peta kepentingan Semata-mata
memakai kacamata identitas dalam memahami konflik adalah menyesatkan, dan
bisa jadi berbahaya. Sebaliknya, konflik akan menjadi lebih masuk akal
apabila kita memahami kepentingan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
China termasuk negara pertama di 2021 yang menyatakan siap ”membina hubungan
bersahabat” dengan rezim Taliban dan siap ”menghormati pilihan rakyat
Afghanistan”. Saat
ini media di China sudah tak lagi menyebut Taliban teroris. Ini tampaknya
sulit diterima secara ideologi, tapi sangat masuk akal dari sisi geopolitik.
Beijing berkepentingan mencegah Afghanistan menjadi pusat pelatihan separatis
Muslim Uighur di Xinjiang. Rezim
yang stabil di Kabul juga akan mendukung investasi China di Asia Tengah dan
Pakistan. Ditambah lagi, Afghanistan kaya mineral langka yang belum
dieksploitasi. Konflik tidak pernah, sekali lagi tidak pernah, hanya
semata-mata perkara identitas. Saya
datang pertama kali ke Afghanistan tahun 2003, dua tahun setelah Taliban
dijatuhkan oleh invasi AS. Bisa dikatakan, itu adalah saat yang paling aman
untuk mengunjungi Afghanistan. Saya menemukan gairah luar biasa di kalangan
warga yang antusias menyambut kedatangan orang asing. Penuh keyakinan mereka
saat itu mengatakan, Afghanistan akan segera menjadi ”normal” seperti negara
lain di dunia. Rezim
”Republik Islam Afghanistan” yang mendapat dukungan AS dan komunitas
internasional berdiri pada 2004, adalah negara Islam yang menerapkan hukum
syariah. Orang-orang dalam pemerintahan, mulai dari atas sampai ke bawah,
adalah orang Afghanistan sendiri, dan Muslim. Ini
juga rezim yang inklusif, melibatkan semua etnik, termasuk Pashtun, Tajik,
Hazara, dan Uzbek. Banyak pula kaum perempuan yang menduduki jabatan tinggi. Rezim
ini telah mencapai sejumlah pencapaian. Anak perempuan yang di masa Taliban
tak boleh bersekolah kini bisa menuntut pendidikan tinggi. Tim robotika putri
Afghanistan pada 2017 bahkan meraih medali perak di kompetisi internasional
di AS. Investasi asing terus mengalir deras dan ekonomi terus menggeliat
sehingga Kabul kini dipenuhi gedung-gedung tinggi dan modern. Namun,
ini juga bukan pemerintahan yang sempurna. Korupsi yang cukup parah
menyebabkan banyak dana bantuan internasional tak mencapai rakyat jelata. Dalam
memberantas terorisme, militer AS juga terkadang sembrono sehingga rakyat tak
berdosa jadi korban. Kemiskinan dan penderitaan terus berlangsung,
menyebabkan sebagian orang antipati terhadap rezim dan berbalik mendukung
Taliban atau gerakan militan lainnya. Kaum
militan selalu mengatakan target serangan mereka tentara asing yang
beroperasi di Afghanistan. Akan tetapi, sebenarnya, korban utama serangan
mereka adalah rakyat Afghanistan sendiri. Rakyat
biasa jadi korban ledakan di jalan raya, umat Syiah dibom ketika sedang
merayakan hari raya, personel polisi diserang dan dipenggal. Pada tahun 2020
pun, Taliban masih melakukan pembunuhan berencana yang menarget para
jurnalis, aktivis perdamaian, pekerja LSM, hakim, dan pejabat pemerintah. Pengambilalihan
kekuasaan oleh Taliban di 2021 yang hampir tanpa pertumpahan darah memang
tampak berbeda dengan 1990-an. Dalam wawancara dengan CNN, juru bicara
Taliban mengatakan, mereka akan membentuk pemerintahan baru yang Islami,
moderat, inklusif, dan menghormati perempuan. Hal
itu membuat sejumlah pengamat meyakini ini sungguh Taliban versi baru,
Taliban 2.0, yang sudah termoderasi dan akan membawa perubahan positif bagi
Afghanistan. Perubahan
memang bukannya tak mungkin. Namun, masih terlalu dini menyimpulkan Taliban
sungguh-sungguh akan melaksanakan janji-janjinya dan akan membawa kebaikan di
Afghanistan. Hingga
saat ini, pemerintahan Taliban belum terbentuk, dan tak seorang pun tahu
bagaimana mereka akan menjalankan pemerintahan ke depannya. Kondisi di
Afghanistan masih sangat volatile, dan masyarakat Afghanistan masih diliputi
ketidakpastian yang mencekam. Alih-alih
buru-buru menyatakan keberpihakan pada salah satu kubu hanya berdasar
identitas, saya rasa sikap paling tepat saat ini adalah terus mencermati
perkembangan situasi. Jika memang harus berpihak, berpihaklah pada
kepentingan rakyat Afghanistan dan kemanusiaan. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/tak-ada-hitam-putih-di-afghanistan/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar