Bahkan
Gading pun Bisa Retak Impian Nopitasari ; Penulis, Tinggal di Solo |
DETIKNEWS, 22
Agustus 2021
Aktivitas pagi
saya setelah beres-beres dan membuat teh untuk orang rumah adalah berbelanja.
Nah, di tempat tukang sayur ini saya memang tidak ikut ngerumpi apalagi sejak
pandemi melanda. Tapi waktu yang singkat itu selalu saya gunakan
sebaik-baiknya untuk mencari informasi. Ya, menguping gosip ibu-ibu adalah
nama tengah saya. Kemarin saya
mendengar obrolan ibu-ibu yang menceritakan bahwa ada teman sekolah anaknya
yang meninggal dunia. Sebenarnya sejak covid mengganas, berita duka sudah
seperti rutinitas meski tetap menyakitkan. Sebab meninggal teman sekolah anak
ibu itu tidak kalah nggrantes, yaitu dihajar bapaknya karena tidak memperoleh
nilai sempurna. Anak itu mendapat nilai 98. Iya, 98. Dan 98 memang belum
mencapai 100. Tapi kenapa sampai memukul anak sampai meninggal? Saya paling
sedih dan ingin marah semarah-marahnya kalau ada orangtua yang selalu
menuntut kesempurnaan terhadap anaknya. Saya bisa paham ketika masa sekolah
daring itu memang melelahkan dan membuat stres baik anak maupun orangtua.
Saya bisa paham ketika orangtua ngomel-ngomel karena kesusahan mengajari
anaknya apalagi orangtua yang bekerja di luar rumah. Sampai rumah capek,
masih harus mengajari anak. Tapi sampai batas anak yang penting paham sudah
cukup kan? Maksud saya, itu hal normal dan wajar. Menurut hasil menguping
saya, dalam kondisi normal, bapak yang mengajar anaknya tersebut memang tidak
pernah menoleransi kegagalan anaknya. Segalanya harus sempurna. Lha dikiranya
lagunya Andra and The Backbone apa? Saya jadi ingat anime yang
pernah saya tonton. Di situ ada adegan orangtua yang tidak menoleransi
kegagalan. Di salah satu anime favorit saya yang berjudul Kuroko No Basuke
ada tokoh yang namanya Akashi Seijuro, kapten tim basket Kiseki No Sedai
(Generasi Keajaiban) SMP Teiko. Akashi Seijuro berasal dari keluarga kaya dan
terpandang bak keluarga raja-raja. Dia dituntut bisa
menguasai semua hal. Akademik harus bagus (semua nilainya memang selalu 100),
bermain musik harus jago (ada scene ketika Akashi bermain biola), ketika
bermain basket dia juga harus selalu menang. Bahkan ketika masih kelas 2 SMP,
dia sudah menggantikan Nijimura sebagai kapten tim. Ketika lulus dari SMP
Teiko dan masuk SMA Rakuzan, dia langsung mendapat nomor punggung 4 di tim
basket barunya, artinya dia langsung menjadi kapten. Padahal dia masih anak
baru. Semua orang harus menurut
padanya. Kata-kata yang terkenal darinya adalah "My order is
absolute!" Dia tidak pernah tertawa dan punya dua kepribadian yang
membuat orang takut kepadanya. Ada lagi tokoh bernama
Maria Inomata di anime Gakuen Babysitter. Inomata adalah siswi unggulan yang
kerjanya belajar terus. Dia selalu mendapat ranking satu paralel. Teman-teman
sekolahnya tidak ada yang mau berteman dengannya karena takut. Ada scene
ketika dia menangis karena dibilang jutek dan seram sampai menakuti dan
membuat menangis bayi-bayi di penitipan anak. Saya masih ingat
kata-katanya ketika menangis, "Ya mana aku paham ginian, kerjaanku cuma
belajar. Terlalu banyak belajar membuatku kesepian!" Jadi sebenarnya
Inomata ini ingin juga berteman dengan yang lain tapi tidak tahu caranya.
Sejak kecil dia selalu dituntut belajar dan belajar oleh orangtuanya. Dia
tidak paham bagaimana caranya beinteraksi dengan orang lain. Jatuhnya dia
menjadi judes dan menyeramkan. Di dunia nyata saya juga
punya teman seperti itu. Ketika nilanya tidak sempurna, sudah pasti besok dia
memakai jaket terus sepanjang hari untuk menutupi kulitnya yang biru-biru
bekas pukulan oleh bapaknya. Dia iri ketika saya cerita bahwa ketika SMA,
saya pernah mendapat nilai -25 (iya, minus, lebih parah dari 0) untuk nilai
matematika. Ya, bagaimana wong dulu memang kadang ada kuis yang kalau salah
dikurangi nilainya. Lha saya kan sungguh nggak mudheng mapel eksak, apalagi
kalau gurunya tidak jelas menerangkannya. Ya sudah pasrah saja. Saya masih
tertawa-tawa karena ada teman yang lebih parah dari saya, nilainya -35. Bagi teman saya, itu lucu
sekali. Kok bisa banding-bandingan nilai jelek, tapi masih bahagia saja; itu
kalau dia pasti sudah milih bunuh diri. Teman saya mengatakannya dengan
serius tentu saja. Jujur saja saya memang
tidak pernah disuruh belajar oleh orangtua saya. Saya memang tipenya tidak
mau disuruh-suruh. Karena sejak SD sampai SMP saya selalu mendapat ranking
satu. Sebenarnya yang mendongkrak adalah nilai-nilai non eksak seperti bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jawa (saya memang suka belajar bahasa dan
membaca fiksi), sejarah, pendidikan agama (karena ada bahasa Arab dan shirah
nabawiyah). Untuk matematika dan
fisika, selama gurunya cocok saya bisa mengikuti, tapi ketika tidak, sudah
dipastikan zonk. Sampai sekarang ketika mimpi buruk, sering sekali yang
muncul adalah saya yang menangis di depan kelas karena tidak bisa mengerjakan
soal matematika dan dimarahi guru. Saya memang bukan tipe
yang kompetitif. Belajar ya karena sudah sewajarnya tugas pelajar seperti
itu. Tidak pernah ada target harus lebih baik dari si A dan si B. Kalau
mereka lebih baik dari saya ya saya bodo amat. Ketika dewasa juga begitu.
Memang saya pernah juara satu lomba menulis dua kali dan beberapa juara lomba
menulis lainnya, tapi itu karena ada stok tulisan yang cocok saja jadi ikut
kirim. Kalau tidak ada stok dan sedang tidak mood ya tidak bakalan ikut meski
hadiahnya banyak. Saya ditolak masuk PTN dan
CPNS yang entah berapa kali itu ya sudah. Melamar kerja juga selalu ditolak.
Ketika ada teman yang ketrima ya tidak iri, tapi juga tidak ikut bahagia juga
sih. Haha. Biasa aja. Flat banget ya. Memang parah jiwa kompetitif saya yang
zero ini. Tapi sebenarnya sifat tidak kompetitif saya ini jangan ditiru.
Kompetitif kalau wajar bagus kok. Bisa menambah semangat hidup. Seperti dalam anime
Shokugeki No Soma, Yukihira Soma itu kompetitif sekali sampai berkali-kali
membuat takjub teman, guru dan saingannya di Akademi Kuliner Totsuki. Tapi
ada kalanya dia gagal atau tidak menjadi yang terbaik seperti ketika bertanding
melawan ayahnya dan seorang seniornya. Meski rivalnya, Nakiri Erina,
mengatakan bahwa memaklumi kegagalan adalah alasan yang dibuat-buat para
pecundang, Yukihira Soma bisa menjadikan kegagalan sebagai sesuatu yang
kreatif dan solutif. Gagal satu dua kali itu biasa, kalau berkali-kali ya
nasib. Kembali lagi ke kasus
orangtua yang menghajar anaknya tadi, entah apa yang dipikirkannya sampai
menuntut anak seperti itu. Kasus seperti itu tidak hanya satu atau dua kali,
ketika anak menjadi mesin ambisi orangtua. Kalau saya lebih baik childfree
saja daripada tidak bisa menjadi orangtua yang baik. Saya sudah pernah
membahas tentang childfree di kolom saya jadi tidak saya bahas lagi, intinya
adalah tanggung jawab. Gita Savitri bagus dengan
alasannya untuk childfree, Zaskia Mecca juga bagus dengan parenting 5
anaknya, Zaskia Sungkar juga berhak bahagia dengan kehadiran anak yang sudah
ditunggu lama. Yang penting adalah tanggung jawab atas pilihan mereka, tidak
menjadi orangtua yang toksik. Kalau memang harus
"memaksa" anak, untuk saya pribadi, bukan dia harus sempurna di
segala bidang. Tidak harus menjadi orang yang luar biasa. Jadi orang yang
bener, pener, dan tidak jahat sama orang lain saja sudah cukup. Menjadi biasa
saja itu tidak apa-apa. Paling untuk skill tambahan, yang penting dia mau
membaca buku dan menabung pertemanan yang baik. Menabung pertemanan ini bukan
ikut geng atau sirkel-sirkel tertentu biar terlihat keren, tapi berinteraksi
yang baik. Tidak harus banyak-banyakan teman tapi lebih ke kualitas
pertemanan. Menjadi pintar itu bagus,
tapi bukan segalanya. Punya teman-teman yang suportif akan membantu kita
dalam kondisi yang tidak kita duga. Saya banyak mendapat rezeki dari lantaran
pertemanan, bisa menyusun buku yang bagus dan laku banyak juga lantaran
pertemanan, jika sedih juga dihibur teman. Akashi Seijuro yang selalu
memerintah rekan setimnya karena dia merasa sempurna di segala hal, giliran
dia yang berbuat kesalahan, tidak ada rekan setimnya yang menghibur karena
dia juga tidak pernah menghibur atau memuji temannya. Tidak bisa membayangkan
betapa hampa dan menyedihkan hidup seperti itu. Gading gajah saja retak kok,
apalagi hati manusia. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5691549/bahkan-gading-pun-bisa-retak |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar