Palu
Wahyu Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 27
Agustus 2021
REKAMAN
podcast di Karni Ilyas Club baru saja selesai. Kemarin sore. Untuk tayang
nanti malam. Saya memang lagi di Jakarta. Pagi-pagi saya ke klinik
Hayandra-nya Si Cantik Rambut Keriting Karina. Untuk urusan pribadi:
mungkinkah D-Dimer saya yang masih tinggi itu diatasi dengan PRP. Setelah
dua bulan tidak periksa D-Dimer saya penasaran: naik atau turun. Dokter saya
–yang di Surabaya maupun yang di Singapura– memang menyarankan agar saya
tidak usah ke lab lagi. Biar saja D-Dimer saya tinggi. Jangan dirisaukan. Toh
tidak ada keluhan. Mungkin D-Dimer saya memang harus tinggi. Itu akibat
pembuluh darah aorta saya dipasangi ring. Banyak sekali. Sampai 760 buah
–sepanjang 50 cm. Tapi
penasaran saya tidak bisa reda. Dua bulan lalu, D-Dimer saya 1.720. Tinggi
sekali. Harusnya hanya boleh paling tinggi 500. Di pemeriksaan minggu lalu
ternyata lebih tinggi lagi, 2.000. Saya
coba saja PRP. Tidak berhasil juga tidak apa-apa. Yang penting suntikan PRP
dari darah saya sendiri itu aman. Dari
klinik Karina saya makan siang dengan Menko Luhut Binsar Pandjaitan. Di
kantornya. Ada ikan fillet goreng tepung rica, ada sambal goreng tempe, ada
sop, dan mie goreng. Prasmanan. Empat orang staf ahli menko ada di meja makan
besar itu. Di situ ada juga buah kiwi dan durian. Pak
Menko menutup makannya dengan durian kupas yang disajikan di atas piring.
Saya juga. Dari
Kemenko, saya ke Karni Ilyas Club di Hotel JS Luwansa, Kuningan. Sudah lama
Karni minta bisa podcast dengan saya. Ia orang yang saya hormati. Terutama
dalam hal memegang prinsip-prinsip jurnalisme independen. Saya pernah menulis
khusus tentang beliau (Baca juga Disway: Karni Ilyas). Selesai
rekaman itu saya lega: anak saya gabung di Luwansa. Bersama beberapa temannya
yang belum saya kenal. Berarti saya bisa nunut pulang ke SCBD dengan
mobilnya. "Kenalkan,
ini teman saya yang masih muda tapi sudah sukses. Namanya Wahyu," ujar Azrul
Ananda, anak saya itu. Wahyu
jauh lebih muda dari anak saya. Umurnya baru 32 tahun. Tapi penampilannya
langsung menarik perhatian saya. Terutama jam tangan yang ia pakai itu: RM.
Tipe-nya yang RM 35-01 RAFAEL NADAL. Itu
bukan jam tangan sembarangan. Andaikata pun Anda punya banyak uang belum
tentu bisa membelinya. Tidak ada lagi toko yang menjual. Pun di Singapura.
Jam tangan itu dibuat terbatas di Swiss sana. Konon hanya 100 buah. Maka
kian tahun harganya naik terus. "Waktu saya beli masih Rp 3 miliar.
Sekarang sudah ada yang menawar Rp 6 miliar," katanya. Nama
lengkap Wahyu sangat panjang: Dinar Wahyu Saptian Dyfrig. Tinggal di Pondok
Indah Jakarta. Saya
amati di mana letak mahalnya jam tangan itu: saya tidak mengerti. Saya memang
tidak punya jam tangan. Pernah punya. Dulu. Lama sekali. Beberapa kali. Tapi
selalu pindah tangan. Lalu
saya lihat jaket yang dikenakan Wahyu: Rp 50 jutaan. Merek LV. Saya lirik
sepatunya. Sesapuan. Juga LV. Entah berapa harganya. Saya
tidak perlu menebak kaus hitamnya itu. Ada tulisan LV besar di kaus itu. Hanya
tas kecilnya yang bukan LV: Dior. Demikian juga kacamatanya: Dior. Terjadilah
perundingan kecil di lobi Luwansa itu: biar Wahyu saja yang mengantar saya
pulang ke SCBD. Anak saya akan langsung ke Surabaya naik mobil. Saya
pun menuju mobil Wahyu: Mercy terbaru dua pintu. Ia juga punya Ferrari di
rumahnya. Di
mobil itu saya ngobrol cepat: siapa dia, apa latar belakangnya, jenis apa
bisnisnya. Kurang dari 15 menit mobil sudah akan tiba di rumah saya. Hanya
yang penting-penting saja yang harus saya tanyakan. Sejak
kelas 5 SD Wahyu sudah mulai jualan: kartu telepon. Yang dimasuk-masukkan ke
dalam album itu. Waktu
SMP ia jualan MP3. Yang dilapisi karya lukisnya. Laris. Wahyu pandai
menggambar. Di
SMAN 21 Surabaya, Wahyu bergabung dengan grup band. ''Ngamen'' dari kafe ke
lobi hotel. Ia jadi vokalis. Lagu apa saja. Yang masuk top 40. Dari
situ Wahyu punya banyak kenalan. Ia pun bisnis EO. Termasuk menyewakan sound
system yang ia sewa dari orang lain. Berkembang. Ia mulai punya tabungan Rp
40 juta. Wahyu
pun berani ambil proyek EO yang lebih besar: rugi Rp 200 juta. "Tabungan
habis, masih pula punya utang," katanya. Setamat
SMA, Wahyu kuliah di ITS Surabaya. Di jurusan desain interior. Bakat
menggambarnya ia pupuk di bangku kuliah. Sambil terus menekuni EO dan tarik
suara. Dan melunasi utang. "Saya
bangkrut lagi. Habis. Saya sampai hanya jadi karyawan di perusahaan
kontraktor," katanya. "Saya tertipu lagi," tambahnya. Tapi
Wahyu masih punya kekayaan jaringan. Itulah yang membuat Wahyu bangkit. Ia
bergabung dengan beberapa anak muda: membangun perusahaan digital
development. Ia menjadi leader di situ. Wahyu
juga membangun rumah tangga: mengawini gadis Malang lulusan SMK jurusan boga.
Ketika anak kedua lahir Wahyu merasa menemukan titik balik dalam hidupnya:
software yang ia bangun mendapat pasar di luar negeri. Software analisis
keuangan otomatis. "Pesanan
pertama dari Prancis," katanya. Sejak
itu pesanan terus berdatangan. Dalam dua tahun terakhir Wahyu kebanjiran
order. "Berapa
banyak order dari luar negeri selama dua tahun terakhir? Mencapai 50?"
tanya saya. "Lebih.
100 lebih," jawabnya. Wahyu
tidak hanya menerima dolar. "Sering juga kami dibayar dengan
bitcoin," katanya. "Kami bisa dapat banyak untung dari
bitcoin," tambahnya. Kini
perusahaan digital development-nya sudah memiliki tim sebanyak 50 orang.
Besar sekali untuk ukuran anak-anak muda. Wahyu
pun mulai ekspansi. Ia baru saja membeli 60 persen saham perusahaan MLM
Pansaka. Yang memperdagangkan 9 produk minuman kesehatan. Misalnya Gluberry
yang mengandung kolagen. Dan teh hijau Jtea. Wahyu
berencana akan menggenjot perusahaan MLM Pansaka itu menjadi besar. Saya
pun minta nomor HP-nya. Saya akan menghubungi Wahyu dua tahun lagi. Saya
ingin tahu seberapa hebat anak muda ini dua tahun lagi. Begitu
banyak orang sulit di masa pandemi. Wahyu ternyata menemukan palunya sendiri.
(Dahlan Iskan) ● |
Sumber : https://www.disway.id/r/1744/palu-wahyu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar