Meraba
Wajah Pemerintahan Taliban Jilid II Musthafa Abd Rahman ; Wartawan Kompas di Kairo, Mesir |
KOMPAS, 23 Agustus 2021
Sudah
delapan hari, yakni sejak 15 Agustus lalu, Taliban menguasai kembali kota
Kabul dan negeri Afghanistan. Sebelumnya, 25 tahun silam, Taliban pernah
menguasai Kabul dan sebagian besar negeri itu selama lima tahun (1996-2001).
Kekuasaan Taliban ambruk akibat invasi AS ke Afghanistan tahun 2001, menyusul
penolakan Taliban menyerahkan Pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden, kepada AS. Kini,
dunia harus menerima realitas baru, yakni tidak hanya kenyataan bahwa Taliban
menguasai kembali Kabul dan negeri Afghanistan, tetapi juga realitas bahwa
Taliban serta-merta menjadi kekuatan politik dan militer terkuat yang tak
tertandingi di Afghanistan saat ini. Bahkan, secara psikologis Taliban
melambung, mengingat narasi yang berkembang adalah mereka mampu memaksa AS
mundur dari Afghanistan setelah terlibat perang 20 tahun. Capaian
saat ini lebih historis dibanding kemenangan Taliban tahun 1996. Saat itu
mereka hanya bisa memukul mundur pasukan Shah Masood dari kota Kabul. Karena
itu, sebagai pemenang, Taliban kini memegang inisiatif politik dan militer
secara mutlak di Afghanistan. Dengan kata lain, Taliban bisa disebut menjelma
sebagai kekuatan tunggal di Afghanistan saat ini. Inilah
yang memicu kecemasan dari berbagai kalangan di seantero dunia tentang masa
depan Afghanistan, begitu berita jatuhnya kembali kota Kabul ke tangan
Taliban bergulir pada 15 Agustus lalu. Masa
depan Afghanistan cukup kompleks, karena tidak hanya menyangkut situasi dalam
negeri atau corak baru kehidupan di negara itu, tetapi juga terkait posisi
baru Afghanistan dalam konteks geopolitik pasca mundurnya AS. Selain itu,
juga terkait posisi Afghanistan pada era kekuasaan Taliban jilid II dalam
konteks perang internasional melawan terorisme. Isu Afghanistan akan terus
menjadi isu menarik, bahkan bisa jadi lebih seksi dibanding pada era
pendudukan AS (2001-2021). Pilihan
masyarakat internasional, khususnya negara-negara Barat, menjadi dilematis
menghadapi rezim baru Taliban di Afghanistan. Idealnya AS dan negara Barat
lain tetap membangun komunikasi dengan Taliban jika ingin tetap mempunyai
pengaruh dan akses lobi terhadap Taliban, sehingga aspirasi internasional
untuk ikut merancang masa depan Afghanistan didengar dan terakomodasi oleh
Taliban. Kepentingan berbeda Kepentingan
terbesar internasional, khususnya AS, di Afghanistan era kekuasaan Taliban jilid
II sesungguhnya ada pada isu geopolitik dan HAM. Adapun isu terorisme sudah
tidak terlalu dianggap sebagai isu seksi oleh AS. Kekalahan kelompok Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di lumbungnya, di Irak dan Suriah, turut
melemahkan jaringan kelompok radikal yang seideologi di seluruh dunia. Apalagi
NIIS di Afghanistan, yang muncul mulai tahun 2014, merupakan musuh bebuyutan
Taliban. NIIS dan Taliban terlibat pertempuran sengit antara tahun 2015
hingga 2017. Ada benturan kepentingan antara Taliban dan NIIS. NIIS ingin
menguasai wilayah di Afghanistan, khususnya wilayah timur dan timur laut,
yang dikenal sebagai basis Taliban. Hal
ini berbeda dengan Al Qaeda pada tahun 1990-an. Al Qaeda tidak mempunyai misi
menguasai wilayah Afghanistan. Para pemimpin kelompok itu, termasuk Osama bin
Laden, hanya ingin mencari tempat perlindungan di negeri tersebut. Ini yang
membuat Taliban bersedia melindungi Al Qaeda. Al Qaeda, meskipun masih ada
saat ini, sudah menjadi sel-sel tidur yang tidak efektif lagi. Meredupnya
ancaman bahaya terorisme itu barangkali menjadi faktor utama keputusan AS
mundur dari Afghanistan. Adapun
isu HAM dan geopolitik akan menjadi isu paling seksi di Afghanistan saat ini.
Dalam konteks geopolitik, tantangan terbesar AS di Afghanistan dan Asia
Tengah saat ini bukan Rusia, tetapi China. AS dan China terakhir ini terlibat
perang ekonomi dan teknologi sengit. AS berusaha membendung pengaruh China di
semua titik di dunia ini. China
kini mengincar Afghanistan dan Asia Tengah untuk dijadikan jalur perdagangan
menuju Asia Selatan dan Timur Tengah sebagai bagian dari megaproyek jalur
sutra. China diberitakan telah mengalokasikan dana sebanyak 60 miliar dollar
AS untuk pembangunan jalur sutra dari China menuju Asia Tengah, Asia Selatan,
dan Timur Tengah. Afghanistan dicanangkan bakal menjadi jalur utama
perlintasan jalur sutra itu. Agenda utama kunjungan delegasi Taliban ke
Beijing pada bulan Juli lalu adalah isu jalur sutra tersebut. AS
dan negara Barat lain tentu tidak rela Afghanistan jatuh ke tangan China
sepenuhnya. Di sini akan terjadi pertarungan geopolitik sengit di Afghanistan
dan Asia Tengah. AS harus berusaha tetap memiliki akses langsung maupun tidak
langsung terhadap Taliban jika tidak ingin digilas China. AS
juga harus cerdik merangkul Pakistan dan India yang saling bersaing untuk
membendung pengaruh China di Asia Selatan dan Asia Tengah. AS harus pula
menggunakan jasa Qatar yang selama ini dekat dengan Taliban agar tetap
memiliki akses kuat ke para elite Taliban. Seperti diketahui, Qatar menjadi
tempat perundingan AS-Taliban selama ini dan tempat kantor perwakilan Taliban
di Timur Tengah. Isu
seksi lain adalah HAM, khususnya terkait hak-hak kaum perempuan. Kecemasan
dan ketakutan dunia saat ini dipicu oleh bayangan pola kehidupan sangat
konservatif–untuk tidak menyebut primitif–yang diterapkan Taliban di kota
Kabul dan negeri Afghanistan saat berkuasa pada 1996-2001. Taliban
pada era kekuasaan yang pertama melarang musik, melarang tontonan film
(gedung bioskop ditutup), melarang pertunjukan kesenian apapun, pria harus
memelihara jenggot panjang, kendaraan harus berhenti di waktu shalat, dan
kaum perempuan harus memakai burkak (pakaian yang menutupi seluruh tubuh dari
ujung kepala sampai ujung kaki). Perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa
didampingi mahramnya (suami atau keluarga dekat). Apalagi
jatuhnya kota Kabul sepekan lalu dibarengi dengan eksodus ribuan warga
Afghanistan dan asing ke Bandar Udara Internasional Kabul untuk bisa naik
pesawat ke negara-negara lain, karena ketakutan akan kehidupan Afghanistan di
bawah Taliban. Ribuan warga asing maupun Afghanistan sampai hari ini masih
berusaha mendatangi bandara Kabul untuk bisa berimigrasi ke negara lain. Perubahan era Hal
ini yang memicu munculnya polemik di media sosial maupun media resmi di
banyak negara antara optimis dan pesimis tentang masa depan Afghanistan pada
era kekuasaan Taliban saat ini. Kubu optimis berdalih, jarak waktu cukup
lama, yakni 25 tahun, antara kekuasaan Taliban jilid 1 (1996-2001) dan
kekuasaan Taliban jilid II (2021), memberi harapan besar akan adanya
perubahan sikap Taliban serta wajah masa depan Afghanistan yang berbeda dari
Taliban dan potret negeri itu, 25 tahun lalu. Sejumlah
analisis muncul tentang faktor-faktor yang berandil akan terjadinya perubahan
ke arah lebih moderat pada era kekuasaan Taliban jilid II ini. Pertama, dalam
kurun waktu 25 tahun terakhir ini, telah terjadi perubahan generasi di tubuh
internal Taliban, khususnya di jajaran elitenya. Para
elite Taliban, yang akan memegang kebijakan, kini berasal dari generasi kedua
dengan rentang usia rata-rata antara 40-50 tahun, bahkan ada yang masih usia
20-an. Mereka berbeda dari generasi pertama, yakni generasi pendiri Taliban,
Mullah Mohammed Omar, yang meninggal dunia pada tahun 2013. Generasi
kedua Taliban itu adalah pemimpin tertinggi Taliban saat ini, yaitu Mullah
Hibatullah Akhundzada (60), Abdul Ghani Baradar (53), Sirajuddin Haqqani
(48), Mullah Amir Khan Muttaqi (51), Mullah Mohammad Yaqoob (31), dan Anas
Haqqani (27). Kedua,
pengalaman pimpinan Taliban dari generasi kedua itu dalam berinteraksi dengan
masyarakat internasional, baik dalam forum perundingan maupun kunjungan ke
beberapa negara. Pengalaman bertahun- tahun Taliban berunding dengan AS di
Doha, Qatar, memberi pelajaran kepada elite Taliban tentang seni pergaulan
internasional dan terbentuknya mental saling memberi dan berbagi dengan pihak
lain. Selain
itu, kunjungan delegasi Taliban ke berbagai negara, seperti ke China dan
Rusia pada bulan Juli lalu serta ke Indonesia pada tahun 2018 dan 2019, bisa
memberi kematangan kepada elite Taliban dalam membaca peta geopolitik. Ketiga,
pengalaman pahit Taliban menjadi oposisi dan melancarkan perang gerilya
melawan pasukan pendudukan AS selama 20 tahun bisa mendorong Taliban lebih bijak
ketika berkuasa lagi. Di
tengah polemik antara kubu optimis dan pesimis itu, memang terlalu dini
menilai dan memberi kesimpulan atas sikap Taliban dan corak kehidupan di
Afghanistan saat ini dan mendatang. Taliban pun harus bijak melihat realitas bahwa
Afghanistan dan geopolitik kawasan saat ini sangat berbeda dari 25 tahun
lalu. Tantangan Taliban sangat berat dalam mengelola negeri Afghanistan, baik
ekonomi, politik, dan keamanan. Berbagai
pernyatan yang disampaikan Taliban saat ini cukup positif dan adaptif atas
perubahan di Afghanistan dan dunia saat ini. Sikap positif Taliban itu,
misalnya akan membentuk pemerintah inklusif, membangun hubungan baik dengan
internasional, melindungi kelompok minoritas dan menjaga hak-hak kaum
perempuan. Tetapi, dunia menunggu pernyataan tersebut tetap harus dibuktikan
di lapangan. Ada
baiknya menunggu beberapa pekan lagi atau menunggu 100 hari kekuasaan Taliban
di Afghanistan, baru kemudian menilai apa yang sesungguhnya terjadi di
Afghanistan pada era kekuasaan Taliban jilid II. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/08/23/meraba-wajah-pemerintahan-taliban-jilid-ii/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar