Senin, 23 Agustus 2021

 

Amendemen Konstitusi di Masa Krisis Dapat Memicu Ketidakpastian

Rini Kustiasih ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 22 Agustus 2021

 

 

                                                           

Momentum untuk melakukan amendemen konstitusi di masa pandemi Covid-19 dipandang sebagai suatu kebijakan yang dapat memicu ketidakpastian. Sebab, di tengah upaya negara mengatasi krisis, upaya politik yang  krusial dan membutuhkan energi besar, seperti perubahan konstitusi, dapat berujung pada keguncangan politik jika tidak memperhatikan kondisi masyarakat yang rapuh.

 

Direktur eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengungkapkan, dorongan untuk melakukan amendemen konstitusi harus mempertimbangkan situasi dan konteks masyarakat saat ini. Dalam kondisi masyarakat yang sedang rapuh, melakukan amendemen konstitusi akan menjadi pertaruhan besar bagi negeri ini.

 

”Sekarang ini kondisi kritis dan krisis. Harus dilihat pula apakah dalam kesempitan ini ada upaya politik atau akal-akalan politik macam apa yang dilakukan dengan mengamendemen konstitusi. Sebaiknya memang fokus pada penanganan pandemi. Saya setuju kalau bernegara itu ialah berkonstitusi dan konstitusi bisa diubah. Namun, melakukan perubahan di saat krisis dan kritis itu menyerahkan kondisi republik dalam kondisi tidak menentu,” ucapnya dalam diskusi daring bertajuk ”Siapa Butuh Amandemen” yang digelar oleh Lingkar Madani (Lima) dan PARA Syndicate, Minggu (22/8/2021).

 

Menurut Ari, alasan yang selama ini dikemukakan untuk melakukan amendemen ialah karena bangsa Indonesia memerlukan arah pembangunan yang jelas dan tidak berubah-ubah setiap kali berganti pimpinan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Logika mengenai kebutuhan arah pembangunan itu dapat diterima karena memang diperlukan kejelasan arah pembangunan bangsa ini ke depan.

 

Namun, untuk melakukan perubahan konstitusi pada saat negara sedang menghadapi pandemi dinilai sebagai pilihan yang kurang tepat. Beberapa hal juga mesti dipertanyakan terkait rencana amendemen konstitusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Publik pun dapat pula bertanya tentang siapa yang akan diuntungkan oleh perubahan konstitusi di tengah kondisi krisis lantaran konteksnya tidak tepat. Pihak yang diuntungkan dari amendemen itu ialah mereka yang sedang berkuasa saat ini.

 

Ari juga menggarisbawahi pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo yang menyebut amendemen konstitusi hanya terbatas pada dua pasal saja. Pertama, kewenangan MPR menetapkan Pokok-pokok haluan negara (PPHN) dan kedua, kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menolak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jika tidak sesuai dengan PPHN. Peryataan itu mesti disikapi dengan kritis di tengah tingginya ketidakpercayaan publik terhadap institusi politik, termasuk politisi yang duduk di DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), MPR, ataupun pemerintah.

 

”Siapa yang dapat menjamin pembahasan itu tidak akan melebar ke mana-mana atau membuka kotak pandora? Tidak cukup dengan memercayai lidah politisi hari ini, baik itu presiden, MPR, DPR, maupun DPD. Untuk menjamin itu semua perlu pengawasan dan persayaratan yang superketat terhadap proses amendemen,” katanya.

 

Bahkan, kalau perlu ada perjanjian hitam di atas putih antara para anggota MPR dan semua elite politik yang terlibat dalam perubahan konstitusi untuk memastikan tidak akan ada perubahan pasal lain, kecuali PPHN. Menurut Ari, tanda tangan perjanjian atau pakta amendemen itu mesti dilakukan, sekalipun terkesan kekanak-kanakan secara politis. Sebab, kini, publik tidak dapat lagi memercayai komitmen politisi. Sementara pada saat bersamaan, peminggiran terhadap masyarakat sipil dan media juga terus terjadi.

 

Usulan memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan PPHN juga meninggalkan pertanyaan soal kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara. Di masa lalu, ketika MPR menjadi lembaga tertinggi negara, penetapan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh MPR menjadi sesuatu hal yang bisa dipahami karena GBHN harus dipatuhi oleh presiden sebagai lembaga tinggi negara. Namun, setelah amendemen konstitusi 1999-2002, kewenangan itu diubah, posisi MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi, tetapi lembaga tinggi negara yang setara dengan DPR dan presiden.

 

”Kami sepakat perlu ada arah pembangunan supaya tiap presiden dengan program dan kebijakannya tidak menyimpang dari pembangunan nasional. Tetapi, ini bertentangan dengan kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara. Bagaimana dia bisa menetapkan PPHN untuk diikuti oleh presiden yang posisinya equal sebagai lembaga tinggi negara,” ucapnya.

 

Lebih jauh lagi, wacana amendemen konstitusi sangat problematik jika dikaitkan dengan isu yang berkembang, seperti wacana presiden tiga periode, pemilihan presiden tidak langsung, dan perpanjangan jabatan presiden menjadi delapan tahun. Apakah amendemen konstitusi ini menjadi pintu masuk saja bagi kepentingan-kepentingan lainnya saat pembahasan, menurut Ari, itu mesti juga diwaspadai. Tanpa kekuatan penyeimbang dan kontrol yang sehat oleh publik, amendemen berpotensi menjadi bola liar.

 

Memanfaatkan kesempatan

 

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, tidak ada istilah resmi mengenai amendemen terbatas sebagaimana kerap diungkapkan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo. Menurut dia, ketentuan yang diatur hanyalah amendemen, sedangkan kata ”terbatas” yang kerap dilekatkan dalam kata amendemen itu hanya merupakan bahasa politik yang dimaksudkan untuk meyakinkan publik agar mendukung niat mengamendemen konstitusi. Artinya, publik tidak bisa bergantung atau percaya sepenuhnya dengan kata ”terbatas” yang disematkan di dalam kata amendemen itu.

 

Dalam pengusulan amendemen itu pun yang selama ini menonjol ialah pernyataan dari Ketua MPR dan sikap-sikap fraksi lainnya di MPR belum secara jelas menunjukkan sikapnya atas rencana itu. Padahal, konstitusi telah mengatur secara jelas perubahan konstitusi itu minimal harus diusulkan oleh satu pertiga dari anggota MPR. Perubahan itu pun harus mencantumkan dengan jelas pasal yang ingin diubah dan alasannya secara tertulis.

 

Dalam perkembangannya, DPD telah menyatakan dukungannya untuk mengubah konstitusi. Namun, menurut Lucius, dukungan DPD itu tidak semata-mata untuk meloloskan PPHN masuk dalam konstitusi. DPD diyakini juga akan memperjuangkan mimpi mereka selama ini, yakni untuk penguatan kewenangan DPD.

 

”Sulit menjamin dukungan dari DPD itu gratis atau hanya sekadar mengembalikan PPHN ke dalam konstitusi. Itu perjuangan satu-satunya DPD, yaitu memastikan kewenangan mereka lebih kuat di dalam konstitusi,” katanya.

 

Oleh karena itu, menurut Lucius, amendemen konstitusi bukan tidak mungkin membuka kotak pandora karena begitu banyak kepentingan di dalam fraksi-fraksi dan kelompok di MPR. Selain itu, amendemen konstitusi akan menjadi kesempatan melakukan transaksi kepentingan di antara fraksi-fraksi di MPR.

 

”Semuanya akan keluar dengan dengan kartu truf masing-masing. Fraksi yang menginginkan perpanjangan masa jabatan, misalnya, akan menyetujui PPHN seandainya ada perpanjangan jabatan. DPD juga akan mendukung PPHN sepanjang ada penguatan kewenangan mereka di dalam konstitusi. Ini akan membuka terjadinya transaksi kepentingan,” ujar Lucius.

 

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menuturkan, penanganan pandemi akan menjadi penentu bagaimana wacana amendemen konstitusi ini digulirkan. Jika pada 2022 pandemi berhasil diatasi, diperkirakan amendemen tidak akan tertahankan lagi. Sebab, kepentingan amendemen konstitusi ini juga sangat bergantung pada sikap presiden.

 

”Presiden juga punya perhatian soal popularitas beliau dan kristalisasi serta konsolidasi dukungan terhadap amendemen mungkin akan makin kuat kalau pandemi berhasil diatasi. Kalau Covid-19 naik lagi, dan ekonomi tidak baik, mungkin amendemen akan ditahan-tahan. Kalau pandemi membaik, menurut saya wacana amendemen konstitusi akan mudah dilakukan,” ucapnya.

 

Direktur Eksekutif Lima, Ray Rangkuti, mengatakan, sikap dan posisi presiden akan menentukan wacana amendemen konstitusi. Amendemen itu bagaimanapun akan membawa implikasi pada konsep pemerintahan eksekutif karena presiden akan bisa membatalkan kebijakan daerah yang dinilai tidak sesuai PPHN. Sentralisasi berpotensi muncul. Namun, penguasa sebenarnya ialah kelompok elite yang duduk di MPR, yang tidak lain adalah perwakilan dari partai-partai politik dan kelompok kepentingan karena mereka yang membuat dan menetapkan PPHN. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/08/22/amandemen-konstitusi-di-masa-krisis-dapat-memicu-ketidakpastian/

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar