Pemilu
2024 dan Nagara Rimba Nusa Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 28 Agustus 2021
”Kita harus ada keberanian untuk
memindahkan ibu kota, memisahkan pusat pemerintahan dari pusat keuangan,
perdagangan, industri, teruskan Pak.”
Menteri
Pertahanan Prabowo Subianto Dukungan
terbuka Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu disampaikan pada Selasa
(24/8/2021). Prabowo diajak Presiden Joko Widodo melihat sodetan akses jalan
menuju calon ibu kota negara di Kalimantan Timur. Gagasan pemindahan ibu kota
negara timbul tenggelam. Sejak
Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan pada pemerintahan Presiden Jokowi,
gagasan itu muncul lagi. Padahal, dalam masa kampanye Pemilihan Umum 2019,
debat calon presiden, kampanye partai politik, gagasan pemindahan ibu kota
negara rasa-rasanya tak pernah terdengar. Tidak ada juga calon presiden atau
partai politik yang menjanjikan pemindahan ibu kota. Ibu kota baru di Penajam,
Kalimantan Timur, direncanakan diberi nama Nagara Rimba Nusa. Memindahkan
dan membangun ibu kota negara adalah proyek mercusuar tahun jamak
(multiyears) yang membutuhkan dana besar. Ide itu digagas dalam situasi
keuangan negara yang terkuras karena Covid-19. Akan tetapi bisa saja ada
pemikiran, akan ada pihak asing atau pengusaha yang mau bergotong royong
membangun ibu kota baru. Pindahnya
ibu kota, jika terlaksana, bisa menjadi legacy pemerintahan Presiden Jokowi.
Namun, pemindahan ibu kota jangan sampai menghilangkan memori sejarah dan
akar sejarah bangsa ini. Beban Jakarta memang berat. Tidak ada yang
membantah. Namun, apakah memindahkan ibu kota merupakan jawaban dari beratnya
permasalahan Jakarta atau lari dari permasalahan. Itu perlu kajian serius. Pemindahan
ibu kota membutuhkan dukungan politik berkesinambungan. Dukungan kekuatan
politik dan juga dukungan masyarakat, termasuk dunia usaha. Dukungan politik
tulus dan berdasarkan studi kelayakan serta dasar hukum yang kuat. Ibaratnya,
setiap warga negara yang akan mendirikan rumah atau gedung membutuhkan IMB
(izin mendirikan bangunan). Dengan analogi yang sama, memindahkan dan
membangun ibu kota negara membutuhkan ”permisi politik” melalui
undang-undang. Dan, akan banyak undang-undang yang harus direvisi. Kesinambungan
dukungan politik ini menjadi keharusan agar ibu kota negara tidak mangkrak.
Perlu ada jaminan berkesinambungan dari pemerintahan setelah 20 Oktober 2024.
Pemerintahan baru harus punya komitmen yang sama dengan gagasan pemindahan
ibu kota. Kesinambungan dukungan politik harus digalang agar gagasan itu bisa
terwujud. Presiden baru setelah Presiden Jokowi harus punya komitmen
meneruskan pembangunan ibu kota. Itu bukan hal mudah. Pertemuan
pimpinan MPR, sejumlah ketua umum partai politik koalisi, termasuk Ketua Umum
Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dengan Presiden Jokowi, bisa saja
menjadi ajang konsolidasi kekuatan politik pendukung pemerintah. Dengan
bergabungnya PAN, koalisi pemerintahan sangat kuat. Koalisi akan menguasai 471
kursi DPR atau 82 persen. Yang tertinggal hanyalah Partai Demokrat (54 kursi)
dan Partai Keadilan Sejahtera (50 kursi). Sebanyak 82 persen kursi DPR
dikuasai pemerintah. Dibandingkan
dengan periode akhir Orde Baru, Golkar mengusai 325 kursi dari 425 kursi DPR.
Bahkan, ditambah dengan anggota DPR Fraksi ABRI 75 orang, kekuatan
pemerintahan Jokowi masih jauh lebih kuat. Periode terakhir Orde Baru
mengontrol 80 persen kursi DPR. Dengan
konsolidasi kekuasaan politik—minimal untuk saat ini, karena politik begitu
dinamis—semua langkah, tindakan, dan keputusan politik bisa saja dilakukan.
Tergantung mau ke mana kekuasaan mau diarahkan. Mau melunasi janji kampanye
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, sangat bisa dilakukan. Mau
mengegolkan UU Perampasan Aset mudah dikerjakan ketika pemerintah sedang
memburu dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Akan tetapi
sebaliknya, mau mengubah konstitusi, membuat undang-undang soal pemindahan
ibu kota secara teoretis bisa dilakukan. Praktik politik di Indonesia masih
sangat dol tinuku (jual beli) atau transaksional. Faktor kepentingan akan
menjadi faktor penentu. Tiada
kawan dan lawan abadi dalam politik selain kepentingan. Kredo politik purba
itulah yang terjadi. Atas nama gotong royong, yang dulu beroposisi bisa
bergabung, yang dulu mengecam dan mencela, kini menjadi pembela. Itulah
politik kepentingan, bukan berbasis nilai. Siapa dapat apa, kapan, dan
bagaimana mendapatkannya. Tapi yang pasti, rakyat dengan rasionalitas
politiknya akan mengawal. Kembali
kepada pembangunan ibu kota, izin prinsip politik berkesinambungan jadi
faktor penentu. Kepentingan partai politik bisa berubah ketika tahapan
politik 2024 dimulai pada tahun 2022. Komitmen presiden baru dibutuhkan,
jangan sampai dalam Pemilihan Presiden 2024, ada capres berkampanye, program
ibu kota negara tidak perlu diteruskan. Itu berabe. Akan tetapi jangan demi
ibu kota baru, ada pikiran memperpanjang atau memundurkan pemilu dengan
alasan kegentingan akibat pandemi Covid-19, menjadi 2027. Hal itu mengingkari
demokrasi. Mendengar akal sehat rakyat adalah penting. Djohermansyah
Djohan, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri
(IPDN), dalam esainya di Kompas, 28 Januari 2020, menulis, skenario paling
cepat, asal ada uang, pemindahan ibu kota negara butuh waktu 15 tahun atau
tahun 2034. Jika dipaksakan di tahun 2024, sangat berisiko. Untuk pemindahan
ibu kota provinsi dengan kasus Kalimantan Selatan dan Maluku Utara butuh
waktu 15 tahun. Sejumlah tahapan langkah teknis dan politis dibeberkan
Djohermansyah Djohan di Kompas, 28 Januari 2020. Mungkin bisa dibaca kembali. Kini,
publik mulai mereka-reka, apa makna pernyataan dukungan Prabowo soal
pemindahan ibu kota dalam konstelasi politik 2024. Silakan mereka-reka karena
mereka-reka adalah hak setiap orang. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/28/pemilu-2024-dan-nagara-rimba-nusa/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar