Amandemen
Kelima dan Paradoks Wacana Haluan Negara Asrizal Nilardin ; Anggota tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Pemuda Muhammadiyah DIY |
DETIKNEWS, 26
Agustus 2021
Wacana
perubahan (amandemen) kelima UUD 1945 bukan isu baru dalam diskursus publik.
Pengusung dan motifnya mengundang tafsir ganda --apakah datang dari
preferensi publik, atau sekadar pretensi para elite politik? Begitu pula,
wacana menghidupkan kembali kewenangan MPR untuk menetapkan Haluan Negara
(PPHN) harus dilihat secara sadar dan proposional. Pasca
perubahan terakhir tahun 2002, nyaris tidak ada langkah politik secara
konkret dari MPR untuk melakukan perubahan kelima sebagai agenda prioritas
dan strategis negara. Perubahan UUD 1945 menjadi keniscayaan dalam merespons
perkembangan kompleksitas kebutuhan konstitusional negara. Terlebih,
kebutuhan terhadap optimalisasi kewenanangan, fungsi, dan kedudukan alat
perlengkapan negara (lembaga negara). Singkatnya, perubahan konstitusi
merupakan upaya pembenahan struktur tata negara, sehingga mendorong pada
usaha tercapainya cita kenegaraan. Eksistensi dan
kedudukan MPR dalam struktur tata negara Indonesia pasca amandemen tidak lagi
sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan menjadi sederajat dengan DPR,
Presiden, DPD, BPK, MA, dan MK sebagai lembaga tinggi negara (primary state
organ). Reduksi kedudukan MPR juga membuat kewenangannya menjadi sangat
terbatas. Sebelum
amandemen, MPR sebagai pelaksana utama kedaulatan rakyat, sehingga diberikan
kewenangan konstitusional untuk menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dan memilih presiden sebagai mandataris yang melaksanakan GBHN. Presiden
sebagai mandataris wajib melaksanakan GBHN, jika MPR menilai bahwa presiden
tidak menjalankan GBHN secara optimal, maka MPR berwenang meminta
pertanggungjawaban dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya. Pada
keadaan ini, presiden bertanggung jawab mutlak kepada MPR. Perubahan
kedudukan dan kewenangan MPR secara fundamental akibat perubahan Pasal 1 Ayat
2 yang menegaskan, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar." Jika sebelum amandemen pelaksana
kedaulatan rakyat adalah MPR, namun pasca amandemen memuat kalimat
"menurut Undang Undang Dasar", hal itu mengandung makna bahwa
kedaulatan rakyat dilaksanakan secara kolektif oleh seluruh organisasi
negara. Menurut Undang Undang Dasar (setelah perubahan), presiden dipilih
langsung oleh rakyat, juga akibatnya bertanggung jawab secara langsung kepada
rakyat. Pergeseran
pola pemilihan presiden dari MPR kepada rakyat secara langsung, telah
menghilangkan status mengikat dan memaksa GBHN. Presiden tidak lagi
bertanggung jawab untuk melaksanakan GBHN, begitu pula MPR tidak lagi
berwenang untuk menetapkan GBHN. Kehadiran GBHN adalah konsekuensi hukum atas
kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi yang berwenang memilih presiden. Kedudukan
presiden sebagai mandataris berkewajiban secara konstitusional untuk
melaksanakan GBHN. Dalam hal ini, antara melaksanakan GBHN dan
pertanggungjawaban presiden kepada MPR adalah satu kesatuan sistem yang tidak
terpisah. Konsolidasi dan Dukungan Politik Wacana MPR
untuk melakukan amandemen terbatas UUD 1945 telah memasuki fase konsolidasi
politik. Tinggal menunggu digelarnya Sidang Umum MPR untuk mengesahkannya.
Kompak, Ketua MPR dan Ketua DPD telah menunjukkan atensi dan keseriusan atas
amandemen kelima dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR dan Pidato Kenegaraan
Presiden dalam rangka peringatan HUT ke-76 RI, serta Sidang Bersama DPR dan
DPD yang digelar Senin, 16 Agustus 2021. Dalam
pidatonya, Ketua MPR dan Ketua DPD menyinggung pentingnya kehadiran Pokok
Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk menyongsong pembangunan Indonesia masa
depan. Agenda amandemen kelima UUD 1945 kian menemukan momentum setelah
sebelumnya Presiden juga memberikan persetujuan untuk melakukan amandemen
terbatas. Dikatakan
terbatas karena amandemen akan direncanakan hanya dilakukan terhadap dua
pasal, yakni Pasal 3 tentang penambahan kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN,
dan Pasal 23 yang menambah satu ayat mengatur tentang kewenangan DPR untuk
menolak RUU APBN dari pemerintah apabila dinilai bertentangan dengan PPHN. Sangat besar
peluang bagi MPR untuk segera mengadakan Sidang Umum. Berdasarkan ketentuan
Pasal 37 UUD 1945, tahap pertama, memungkinkan usul perubahan untuk dilakukan
apabila diajukan oleh minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Dari jumlah 711
anggota MPR masa jabatan 2019-2024, hanya memerlukan pengajuan usulan
tertulis beserta penjelasan pasal yang diubah dari 237 anggota MPR, dengan
begitu Sidang Umum untuk membahas amandemen kelima UUD 1945 dapat digelar. Tahap kedua,
mengenai pembahasan perubahan pasal UUD 1945 harus dihadiri minimal 2/3 dari
jumlah anggota MPR, yakni dihadiri sekurang-kurangnya 274 anggota MPR.
Apabila telah memenuhi kuorum, maka tahap ketiga, putusan akhir untuk
mengubah UUD 1945 yang harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 50 persen
ditambah 1 dari jumlah anggota MPR, yang berarti harus disetujui oleh minimal
336 dari seluruh anggota MPR. Dengan jumlah
anggota DPR 575 dan jumlah anggota DPD 136, maka untuk sampai pada tahap
putusan akhir persetujuan atas perubahan pasal UUD 1945, Ketua MPR bersama
Ketua DPR harus mengkonsolidasikan dukungan minimal setengah dari anggota DPR
menyetujui usul perubahan, dan Ketua DPD, jika setengah dukungan dan
persetujuan telah didapatkan dari anggota DPR, maka harus memastikan seluruh
anggota DPD menyetujuinya. Urgensi dan Implikasi PPHN Wacana
menghidupkan kembali GBHN tidak lebih sebagai pretensi para elite politik.
Kehadiran GBHN pada era Orde Baru seolah menjadi inspirasi dan preferensi
bagi kesuksesan pembangunan nasional yang berjangka. Kehadiran GBHN era Orde
Baru adalah konsekuensi dari kedudukan dan status MPR sebagai lembaga tertinggi
negara yang diberikan kewenangan untuk memilih, meminta pertanggungjawaban
dan memberhentikan Presiden. Namun setelah
perubahan UUD 1945, kewenangan MPR untuk memilih Presiden dan memberhentikan
Presiden telah dihilangkan sehingga presiden tidak lagi berkewajiban
menjalankan GBHN, dan MPR tidak lagi diberikan kewenangan untuk menetapkan
GBHN. Kehadiran PPHN
upaya untuk merekonstruksi keberadaan GBHN yang eksis pada zaman Orde Baru.
Situasi dan kondisi ketatanegaraan Indonesia sekarang sudah tidak lagi
memungkinkan kehadiran GBHN sebagai bagian dari kewenangan MPR. Begitu pula
wacana PPHN tidak memiliki urgensi dan dasar kebutuhan yang jelas. Kewenangan
untuk menentukan Haluan Negara harus berkelindan dengan kewenangan untuk
meminta pertanggungjawaban kepada eksekutif atas pelaksanaan Haluan Negara
tersebut. Kondisi
ketatanegaraan Indonesia dewasa ini tidak lagi menempatkan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara yang dapat meminta pertanggungjawaban presiden.
Kehadiran PPHN hanya relevan apabila presiden bertanggung jawab kepada MPR
atas pelaksanaan PPHN. Namun setelah amandemen hal itu tidak lagi
memungkinkan karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan hanya
bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Tidak ada implikasi hukum
yang signifikan apabila presiden tidak melaksanakan PPHN. Selain itu,
sebagai ganti dari GBHN guna memberikan kepastian terhadap pembangunan yang
berkelanjutan dan akuntabel, telah ada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kehadiran UU a quo, telah
memberikan dasar dan kejelasan yang komprehensif mengenai Haluan Negara dalam
pembangunan nasional. Dengan
demikian, tidak perlu dan selayaknya tidak harus ada kewenangan MPR untuk
menetapkan Haluan Negara (PPHN). Karena hal itu hanya akan sia-sia jika
presiden sebagai pelaksana PPHN tidak bertanggung jawab kepada MPR. Begitu
pula, MPR tidak bisa memberikan sanksi apabila presiden tidak menjalankan
PPHN, juga tidak dapat dijadikan dalil mengajukan impeachment. Wacana
terbatas perubahan kelima UUD 1945 yang hanya menambahkan kewenangan MPR
dalam menetapkan PPHN tidak urgen dan tidak lagi relevan. Perubahan UUD 1945
akan lebih konstruktif apabila dilakukan dalam rangka penguatan kewenangan
legislasi DPD yang hingga kini diamputasi sepihak oleh DPR; pengaturan
kedudukan lembaga negara independen; penambahan kewenangan constitusional
question dan constitusional camplaint Mahkamah Konstitusi, serta optimalisasi
kewenangan lembaga-lembaga negara lainnya. Perubahan
kelima UUD 1945 amat urgen dan mendesak untuk dilakukan, namun harus
dilakukan secara sadar dan komprehensif untuk mengatasi berbagai problematika
ketatanegaraan dan kompleksitas kebutuhan konstitusional negara. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5697077/amandemen-kelima-dan-paradoks-wacana-haluan-negara |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar