Taliban
di Antara Aspirasi dan Kekhawatiran Dunia Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation |
SINDONEWS, 19
Agustus 2021
TERLEPAS dari
kicauan dan gonggongan yang terkadang memuakkan dari media dunia, khususnya
Barat, keluarnya Amerika dari Afghanistan adalah sesuatu yang perlu
diapresiasi. Minimal keputusan itu merupakan “bisikan nurani” mengakui salah
satu kesalahan negara adi daya ini dari masa ke masa. Sejak Vietnam, Irak,
hingga ke Afghanistan, semuanya telah menjadi kesalahan dan dosa sejarah yang
memalukan. Invasi Amerika
di Afghanistan 20 tahun lalu itu sebuah kesalahan fatal yang diambil oleh
pemerintahan GW Bush. Masih terngiang di telinga saya, di saat mendampinginya
berkunjung ke Ground Zero. Di sanalah pertama kali Bush mendeklarasikan:
“they will hear us” (mereka akan mendengar kita). Teman saya membisikkan
ketika itu: “ it’s a war declaration” (itu pengumuman perang). Banyak yang
ribut dengan keluarnya Amerika dari Afghanistan. Padahal yang harusnya
diributkan selama ini Kenapa Amerika menduduki negara lain atas nama
memerangi terorisme? Toh sekali lagi sejarah telah membuktikan bahwa Amerika
gagal menangkap/membunuh Osama bin Laden di Afghanistan. Justeru Osama terbunuh
di negeri Ali Jinnah (Pakistan) belakangan. Afghanistan
memang negara yang unik. Pada tataran tertentu menjadikan kita, atau saya
pribadi, berdecak kagum. Negara itu kaya secara alam. Juga letaknya yang
strategis, selain menghubungkan negara-negara Asia Tengah dan Asia Selatan,
juga dikelilingi oleh negara-negara besar dan berpengaruh seperti Iran,
India, Pakistan dan China. Tapi kehebatan
Afghanistan Sesungguhnya ada pada bangsanya. Bangsa ini dalam sejarahnya
telah membuktikan mampu menaklukkan penjajah-penjajah dari kalangan
bangsa-bangsa kuat dunia. Dari Inggris, Uni Soviet, dan kini Amerika. Sebagai
mahasiswa IIU Pakistan di akhir tahun 80-an (88-95), saya tahu betul panasnya
jihad dan ruh mujahidin di bumi Afghanistan ketika itu. Sekitar
Agustus 1992 itulah masa ketika Uni Soviet harus angkat kaki dari
Afghanistan. Ada euphoria yang sangat tinggi di kalangan Umat Islam saat itu.
Berbagai mimpi (atau slogan) tumbuh. Salah satunya: “dari Kabul ke
Jerusalem”. Slogan “Khaebar Khaebar ya Yahuud. Jaesyu Muhammad saofa ya’uud”
terdengar di mana-mana. Tapi akhirnya
apa yang terjadi? Darah anak-anak Afghanistan terus tertumpah di negeri itu.
Jika darah di masa sebelumnya segar harum mengalir di bumi jihad itu, beralih
menjadi darah yang berbau amis. Hal itu karena yang terjadi belakangan adalah
peperangan antar kabilah. Masing-masing kabilah ingin pemimpinnya yang
menjadi jagoan. Dari Sayyaf, ke Rabbani, Mujaddidi, hingga ke Hikmatyar dan
seterusnya. Afghanistan
pun tidak pernah pulih dari luka-luka lama akibat peperangan panjang.
Pembunuhan dan saling membunuh, kerap juga atas nama membela agama dan
kemuliaan seolah menjadi biasa. Kekuasaan juga silih berganti dari Sayyaf,
Rabbani, Mujaddidi, hingga ke Hikmatyar, dan lain-lain berlalu tanpa ada
dampak positif bagi kehidupan orang-orang Afghan. Bangsa Afghan memang
bangsa yang hebat. Masih terbayang wajah anak-anak Afghan yang saya ajar di
sekolah "Al-Hilal al-Ahmar As-Saudi" di pinggiran-pinggiran kampung
Peshawar. Kerap di wajah mereka masih penuh dengan debu-debu bahkan tanah.
Maklum rumah-rumah mereka hanya dari tanah liat, dan seringkali tanpa air
untuk mandi. Air begitu mahal untuk sekedar minum dan masak. Tapi dengan
semua kesulitan itu mereka hadir di kelas setiap hari dengan ceria dan
senyuman. Hingga akhirnya dua dekade
lalu, di saat pemerintahan dan kehidupan di Afghanistan mulai menggeliat.
Tiba-tiba timbul lagi sebuah kelompok, konon dari sekolah-sekolah Islam
(madrasah) di kawasan perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan. Mereka
mayoritasnya dari kalangan suku Pushtu yang berbahasa Pukhtun. Itu terjadi
ketika yang pemerintahan Pakistan ada di bawah Presiden Musharraf yang sangat
dekat dengan CIA. Kelompok Taliban (arti
literalnya pelajar) itu tiba-tiba secara misterius menjadi sebuah kekuatan besar
yang mampu menaklukkan beberapa propinsi Afghanistan. Intinya mereka
membentuk pemerintahan tersendiri di luar dari pemerintahan Afghanistan yang
berpusat di Kabul lbukota negara. Sementara itu Amerika
terus merasa terancam dengan keberadaan Osama bin Laden di Afghanistan. Sosok
yang dibesarkan oleh Amerika sendiri. Kini punya pengaruh besar di kalangan
mereka yang kecewa dan marah dengan dominasi Amerika di dunia Islam,
khususnya di Timur Tengah pasca perang Irak pertama. Karenanya dijadikannya kelompok
Taliban ini dengan harapan untuk mengeliminir sosok Osama. Kenyataannya
Taliban tidak merasa itu kewajiban dan juga tidak etis secara iman untuk
menghabisi Saudara sendiri. Karenanya mereka justeru memberikan perlindungan
kepada Bin Laden dan groupnya. Akhirnya Amerika berbalik
menjadikan Taliban sebagai musuh, bahkan dengan segela kemampuannya, termasuk
kekuatan media, menjadikan kelompok Taliban sebagai kelompok terroris.
Taliban pun menjadi musuh yang harus dieliminir. Tapi Pakistan yang punya kepentingan
dengan eksistensi Taliban setengah hati menjadi untuk menjadi kaki tangan
Amerika menghabisi Taliban. Taliban di Afghanistan berhasil diruntuhkan di
beberapa wilayah. Tapi mereka yang di Pakistan justeru membangun kekuatan.
Tidak mengherankan belakangan justeru Bin Laden lebih nyaman tinggal di
Pakistan. Sementara itu di
Afghanistan pemerintahan yang terpilih harus sejalan dengan keinginan
Amerika. Mungkin dalam bahasa lain harus dari boneka-boneka Amerika. Hal ini
menjadikan Taliban semakin termotivasi untuk mengambil alih kekuasaan di
Afghanistan. Maka sepanjang dua dekade terakhir, Taliban kerap membuktikan
eksistensinya tidak jarang dengan wajah yang buruk. Termasuk melalui ragam
bunuh diri yang telah menelan banyak nyawa dari kalangan sipil. Dengan keputusan Amerika
untuk meninggalkan Afghanistan, kini Taliban membuktikan bahwa mereka eksis.
Bukan saja eksis. Tapi memiliki kekuatan dan ada di hati sebagian besar
rakyat Afghanistan. Kalau tidak memiliki kekuatan dan tidak ada di hati
mayoritas rakyat Afghanistan tentu pemerintahan Kabul tidak secepat itu
terjatuh. Amerika sendiri
sesungguhnya telah lama ingin keluar dari Afghanistan. Hanya saja memang
selama ini harus mencari cara untuk menutup muka agar “shamefulness” (rasa
malu) itu dapat tertutupi. Hingga naiklah seorang Presiden yang tidak peduli.
Selain karena memang tidak ada rasa malu, juga karena berotak hitung-hitung
ekonomi. Tidak memiliki kalkulasi-kalkulasi pengaruh politik dan dominasi
global. Itulah kelebihan dan sisi positifnya Donald Trump. Dialah yang
mengeksekusi persetujuan dengan Taliban untuk meninggalkan Afghanistan
melalui perjanjian Doha di Qatar. Presiden Biden yang kini
harus menanggung serangan kritikan, khususnya dari kalangan Republikan, hanya
melaksanakan hasil persetujuan pemerintahan Trump dan Taliban. Biden tentunya
tidak mengatakan jika keputusannya menarik tentara US dari Afganistan itu
sekedar melaksanakan keputusan pendahulunya. Agar nampak tegas Biden
mengatakan “this the right decision for America” (ini keputusan yang benar
untuk Amerika). Apapun itu kini Taliban
telah sepenuhnya menguasai Afghanistan. Media dan banyak pihak pun tidak
berhenti menggonggong, menampilkan aspek-aspek kekurangan atau dipaksakan
dinampakan sebagai ancaman. Kekacauan bandara Kabul misalnya ditampilkan
berkali-kali seolah mewakili wajah negeri. Padahal pasukan Taliban masuk
Afghan tanpa pertumpahan darah. Kenapa dunia tidak membuka mata dengan
realita ini? Tidak mudah memang bagi
Taliban ke depan. Selain telah terlanjur terbangun narasi yang buruk,
termasuk perlakuan yang tidak baik kepada wanita, dan lain-lain, juga
dibangun narasi jika Taliban itu “violent group” (kelompok yang senang
melakukan kekerasan). Narasi atau persepsi yang dibangun ini Sesungguhnya
terbantah dengan realita kemenangannya tanpa pertumpahan darah. Di saat-saat seperti
inilah saya menantang kejujuran dunia internasional, termasuk Amerika, dalam
menjunjung demokrasi di mana saja. Senang atau tidak, merasa mendapat manfaat
atau tidak, Taliban adalah pemenang pertarungan di Afghanistan. Pertarungan
yang sejatinya diapresiasi karena tidak terjadi secara destruktif yang
berlebihan. Kenapa dunia tidak
memberikan ruang kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk membuktikan jika
mereka mampu mengelolah negara mereka sendiri? Bahwa mereka punya paham dan
jalan tersendiri dalam pengelolahan itu, kenapa negara-negara lain harus
peduli dan ribut karenanya? Masalah penafsiran dan
pemahaman agama itu masalah domestik yang akan mengalami dinamika dan
transformasi tersendiri. Jika selama ini ada pemahaman atau penafsiran agama
yang kita tidka setujui, termasuk dalam hal pendidikan wanita, hal itu
mungkin karena sekedar ekspresi resistensi dengan tendensi sosial yang
dilihat sebagai titipan orang luar (baca Barat). Boleh juga karena memang
latar pendidikan mereka yang perlu diarahkan ke arah yang lebih baik. Di
Amerika sendiri ada kelompok-kelompok agama yang tendensinya “talibanisme”.
Yang parah kemudian jika pemahaman agama ini didukung oleh kepentingan
politik. Apalagi jika pemahaman atau sentimen agama itu terpakai sebagai alat
resistensi kepada kekuatan luar (Amerika dan Barat). Karenanya Amerika dan
dunia internasional harus jujur dengan nilai demokrasi yang dijunjungnya.
Berikan hak kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk bekerja dengan baik
dan maksimal. Siapa tahu di bawah pemerintahan Taliban Afghanistan akan lebih
baik dibanding pemerintahan boneka yang selama ini terbentuk. Pada akhirnya saya
berharap bahkan yakin bahwa negara Islam terbesar dunia Indonesia, diharapkan
memainkan perananan untuk menjembatani berbagai kesalah pahaman yang ada. Di
satu siai saya yakin Indonesia tidak punya banyak kepentingan di Afghanistan.
Di sisi lain Taliban melihat Indonesia sebagai negara netral secara politik.
Sekaligus sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Karenanya perananan
Indonesia akan banyak membantu menetralisir keadaan dan cara pandang dari
berbagai kutub yang bertolak belakang. Dari yang melihat Taliban sebagai
ancaman. Tapi sekaligus menetralisir cara pandang Taliban kepada mereka yang
berbeda paham. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar