Bahaya
Demokrasi Oligarki Teddy Triyadi Nugroho ; Sosiologi
UNJ, Junior Researcher LP3ES |
TEMPO.CO, 23
Agustus 2021
PADA usia ke
76 Tahun kemerdekaan Indonesia, nampaknya kita semua masih mempunyai banyak
pekerjaan rumah untuk memperbaiki kondisi sosial dan politik bangsa. Iklim
demokrasi yang mestinya subur dalam memberikan kebebasan rakyat/people
freedom dan memberbaiki kesejahteraan rakyat, saat ini terancam oligarki
politik. Para elite politik telah membajak demokrasi ke arah yang sangat
membahayakan masa depan bangsa. Situasi saat
ini benar-benar karut-marut. Kondisi ini terjadi dalam hal penanganan
korupsi, penanganan pandemi, politik dinasti, politik uang, kooptasi
kebebasan akademik, menyempitnya ruang publik dan kebebasan berbicara, serta
komunikasi krisis yang buruk di masa pandemi dan permasalahan lain yang
nampaknya masih sangat banyak jika dijelaskan. Wijayanto
Direktur Center for Media and Democracy, Lembaga Penelitian Pendidikan dan
Penerangan (LP3ES) mengatakan dalam tulisannya salah satu penyebab utama
kemunduran demokrasi di Indonesia adalah kekuatan oligarki yang cepat
terkonsolidasi setelah Reformasi 1998 terutama sejak 2019 di satu sisi dan di
sisi lain tergesa-gesanya masyarakat sipil untuk berkonsolidasi dan bersaing
dengan mereka . Wajah Oligarki Konsep
Oligarki dapat didefinisikan sebagai sistem hubungan kekuasaan yang
memungkinkan akumulasi kekayaan dan otoritas hanya di tangan segelintir elit
beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya. Sejumlah hal yang
perlu diperhatikan untuk melihat aspek kemunduran demokrasi dan semakin
berkurangnya kesejahteraan masyarakat adalah
bagaimana sebetulnya kondisi intitusi politik dan ekonomi di
Indonesia, karena pada dasarnya kedua institusi tersebut saling berkaitan. Acemoglu dan
Robinson dalam bukunya Why Nation Fail membagi institusi politik dan
institusi ekonomi ke dalam dua bentuk: (1) institusi politik dan ekonomi yang
inklusif dan (2) institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif. Mereka
berpendapat bahwa hanya dalam suatu sistem politik yang inklusif adalah
mungkin bagi negara-negara untuk mencapai suatu kemakmuran. Negara dengan
institusi-institusi politik dan ekonomi ekstraktif cenderung miskin, sedangkan
negara-negara dengan institusi politik dan ekonomi yang inklusif cenderung
kaya. Institusi
politik ekstraktif sendiri dapat diartikan bahwa kekayaan dalam hal ini
sumber daya di Indonesia akan diakumulasikan hanya untuk elit-elit
penguasa. Institusi politik yang
ekstraktif ditandai dengan terkonsentrasinya kekuasaan politik di tangan
segelintir orang tanpa adanya checks and balances, serta lemahnya rule of
law. Hal ini sebetulnya dapat kita lihat pada realitasnya di Indonesia yang
semakin berkurangnya keseimbangan dari pemerintahan yang menyebabkan lemahnya
pengawasan dan berpengaruh terhadap lemahnya ekonomi. Demokrasi Tanpa (Kepentingan) Rakyat Dalam
peluncuran buku “Demokrasi Tanpa Demos” yang di inisiasi oleh LP3ES
(19/08/2021), problem yang menggerogoti demokrasi di Indonesia saat ini tidak
hanya terkait dengan institusi politik dan elite saja, tetapi juga isu lain
termasuk lingkungan, budaya, media dan gender. Oleh karenanya penguatan
demokrasi menjadi isu yang mendesak untuk mencegah “demokrasi tanpa demos”
atau demokrasi yang meninggalkan kepentingan rakyatnya. Pada akhirnya
demokrasi hanya digunakan sebagai alat bagi sekelompok oligarki untuk
mendapatkan kekuasaan dan sumber daya. Demokrasi telah mengkhianati asal usul
makna yang tertanam: demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti
pemerintahan. Jeffrey
Winters ilmuwan politik Amerika Serikat di Universitas Northwestern
menjelaskan bahwa penggunaan kekuatan kekayaan oleh oligarki saat ini hanya
untuk mempertahankan kekuasaannya yang dipraktikkan bersamaan dengan politik
transaksional, (19/08/2021) dalam Webinar LP3ES. Politik transaksional memang
menjadi perbincangan yang tak kunjung usai dari waktu ke waktu, hal ini juga
yang menjadi ancaman ke depan bangsa terhadap demokrasi. Tak hanya itu,
persoalan kepemilikan tanah juga menjadi hal yang patut menjadi pembahasan,
karena semakin maraknya perampasan tanah khususnya di daerah pedesaan dan
masyarakat adat. Ward Berenschot dalam webinar LP3ES (19/08/2021), juga
menjelaskan bahwa terdapat persengkokolan yang buruk terhadap peraturan hukum
dan praktik kolusi, serta lemahnya perlindungan hukum terhadap warga. Hal
tersebut jelas menimbulkan perusahaan berhasil merampas tanah milik warga dan
menjadi warga nyaris tanpa hak/rightless. Membayangkan Demokrasi Tanpa Demos Masalah utama
demokrasi Indonesia yang utama adalah biaya politiknya yang sangat mahal.
Menyebabkan banyak orang yang berkompeten tidak dapat mengikuti pemilu, baik
di tingkat legislatif maupun eksekutif. Hal ini tentu menjadi permasalahan
bersama dari waktu ke waktu setiap kali pemilu dijalankan. Pada akhirnya
rakyat hanya dijadikan alat untuk mengejar kepentingan oligarki semata dengan
politik transaksional. Demokrasi
semestinya mampu menjadi sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi tanpa demos tentu merupakan
anomali, atau bahkan kontradiktif yang kita tahu bahwa seharusnya kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat bukan malah berbalik kepada para pejabat
ataupun oligarki politik. Rilis indeks
demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economic Intelligence Unit (EIU) tahun
2020 lalu, menyebut Indonesia mengalami kemerosotan indeks demokrasi dengan
memperoleh nilai 6,3 dan menempati peringkat 64 di dunia sehingga
dikategorikan sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Rilis indeks
tersebut juga memaparkan nilai dari instrumen kebebasan sipil. Dalam
instrumen tersebut, Indonesia memperoleh nilai 5,59. Untuk itu dapat
dibayangkan bahwa demokrasi di Indonesia akan terus mengalami kemunduran jika
tidak adanya peran actor civil society
sebagai penyeimbang negara dan pasar. Selain itu
penting untuk membangkitkan kembali Institusi politik yang inklusif sebagai
sebuah institusi yang tidak untuk menguntungkan segelintir elit yang berkuasa
namun sebuah institusi yang dimana masyarakat dapat berpartisipasi aktif
dalam proses politik dalam menuju kesejahteraan ekonomi maupun sosial.
Partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi merupakan hal utama untuk
tetap mengahdirkan rakyat / demos. Pendidikan politik sangat diperlukan dalam
meningkatkan sikap afeksi, kognitif dan partisipatoris masyarakat. Oleh Karena
itu, menurut Emil Salim dalam webinar LP3ES (19/07/2021), Pendidikan bukan
hanya meningkatkan sumber daya manusia, melainkan juga meningkatkan Indeks
Pembangunan Manusia yang berpengaruh pada kualitas demokrasi. Indeks
demokrasi Indonesia berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Karena itu,
jika demokrasi mau dikembangkan, syarat mutlaknya adalah kembangkan
pendidikan secara menyeluruh. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi kita
bersama, untuk tetap mencerdaskan rakyat dalam mengawal proses demokratisasi
di Indonesia. ● Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1497397/bahaya-demokrasi-oligarki/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar