Chaguan
Afghan Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 20
Agustus 2021
SEBENARNYA saya ingin
berhenti dulu menulis tentang Afghanistan. Tunggu perkembangan yang jelas
dulu. Tapi, kemarin, saya mendapat nomor kontak Agustinus Wibowo. Yang sudah
menjelajah Afghanistan sampai pojok-pojoknya. Yang sudah menulis buku
berjilid-jilid. Agustinus sampai pernah
bekerja di media milik perusahaan Afghanistan. Yakni sebagai wartawan foto.
Ia merasa jatuh cinta pada negeri itu. Dan selalu ingin balik ke sana. Agustinus ternyata
kelahiran Lumajang, Jatim. Sampai SMA pun masih di Lumajang –SMA Negeri di
sana. Nama Tionghoanya Weng Hongming (翁鸿鸣). Setelah tamat SMA itulah
Agustinus ke Beijing. Kuliah di universitas terbaik di sana: Tsinghua
University. ''MIT''-nya Tiongkok. Ambil jurusan komputer. Sampai lulus S-1. Ayahnyalah, seorang
pedagang telur di Lumajang, yang meminta Agustinus sekolah di Beijing.
Padahal waktu itu, ia sudah kuliah di ITS Surabaya. Baru semester pertama.
Jurusan informatika. Selama kuliah di Beijing
itu Hongming selalu ingin melakukan perjalanan. Dengan cara backpacker yang
sangat hemat. Terutama ketika masa kuliahnya lagi libur. Perjalanan pertama ia
lakukan ke Monggolia. Dari Beijing. Naik kereta rakyat. Liburan berikutnya ia
ingin sekali ke Afghanistan. Yang menantangnya ke Afghanistan justru karena
semua orang takut ke sana. Hongming juga naik kereta
api. Dari Beijing ke Kashgar –kota besar kedua di Provinsi Xinjiang. Di pojok
barat daya Tiongkok. Kashgar sudah lebih dekat ke perbatasan Uzbekistan atau
Pakistan. Dari Kashgar ini –saya
sendiri tidak pernah bisa melupakan enaknya kambing bakar di Kashgar dan
manisnya buah-buah di sana– Hongming naik bus ke perbatasan Pakistan. Lewat
pegunungan terjal di sepanjang perjalanan. Berhari-hari. Itu tahun 2003. Memang sejak dulu sudah
ada bus umum jurusan Pakistan–Tiongkok. Lewat puncak Khyber. Hubungan kedua
negara sangat mesra. Sejak dulu. Tiba di Pakistan, Hongming
langsung mengarah ke kota Peshawar. Ganti-ganti bus. Di situlah ia mendatangi
konsulat Afghanistan. Minta visa turis. Berhasil. Meski hanya boleh dua
minggu. Dari Peshawar-lah
Agustinus memasuki Afghanistan. Langsung menuju Kandahar ''ibu kota''
Taliban. Lalu ke Kabul. Hongming merasakan negeri
itu seperti penuh misteri. Masih asli. Seperti belum pernah tersentuh
peradaban baru. Visa habis, Agustinus pun
kembali ke Beijing. Menyelesaikan kuliahnya. Begitu lulus ia langsung
berangkat ke Afghanistan lagi. Kali ini ia lewat rute yang lebih rumit lagi:
Beijing–Tibet–Nepal–India–Pakistan–Afghanistan. Itu tahun 2006. Ketika
India-Pakistan belum tegang lagi. Berarti Hongming menyeberangi perbatasan
India-Pakistan di Wagah. Yang setiap sore dilakukan upacara militer yang lucu
sekali itu. Yang saya juga tertawa-tawa menyaksikannya. Kali ini Agustinus
berbulan-bulan di Afghanistan. Dengan sangu hanya 300 dolar. Ia menyelami
budaya lokal Afghanistan yang mengesankan. Terutama budaya kedai tehnya. Boleh dikata kedai teh
adalah pusat kebudayaan di sana. Agustinus sendiri menikmati budaya kedai teh
itu. Di situ rakyat ngobrol tentang apa saja. Termasuk politik. "Apakah kira-kira
sama dengan kultur chaguan di Tiongkok lama?" tanya saya. "Ya seperti itu. Tapi
kedai teh di Afghanistan lebih seru. Siapa pun boleh sampai tertidur di
situ," ujar Hongming. "Anda juga sampai
tertidur?" tanya saya. "Justru saya selalu
tidur di kedai teh seperti itu. Tidak pernah tidur di hotel," jawabnya. Agustinus pun memutuskan
belajar bahasa Parsi di Afghanistan. Mengapa bukan bahasa Pastun?
"Karena bahasa Parsi dipakai lebih luas di kawasan itu. Termasuk di
negara sekitar Afghanistan," katanya. Di kedai-kedai teh itu pun
Agustinus pakai bahasa Parsi. Ternyata umumnya mereka bisa bahasa Parsi. Dan
memang Afghanistan adalah wilayah pusat kekaisaran Parsi di masa lalu. Dari pergaulan sampai di
tingkat akar rumput itulah Agustinus tahu betapa sulit hubungan antar suku di
sana. Orang Pastun benci orang suku Tajiks. Juga sebaliknya. Demikian juga
orang Pastun benci orang Hazaras. Dan sebaliknya. "Mana yang kurang
akurnya lebih berat, Pastun-Tajiks atau Pastun-Hazaras?" tanya saya. "Pastun-Hazaras,"
jawabnya. Secara fisik orang Pastun
dan Tajiks masih mirip: sama-sama tinggi-besar. Orang Hazaras lebih kecil dan
pendek. Seperti saya. "Seperti saya
juga," ujar Hongming. "Saya sering dikira orang Hazaras,"
tambahnya. Tentu Agustinus lebih aman
di sana, dibanding orang Hazaras yang Syiah. Agustinus memang bukan Islam
tapi juga bukan Kristen, bukan Buddha, bukan Hindu, dan bukan pula Konghucu.
"Saya orang bebas," katanya. Agustinus sulit percaya
Taliban 2.0 akan sebaik yang diucapkan pemimpin mereka seusai menguasai ibu
kota Kabul hari Minggu lalu. "Taliban berubah? Terhadap wanita? Belum
ada bukti sama sekali," katanya. "Hubungan antar suku di sana
benar-benar sulit," tambahnya. Bagaimana dengan bentuk
negara Emirat? “Emirat itu mungkin hanya
istilah. Bukan berarti gabungan emir-emir. Tidak ada emir-emir lokal di
Afghanistan," katanya. "Bukankah ada
pemimpin-pemimpin lokal yang sangat ditakuti di setiap gunung di sana?" "Memang begitu. Tapi
mereka bukan emir. Berbeda dengan di Emirat Arab," katanya. Bentuk negara Emirat itu,
kata Hongming, mungkin hanya karena
kepala negaranya akan disebut Emir, Amiril Mukminin –pemimpin kaum beriman. Memang di masa Taliban 1.0
bentuk negara Afghanistan sudah disebut Emirat. Tapi, waktu itu, jelas bukan
sebagai koordinator para emir di daerah. Itu mirip disebut kerajaan karena
ada raja. Maka disebut Emirat karena pemimpin negaranya disebut Emir (Amiril
Mukminin). Agustinus masih ke
Afghanistan lagi setelah itu. Lama lagi tinggal di sana. Untuk kali yang
ketiga. Sampai tahun 2009. Setelah itu Afghanistan
sudah tidak aman lagi. Agustinus pindah jelajah ke negara-negara lain.
Termasuk ke Suriname. Terakhir ini Agustinus ke
Papua Nugini. Tulisannya lagi dimuat secara serial di Harian Kompas.
Tercapailah cita-cita Agustinus menjadi wartawan. Ia akan terus menjelajah
dunia. Ia lupakan ijazah komputernya dari salah satu universitas terbaik
tingkat dunia. Ia lupakan bisnis ayahnya –diteruskan oleh sang adik
satu-satunya. Kini Agustinus benar-benar
jadi penulis. Hidup dari menulis. Bahagia dari menulis. Ia begitu asyik menulis.
Berjilid-jilid buku sudah ia terbitkan. Sampai pun, di umurnya yang 40 tahun
ini, ia tidak punya waktu untuk cari pasangan hidup. Afghanistan, kelihatannya,
adalah cinta sejatinya. (Dahlan Iskan) ● |
Sumber : https://www.disway.id/r/1562/chaguan-afghan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar