Jumat, 06 Agustus 2021

 

Iran, Nuklir dan Raisi

Dian Wirengjurit ;  Diplomat Utama, Duta LBBP RI untuk Iran dan Turkmenistan (2012-2016)

KOMPAS, 5 Agustus 2021

 

 

                                                           

Setiap kali berlangsung pemilu di Iran, utamanya sejak masalah program nuklir Iran mencuat pada 2002, masyarakat dunia menyambutnya dengan “harap-harap cemas”, termasuk ketika Ebrahim Raisi terpilih menjadi presiden ketigabelas sejak Revolusi 1979. Pemilu Iran senantiasa dinilai media barat penuh kontroversi.

 

Kali ini tingkat pemilih (turn out) sekitar 49%, dianggap terendah sejak republik Islam itu berdiri. Padahal, hal serupa terjadi pula dalam pemilu presiden AS pada 1996 antara Bill Clinton vs Bob Dole yang tingkat pemilihnya 49%; atau pada 2016 antara Donald Trump vs Hillary Clinton yang 55%, dengan keunggulan popular vote 62 juta berbanding 65 juta pemilih, tetapi Hillary Clinton dinyatakan kalah.

 

Ketika Mahmoud Ahmadinejad, yang ber“garis keras” terpilih pada 2005, dunia “geger” karena “akan menghapuskan Israel dari peta” (wipe Israel off the map), meskipun hanya diucapkan sekali pada Oktober 2005 dalam konteks berbeda. Nyatanya, hingga Ahmadinejad lengser pada 2013, Israel masih tegak berdiri dan justru melanjutkan program “wipe ‘Palestine’ off the map”, melalui program perluasan pemukimannya di Tepi Barat dan Gaza.

 

Ketika Hassan Rouhani, yang moderat, menjadi presiden pada 2013, banyak yang meragukan apakah dirinya sanggup menghadapi Dewan Keamanan nasional Tertinggi yang lebih berkuasa. Padahal, dibawah Rouhani (dan bersama Presiden Obama), masalah program nuklir Iran dapat diselesaikan dengan tercapainya kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2015; sebelum akhirnya diporakporandakan Presiden Donald Trump dengan menarik diri pada 2018 sebagai bagian “maximum pressure”nya.

 

Nasib JCPOA

 

Trita Parsi, mantan penasehat Presiden Obama, dalam buku Losing an Enemy: Obama, Iran and the Triumph of Diplomacy (2017), mengatakan JCPOA telah menyelesaikan dua masalah dalam sekali “jalan” yaitu menghindari perang dengan Iran dan mencegah Iran memiliki bom nuklir. Menurut Parsi pula, jika dibandingkan, kemenangan ini sama pentingnya dengan keberhasilan Presiden Nixon mencairkan (rapproachment) hubungannya dengan Cina pada 1972.

 

Kini masyarakat dunia harap-harap cemas terhadap Presiden Raisi, yang digambarkan sebagai ultra-konservatif, mengenai nasib JCPOA pasca-Trump, yang akan mulai bertugas pada Agustus ini. Selama dua dasawarsa program nuklir Iran dicurigai memiliki tujuan militer untuk membuat senjata nuklir dan dianggap telah mengancam keamanan dan stabilitas di Timur Tengah dan juga dunia. Keluarnya AS dari perjanjian ini jelas membawa penyelesaian masalah ini ke titik awal (square one).

 

Maximum pressure model Trump (sanksi ketat dan ancaman aksi militer) tentunya tidak bisa lagi diterapkan terhadap Presiden Raisi. Banyak negara dan kalangan (termasuk di AS dan Israel) yang menyatakan bahwa ancaman semacam itu justru akan menyulut perang dan tidak akan membuat Iran meninggalkan program nuklirnya.

 

Padahal, harus diakui, dalam JCPOA yang disepakati kelompok P5+1 (AS, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina, plus Jerman/UE) dan Iran pada 14 Juli 2015, serta dikuatkan secara aklamasi melalui resolusi DK-PBB no.2231 (2015), Iran telah mengakomodasi hampir semua concern masyarakat internasional.

 

Obyektivitas IAEA

 

Sejauh ini, IAEA yang memegang otoritas pengawasan nuklir dunia, telah menerapkan rezim non-proliferasi yang paling intrusif terhadap Iran, yang merupakan negara pihak (state party) Non-Proliferation Treaty (NPT) 1970, dan belum pernah (unprecedented) dilakukan terhadap negara manapun.

 

Sejumlah fasilitas nuklir utama Iran -di antaranya Arak, Natanz dan Fordow-, sudah berkali-kali diinspeksi oleh IAEA, atas desakan negara AS khususnya. Hanya saja IAEA juga menuntut inspeksi terhadap fasilitas dan pangkalan militer yang dicurigai memiliki keterkaitan dengan aspek militer program nuklir (Possible Military Dimensions/PMD) dan program rudalnya (missile).

 

Isu PMD dan rudal ini menarik karena: pertama, kedua isu ini berada di luar cakupan JCPOA. Kedua, mengenai PMD, sebenarnya sudah diselesaikan dengan dikeluarkannya laporan IAEA (3 Desember 2015) yang berjudul “Final Assessment on Past and Present Outstanding Issues regarding Iran’s Nuclear Programme”, yang merupakan penilaian akhir terhadap PMD dalam program nuklir Iran.

 

Ketiga, mengenai program rudal, Iran diminta mematuhi rezim pengawasan teknologi rudal (Missile Technology Control Regime/MTCR, 1987), yang beranggotakan 35 negara industri maju; padahal rezim pengawasan ini tidak melarang negara manapun mengembangkan rudal sendiri (indigenous development).

 

Masalah lain, dalam implementasi JCPOA, IAEA yang seharusnya mewakili kepentingan 173 negara anggotanya, selama kepemimpinan Dirjen Yukiya Amano (2009-2019), justru dinilai tidak obyektif. Dokumen Wikileaks pada 16 Oktober 2009 menunjukkan kedekatan Dirjen IAEA dengan AS karena telah “berhutang”, karenanya “…the US can do anything”. Di lain pihak, AS juga sangat antusias dengan Dirjen IAEA yang baru terpilih (saat itu) dengan menyatakannya sebagai “DG of all states, but in agreement with us”.

 

Menghidupkan kembali JCPOA

 

Terpilihnya Joe Biden sebagai presiden AS, bagi para petinggi di Teheran diharapkan dapat membuka peluang mengubah kebijakan Washington terhadap Iran (Dian Wirengjurit, “Detrumpifikasi dan Solusi Dua Negara”, Kompas, 22 Mei 2021) dan kembali pada komitmen internasionalnya. Selain itu, menjelang akhir masa jabatannya Presiden Rouhani dan P5+1 juga gigih memperjuangkan agar JCPOA dapat dihidupkan kembali. Makanya sejak April 2021 delegasi dari P5+1 (minus AS yang bukan lagi peserta JCPOA) dan Iran sudah bertemu di Wina, Austria, untuk menghidupkan kembali JCPOA.

 

Di lain pihak, para pemimpin Iran juga dibayangi pesimisme. Dalam konteks program nuklir Iran, detrumpifikasi dalam hal JCPOA (dan juga status Jerusalem) tidak akan dilaksanakan presiden Biden dan justru akan mempertahankan kebijakan Trump, sesuai janji kampanyenya. Maksudnya, JCPOA harus dirombak total, sehingga tidak mengherankan, bahwa pertemuan Wina terakhir (keenam) di Wina pada 22 Juni 2021 berakhir tanpa kemajuan apapun.

 

Leslie H. Gelb, President Emeritus Council on Foreign Relations menyatakan, sulit dipercaya apabila Iran akan “tiarap” (prostrate) dalam menghadapi ancaman AS dan Israel. Ancaman aksi militer dinilai hanya akan menyulut perang dan tidak akan membuat Iran meninggalkan program nuklirnya. Secara sinis Gelb mempertanyakan: “Did Saddam Hussein kneel before George W. Bush’s threats? Did the Taliban handcuff itself when faced with America’s military might? Has Kim Jong-un bowed before his Western master? Tidak satupun yang tunduk pada pada negara adidaya seperti AS sekalipun. (The Daily Beast, Updated, July 13, 2017)

 

Yang lebih mengkhawatirkan, Washington kini skeptis dengan terpilihnya Raisi, yang berhaluan keras dan pada 2019 dimasukkan ke dalam daftar hitam (blacklist) oleh Presiden Trump, karena alasan pelanggaran HAM, akan mengubah prospek untuk menghidupkan kembali kesepakatan dengan Teheran. Padahal Presiden Raisi (60), yang mengaku independen dan dibesarkan pada masa pahit rezim sanksi dan ancaman militer, berjanji akan memerangi kemiskinan, korupsi, penghinaan (humiliation) dan diskriminasi, dan merundingkan kembali JCPOA sesuai “lampu hijau” dari Ayatollah Khamenei.

 

Sepanjang empat dasawarsa ini, harus diakui bahwa program senjata nuklir Iran yang dicurigai tidak pernah terbukti karena tidak pernah ada uji coba yang dilakukan. Sepanjang masa itu pula rakyat Iran dipaksa hidup dalam kesulitan dan ancaman perang AS dan Israel.

 

Mumpung Presiden Biden dan Raisi sama-sama pada awal kepemimpinannya, mungkin ada baiknya mendasari upaya penyelesaian masalah ini dengan membuktikan kebenaran kata-kata satiris politik Jerman, Ludwig Borne (1786-1837): “Goodwill is the one and only asset that competition cannot undersell or destroy”. Sekaligus membuktikan bahwa detrumpifikasi masih terus dijalankan dan julukan ultra konservatif juga tidak benar. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar