Pertumbuhan
Ekonomi: Prediksi Pejabat vs Dukun Gelatik Erros Djarot ; Budayawan |
WATYUTINK, 27
Agustus 2021
Badan
Pusat Statistik (BPS), secara meyakinkan telah melaporkan bahwa Pertumbuhan
ekonomi Indonesia, di kuartal II-2021, telah berhasil melejit hingga menembus
angka lebih dari 7% (7,07%). Menteri keuangan dunia terbaik versi lembaga
penilai Internasional, Sri Mulyani, yang kebetulan adalah Menkeu kebanggaan
Pemerintahan Jokowi, secara meyakinkan turut pula memperkuat kebenaran atas
angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat fantastis ini. Bahkan
Presiden Jokowi pun, walau bukan seorang ekonom, menjadi begitu sangat fasih
menjelaskan kepada rakyat bahwa angka pertumbuhan ekonomi 7,07%, bukanlah
suatu rekayasa atau khayalan, tapi sudah menjadi kenyataan. Presiden secara
meyakinkan menyampaikan hal ini kepada seluruh rakyat Indonesia. Nah,
dengan pemahaman bahwa angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi
dari Vietnam (the rising star country in Asia), juga Korea selatan (5,9%),
rakyat awam pun kontan berkomentar; kita pasti bakal lebih hebat dan makmur
dari Vietnam dan Korea Selatan! Apalagi berita segar ini datang ketika
suasana batin rakyat tengah begitu haus merindukan terjadinya kebangkitan
ekonomi yang dapat mengangkat kualitas hidup mereka yang sekarang ini
terpuruk, menjadi lebih baik. Akan menjadi bumerang bagi pemerintah ketika
dalam realita hidup kesehariannya rakyat berada dalam kondisi yang sangat
jauh dari harapan. Kekhawatiran
saya muncul ketika suara sumbang yang menganggap bahwa angka pertumbuhan
ekonomi 7,07% hanyalah sebuah ilusi, dilontarkan oleh sejumlah pengamat
maupun para aktivis yang dekat dengan rakyat. Sejumlah pendapat menyatakan
bahwa angka 7,07% sengaja digelontorkan pemerintah, di masa pandemik yang
telah menyengsarakan rakyat kebanyakan ini, agar rakyat tergiring untuk
meyakini masih adanya harapan bahwa secara ekonomi kehidupan ke depan akan
lebih baik. Situasi
pro kontra pun terjadi dan terasa kian meruncing. Tarik menarik pendapat para
pengamat sosial ekonomi yang saling berseberangan secara tajam ini, telah
menyeret pikiran saya sebagai awam ekonomi ke sebuah peristiwa masa lalu yang
serupa walau tak sepenuhnya sama. Persisnya di saat-saat Indonesia berada
dalam situasi menjelang kejatuhan rezim Orde Baru. Masih
hangat dalam ingatan saya bagaimana saat itu para ekonom pro pemerintah Orde
Baru sibuk menangkis serangan para ekonom di barisan oposisi yang menganggap
ekonomi Indonesia tengah berada dalam kondisi lampu kuning. Bahkan sejumlah
ekonom oposan secara ekstrim menegaskan bahwa telah terjadi salah kelola yang
mendasar yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Setidaknya seorang ekonom pro
rakyat, Doktor Sritua Arif, secara sangat aktif mengontak dan meyakinkan saya
sebagai pemimpin redaksi tabloid DeTik bahwa perekonomian nasional menuju
jurang kehancuran karena berjalan jauh dari relnya amanat UUD’45. Menangkis
serangan aktif yang dilakukan Sritua Arif ini, para ekonom pemerintah Orde
Baru pun menggunakan mulut Harmoko sebagai Menteri Penerangan dan Pak Harto
yang setiap ucapannya merupakan ‘sabdo pandito ratu’ bagi rakyat kebanyakan
saat itu. Ucapan penangkal serangan para oposan yang sangat efektif
dilontarkan oleh Pak Harto saat itu adalah rangkaian tiga kalimat
sakti…."Perekonomian kita berada di jalan yang benar; Fundamental
ekonomi kita sangat kuat; Segalanya aman terkendali..!’’ Tentunya
tiga kalimat sakti dari Pak Harto ini langsung dicarikan legitimasi
akademisnya oleh sejumlah besar ekonom dan para guru besar pro Orde Baru.
Intensitas para pakar ekonomi pro Orde Baru yang penyebaran suaranya didukung
oleh media yang saat itu hampir semuanya berada dalam kontrol penguasa,
dengan sendirinya menjelma menjadi pemahaman yang diterima umum sebagai
kebenaran. Sementara saya yang sudah sangat merasa lebih dekat dengan amatan
seorang Sritua Arif dan Kwik Kian Gie cs, menjadi gamang dan memutuskan untuk
berakhir pekan sebentar mengistirahatkan kerja otak dengan mengunjungi Kota
Gudeg untuk rileks mengendorkan ketegangan. Saat
tengah bersantai bersama sejumlah kawan di kawasan Malioboro, saya tertarik
oleh kerumunan orang yang tengah menyaksikan sesuatu. Ternyata mereka tengah
menyaksikan aksi seorang dukun ramal yang menggunakan seekor burung gelatik
sebagai medium. Tugas sang burung atas perintah dukun peramal mengambil satu
lipatan dari sekian jumlah lipatan kertas yang tersusun rapih dalam sebuah
kotak kecil. Ketika sebuah lipatan dipilih, dijepit dalam gigitan patuknya,
kertas lipatan yang menyerupai amplop kecil itu pun diberikan gelatik kepada
sang dukun. Sang dukun pun mulai membacakan tulisan yang terdapat dalam
kertas kepada seseorang yang ingin mengetahui apa ramalan sang dukun terhadap
masalah yang dihadapinya. Saya
yang menjadi penasaran ingin tahu bagaimana sang dukun melakukan praktiknya,
sengaja memilih tempat lesehan tak jauh dari tempat sang dukun gelatik
melakukan aksinya. Jelang tengah malam saat sang dukun baru berkemas untuk
mengahiri prakteknya, saya pun segera menghampirinya. Kepadanya dengan jahil
saya sengaja ajukan pertanyaan konyol; bagaimana kondisi ekonomi Indonesia ke
depan? Sang
dukun pun tidak langsung menjawab,
tapi malah bertanya kepada saya apakah saya intel atau orang pemerintah.
Ketika saya yakinkan dia bahwa saya hanya seorang pedagang-pengusaha, barulah
ia memulai aksinya. Burung
gelatik pun disuruhnya untuk mengambil salah satu lipatan kertas, dan ‘cluk’
satu kertas di patuk dan langsung diberikan kepada sang dukun. Dengan penuh
penasaran saya menunggu ramalan apa yang akan dibacakan. Setelah menarik
napas panjang sambil geleng-geleng kepala ia meminta saya mendekat agar dapat
membisikkan sesuatu ke telinga saya. Sesaat kemudian ramalan pun meluncur
dari mulutnya…"Mas, sampeyan harus hati-hati…usaha sampeyan bakal
mengalami bangkrut. Bukan hanya sampeyan yang mengalami kebangkrutan, banyak
yang lain. Pokoknya untuk usaha, tahun ini (1998 awal) nggak baik…bakal
kacau..!” Ajaibnya,
beberapa bulan kemudian, krisis moneter pun terjadi. Bangunan perekonomian
nasional yang konon digembar gemborkan fundamental ekonominya sangat kuat,
luluh lantak seketika dihantam badai krisis moneter yang melanda Asia.
Kemenangan pertarungan antara ramalan dukun gelatik versus prediksi para
pejabat dan ekonom Orde Baru pun, berakhir dengan kemenangan sang dukun juru
ramal burung gelatik Malioboro Yogyakarta. Sungguh tragis dan menyedihkan. Atas
kejadian ini, saya sengaja menyempatkan diri bertandang ke rumah begawan
ekonomi Indonesia, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang saya panggil dengan
sapaan ‘Om Cum’. Kepada beliau saya ceritakan sebuah keajaiban betapa seorang
dukun gelatik prediksinya lebih akurat dibanding seombyokan profesor dan
doktor pendukung rezim Orde Baru. Om Cum pun yang sejak tahun 78 tidak lagi
menjabat sebagai menteri dalam pemerintahan sang besan (Pak Harto) dengan
senyum khasnya nyeletuk singkat…"yah terbukti gelatik lebih pinter dan
lebih paham kondisi sosial-ekonomi bangsanya yaaa…!” Celetukan
sang begawan ini, belakangan terngiang kembali ke telinga saya saat pro dan
kontra pertumbuhan ekonomi 7.07% semakin marak menyembul ke permukaan
kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini. Pertanyaannya; akankah
peristiwa sejarah Malioboro dengan sang dukun gelatiknya bakal terulang?
Untuk pertanyaan ini jawaban pastinya sudah ada. Di sepanjang jalan Malioboro
hingga ujung pasar Beringharjo, sudah tidak ada lagi praktk sang dukun
gelatik. Jadi,
Jeng Sri Mulyani dan Pak Jokowi bisa sedikit tenanglah. Tentunya akan lebih
tenang bila pertumbuhan ekonomi 7,07% tercermin secara nyata dalam kehidupan
sehari-hari rakyat kebanyakan. Bukan hanya tercermin dalam kehidupan para
elite negara, para pemilik modal, dan para pejabat korup belaka! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar