Mural
Politik dan Perebutan Ruang Publik Yusa’ Farchan ; Direktur Eksekutif Citra Institute; Kaprodi
Ilmu Pemerintahan Universitas Sutomo |
JAWA POS, 29
Agustus 2021
KRITIK sosial bergenre
seni mural belakangan ini muncul kembali secara ekspresif di berbagai ruang
publik. Tak hanya di ruang fisik kota, visualisasi mural politik juga
merambah di berbagai ruang publik virtual. Mural politik
muncul tenggelam seiring dengan respons negara dalam menyikapinya. Yang
paling fenomenal adalah munculnya mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo
bertuliskan “404 Not Found”. Mural dengan visualisasi wajah mirip Presiden
Jokowi yang terletak di daerah Batu Ceper, Kota Tangerang akhirnya dihapus oleh
petugas kepolisian pada Kamis (12/8/2021). Sembilan tahun
lalu (2012), mural politik bergambar Wapres Boediono dengan teks “Antara Ada
dan Tiada” pernah muncul di Jogjakarta. Mural politik karya seniman asal
Jogjakarta, Andrew Lumban Gaol tersebut akhirnya lenyap beberapa waktu
kemudian dari seluruh jalanan di Kota Jogjakarta. Periode
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak absen dari mural politik.
Saat terjadi unjuk rasa 100 hari pemerintahan SBY, 28 Januari 2010, muncul
mural politik dengan konten kritik terhadap kinerja pemerintah. Dalam aksi
tersebut, para pendemo membawa kerbau berkulit hitam dengan ditulisi “Si
BuYa”. Bagian bokongnya ditempeli gambar pria berpeci dengan tulisan bernada
seruan “Turun!”. Sebagai produk
budaya massa, seni mural kerap melekat dan menjadi ciri penting komunitas
masyarakat urban untuk menyampaikan aspirasinya. Secara historis, dalam
perkembangan seni mural di Indonesia, kita memang berhutang pada warisan
kolonial. Pada fase pendudukan Jepang 1942-1945, relasi seni, seniman, dan
Jepang menjadi saling membutuhkan. Di satu sisi,
Jepang menggunakan seni sebagai alat propaganda, sementara di sisi lain, para
seniman memperoleh pendidikan, dukungan material, dan kesadaran akan kekuatan
dan pengaruh seni dalam dunia politik. Inilah yang kemudian digunakan Lekra
pada fase 20 tahun berikutnya. Dari tangan
Jepang, pelukis Indonesia banyak mendapatkan material seni dan mempelajari
banyak teknik baru. Dari karikaturis Jepang Saseo Ono misalnya, beberapa
seniman Indonesia mulai mengenal mural dan belajar membuat sketsa cepat di
luar ruangan. Berbeda dengan
pada saat periode kolonialisme Belanda di mana akses untuk mendapatkan
pendidikan dan material lukis sangat terbatas. Akses tersebut hanya bisa
dijangkau oleh para bangsawan dan orang Eropa. Tidak mengherankan ketika
Jepang memberikan semua kebutuhan untuk membuat karya secara gratis, jumlah
pelukis Indonesia meningkat tajam. Arena Perebutan Ruang Publik Hadirnya mural
politik di berbagai ruang publik dapat dibaca dalam beberapa hal sebagai
berikut. Pertama, mural politik adalah bagian dari representasi politik
massa. Ia hadir untuk mengisi ruang kosong partisipasi politik warga negara
yang selama ini absen atau tidak terakomodasi oleh saluran politik formal
seperti partai politik. Umumnya, mural
politik dibangun atas dasar kritik sosial. Street art tersebut hadir dengan
memanfaatkan ruang-ruang publik yang sangat terbatas seperti tembok-tembok
jalanan umum tanpa memerlukan biaya tinggi alias dengan peralatan seperlunya.
Bahkan, hanya dengan cat bekas hitam putih-pun, sebuah mural politik bisa
diproduksi. Hanya saja, kehadiran street art tersebut kerap dituding sebagai
vandalisme karena dianggap merusak dan mengancam ketertiban umum. Pasal karet
itulah yang menyebabkan mural politik seringkali hilang disapu aparat. Mural politik
tentu berbeda dengan baliho politik yang merepresentasikan kelas politik
elite karena didesain dan dibangun berdasarkan kekuatan kapital. Kelas elite
dalam konteks ini tidak hanya mencakup para elite parpol yang sedang bekerja
dan berburu tiket Capres, tetapi juga kelas elite pada unit kekuasaan yang
paling kecil di tingkat lokal, seperti calon-calon kepala desa yang sedang
berburu suara untuk memenangkan pemilihan. Artinya,
meskipun kelas elite tersebut berbeda tingkatannya, tetapi dalam memainkan
politik baliho, sama-sama memerlukan dukungan logistik yang besar. Hanya
kandidat yang memiliki dukungan logistik kuat yang bisa memainkan politik
baliho secara massif. Kedua,
menjamurnya mural politik sebenarnya adalah respon alamiah atas terjadinya
kooptasi ruang publik terutama yang dilakukan oleh negara dan pasar. Mural
politik versi rakyat hadir untuk menjawab massifnya parade baliho yang sedang
dimainkan para elite politik di berbagai ruang publik. Mural politik versi
citizen adalah oase atas kegersangan dan kekosongan makna baliho politik yang
sering menghadirkan “pepesan kosong” dan janji manis para politisi. Jika baliho
politik tampak menghadirkan kesan formal dengan narasi yang masih samar-samar
(karena dihadirkan bukan pada tahun politik); maka mural politik bersifat
lebih ekspresif. Dalam berbagai bentuknya, mural politik tidak hanya
menghadirkan kritik sosial dan politik, tetapi juga karya seni yang artistik. Ketiga,
munculnya mural politik juga dapat dibaca dalam konteks terjadinya perebutan
ruang publik. Secara teoritis, Habermas (1962) sebenarnya telah menyediakan
basis teoritik yang komprehensif terkait prasyarat ruang publik yang ideal. Perubahan
struktural ruang publik di zaman modern saat ini ditandai oleh bangkitnya
kapitalisme, industri kebudayaan dan kekuatan korporasi dalam arena ruang
publik. Ribuan baliho iklan yang menyerbu ruang publik secara tidak langsung
menggiring alam bawah sadar manusia untuk terus berperilaku konsumtif.
Jejaring kapitalisme dan pasar bebas dengan lihai memanfaatkan ruang publik
untuk tujuan komersial. Begitu juga
dengan baliho politik. Parade baliho politik tentu didesain dalam rangka
membidik ceruk pasar elektoral dengan menstimulus orang untuk menjadi pemilih
atau partisan. Dalam
perspektif teori Habermas, korporasi-korporasi besar dan pemerintah cenderung
mengambil alih ruang publik, sementara warga negara cukup senang menjadi
konsumen barang, jasa, atau administrasi politik. Dengan kata lain, warga
negara hanya diletakkan dalam konteks sebagai konsumen atau partisan. Kondisi
ini tentu mengebiri peran dan partisipasi politik warga negara di berbagai
ruang publik yang tersedia. Dalam
perkembangannya saat ini, ruang publik bergeser menjadi arena pertarungan
terbuka simbol-simbol dan identitas politik kelompok. Karena dukungan modal,
kelas politik elite tampak mendominasi ruang-ruang publik tersebut. Akibat
hegemoni kelas politik elite inilah, para kritikus sosial baik para seniman
ataupun elemen sipil lainnya, ramai-ramai membuat mural politik. Mural bertema
kritik sosial sebenarnya muncul secara alamiah ketika terjadi penyumbatan
terhadap ruang-ruang artikulasi kritik yang tersedia. Begitu juga dengan
respon atas mural tersebut. Bagaimana respon terbentuk bergantung pada
bagaimana kekuasaan itu dibentuk dan dijalankan. Berulangkali
Presiden Jokowi menyatakan agar masyarakat tidak ragu untuk menyampaikan
kritik, tetapi berulangkali pula kekuasaan secara reaktif menyikapi
kritik-kritik tersebut. Menghapus mural hanya akan memunculkan mural-mural
lainnya. Itulah hukum alam yang akan terjadi ketika wacana kritik tidak
dikelola dengan baik sebagai sumber energi positif dalam membangun tegaknya
pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan. Perlu dicatat
bahwa ruang publik yang otonom untuk civic-participation merupakan elemen
fundamental demokrasi. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika ruang publik
yang tersedia bersifat netral dan tidak diskriminatif dalam rangka membangun
partisipasi politik yang lebih luas. Ruang publik harus jauh dari monopoli
kekuatan politik dan modal. Monopoli ruang
publik yang dikendalikan oleh pasar dan elite cenderung mengebiri tujuan
demokrasi itu sendiri. Bagaimanapun, ruang publik yang dikendalikan oleh
pasar akan terjebak dalam logika pasar yang digerakkan oleh uang ketimbang
solidaritas. Dalam konteks ini, Habermas telah mengingatkan potensi
terjadinya refeodalisasi ruang publik yang akan mengancam otonomi ruang
publik. Problem
krusial yang saat ini kita hadapi adalah lemahnya mekanisme check and
balances di parlemen akibat koalisi gemuk pemerintahan hasil pemilu 2019.
Dengan performa eksekutif yang sangat kuat (strongly), nyaris tidak ada
hambatan apapun dalam mengeksekusi kebijakan-kebijakan penting negara karena
mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Sementara itu,
peran oposisi tampak lembek baik dalam memainkan fungsi-fungsi yang melekat
secara institusional maupun fungsinya sebagai representasi rakyat. Tak banyak
yang bisa diharapkan dari kekuatan partai politik oposisi saat ini dalam
memaksimalkan fungsi kontrol terhadap kekuasaan politik. Check and
balances sesungguhnya tidak hanya berlangsung di dalam sistem politik antar
eksekutif dan legislatif, tetapi juga antara sistem politik dan masyarakat
warga dalam bentuk public use of reason dalam ruang publik. Dalam perspektif
komunikasi, ruang publik tentu memiliki fungsi dalam komunikasi politik
masyarakat plural. Saat ini,
ruang publik tampak kehilangan ruh publiknya dan berubah menjadi area privat
yang dipublikkan. Harapan akan tumbuhnya partisipasi politik warga negara
yang lebih luas dipatahkan oleh kenyataan bahwa ruang publik telah dimonopoli
dan didesain untuk melayani kepentingan elite. ● Sumber : https://www.jawapos.com/opini/29/08/2021/mural-politik-dan-perebutan-ruang-publik/?page=all |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar