Publikasi
versus Inovasi Ahmad Najib Burhani ; Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) dan Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) |
KOMPAS, 27 Agustus 2021
Pada
12 Agustus 2021 Kompas membuat berita dengan judul “Riset Tak Hanya Berhenti
pada Publikasi”. Agenda-agenda riset diharapkan “relevan dengan kebutuhan
masyarakat dan pembangunan di semua sektor”. Judul
dan isi berita itu mengingatkan kepada instruksi Menteri Pendidikan Jepang
Hakubun Shimomura kepada 86 universitas negeri di sana pada Juni 2015. Dalam
instruksi tersebut ia meminta agar kampus-kampus itu mengambil
“langkah-langkah aktif untuk menghapus fakultas-fakultas (ilmu sosial dan
humaniora) atau mengubahnya untuk melayani area yang lebih memenuhi kebutuhan
masyarakat”. Riset
memang tak seharusnya berhenti pada publikasi. Saya setuju dengan kalimat
itu. Namun demikian, pernyataan itu bisa saja dengan mudah disalahpahami atau
bahkan dengan sengaja disalahartikan. Pernyataan
tersebut bisa menjadi kalimat yang beracun. Pernyataan tersebut, misalnya,
dipakai oleh mereka yang lemah dalam publikasi untuk menjadi dalih agar bisa
tidak melakukan publikasi sama sekali. Akibat paling ekstrem dari kalimat itu
bukan saja berhentinya upaya untuk menggenjot publikasi, tetapi juga tak ada
karya atau inovasi nyata yang berdampak pada masyarakat dan membantu ekonomi
nasional. Publikasi
adalah langkah untuk memperkenalkan riset dan inovasi ke masyarakat akademik
dunia agar di-review, diuji metode dan temuannya, dicek otentitasnya, dan
agar ada koreksi serta falsifikasi sehingga bisa dilakukan perbaikan. Dengan
cara itu maka keilmuan akan terus maju serta berkembang. Publikasi adalah
proses meruntutkan logika dan argumen sehingga ia bisa tertata secara rapih
dan dibaca dengan mudah oleh masyarakat. Ketika
tuntutan menulis di jurnal terindeks global, seperti Scopus dan Web of
Science (WoS), digalakkan di kampus-kampus dan lembaga penelitian, banyak
ilmuwan kita yang kemudian keluar dari tempurungnya dan melihat wacana
akademik di manca negara. Mereka lantas mulai mencoba dan berlomba untuk
masuk dalam komunitas akademik dunia dengan mempublikasikan karya-karya
mereka. Ketika
sebagian dari akademisi kita mulai bersemangat untuk bersaing dengan para
akademisi asing, tiba-tiba hendak dimatikan semangatnya dengan pernyataan
yang kurang apresiatif terhadap publikasi. Ini bisa menjadi seperti
menyebarkan energi negatif di ranah akademik. Memang
tentu saja harus diakui bahwa dorongan untuk melakukan publikasi
internasional itu, dalam beberapa kasus, tidak diikuti dengan langkah atau
upaya yang benar dengan melakukan publikasi di jurnal-jurnal yang bereputasi
baik. Sebagian terjebak pada predatory journals atau jurnal abal-abal, semata
demi memenuhi tuntutan kepangkatan atau kelulusan sekolah. Bahkan,
tak sedikit yang melakukan tricking dengan menggunakan “calo Scopus” atau
“peternak artikel ilmiah” untuk memenuhi tuntutan itu. Kelemahan-kelemahan
seperti itu mestinya tak lantas menjadi alasan untuk kemudian menghapuskan
atau mematikan gairah melakukan publikasi internasional dan bersaing dengan
sarjana-sarjana asing di kancah global. Bias ilmu eksakta Pernyataan
bahwa riset dan pendidikan tak boleh berhenti pada publikasi itu juga kadang
bias ilmu eksakta. Contoh-contoh yang digunakan seringkali lebih pada produk
inovasi ilmu eksakta, seperti produksi mesin. Ini
membawa kita kepada dua asumsi. Pertama, paradigma keilmuan kita memang tidak
seimbang dalam melihat ilmu eksakta dan non-eksakta. Kedua, inovasi itu
dianggap hanya terjadi di ilmu eksakta dan tidak terjadi pada ilmu sosial
humaniora (soshum). Dalam
pertemuan dengan birokrat di beberapa kementerian, seringkali ada tuntutan
agar kontribusi dari penelitian ilmu soshum itu seperti yang terjadi di ilmu
eksakta yang bisa menciptakan mesin, robot, dan obat. Dalam pembuatan mobil,
misalnya, maka tugas sebuah riset adalah menyediakan roda, riset yang lain
mempersiapkan pintu dan kaca, dan riset yang lain lagi khusus terkait mesin
dan interior, dan begitu seterusnya. Paradigma
yang sama kemudian di bawa ke ilmu soshum. Ketika disodorkan riset tentang
demokrasi, maka tuntutannya adalah bagaimana indeks demokrasi Indonesia bisa
membaik setiap tahun. Ketika disodorkan riset ekonomi terkait masyarakat
nelayan, maka tuntutannya adalah bagaimana pendapatan para nelayan itu terus
merangkak naik. Tentu
saja tuntutan seperti itu terlihat seperti absah belaka. Namun itu sebetulnya
hanya satu aspek saja dari riset tentang demokrasi dan ekonomi nelayan.
Banyak aspek lain yang bisa diteliti terkait demokrasi dan ekonomi. Perlu
ditekankan juga, banyak faktor yang bisa mempengaruhi fenomena sosial.
Demokrasi dan terorisme, misalnya, tidak bisa dilihat seperti ketika kita
beternak kambing. Ia juga berbeda dari mesin yang lebih predictable dan tidak
banyak berubah. Sehingga, seperti dalam kasus terorisme, meski persoalan
ekonomi masyarakat membaik, tak serta merta terorisme hilang. Sebagaimana
terjadi di Eropa dan beberapa kasus bom bunuh diri di Indonesia, para pelaku
bukanlah orang miskin. Ada faktor lain yang menyebabkan terorisme, seperti
perilaku polisi dan pejabat pemerintah yang membuat mereka marah dan kemudian
memilih jalan terorisme. Demikian
juga dengan proses demokrasi di Indonesia. Ia bisa banyak dipengaruhi oleh
oligarki dan populisme. Jika paradigma yang dipakai dalam melihat fenomena
sosial kemanusiaan itu sama dengan kacamata dalam melihat mesin, maka kita
akan kehilangan dimensi manusia itu sendiri. Terkait
inovasi, dari berbagai contoh, jarang sekali inovasi sosial ditampilkan.
Grameen Bank di Bangladesh yang dirancang oleh Muhammad Yunus adalah contoh
inovasi ilmu sosial. Inovasi ini mendapat berbagai pengakuan, termasuk hadiah
Nobel. Road Map
(peta jalan) pembangunan Papua yang disusun oleh Muridan dan timnya di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah contoh inovasi ilmu sosial
lain. Berbagai survei dan pembuatan indeks adalah model lain dari inovasi
sosial. Penciptaan lagu, musik, karya seni, dan busana adalah bentuk-bentuk
inovasi yang terkait ilmu humaniora. Hal-hal seperti ini yang jarang
ditampilkan ketika berbicara tentang inovasi. Dimensi manusia Pada
peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) 10 Agustus 2021,
Badan Riset dan Inovasi (BRIN) meluncurkan logo baru yang didominasi warna
merah, berbeda dari sebelumnya yang didominasi warna biru. Logo terdiri dari
lima bentuk yang mewakili elemen manusia, angkasa dan ilmu pengetahuan, Tanah
Air atau biodiversitas, flora, dan fauna. Simbol
manusia dari logo itu menunjukkan bahwa manusia dan kemanusiaan merupakan
salah satu pilar dari keberadaan lembaga riset nasional ini. Elemen manusia
barangkali yang menjadi rumah bagi ilmu sosial dan humaniora. Hal yang perlu
dijadikan catatan di sini, jangan sampai kemanusiaan ini lantas hanya menjadi
pajangan semata yang dilupakan dalam implementasi. Seperti
Jepang, baru-baru ini University of Western Australia (UWA) juga berencana
menghapus ilmu soshum. Inisiatif penghapusan itu sepertinya tak melihat dengan
baik fungsi atau kontribusi ilmu itu dalam pembangunan dan kemanusiaan.
Padahal, pembangunan dan sains itu bukan hanya terkait mesin, tapi lebih
merupakan sebuah kultur. Seperti
dikatakan Fang Lizhi sebelum ia lari dari Beijing tahun 1989, sains itu bukan
hanya bagaimana mencipta atau memperbaiki lampu, tetapi ada “system of
thought (sistem pemikiran) yang berdiri di belakangnya”. Itulah yang disebut
dengan kultur inovasi. Kultur atau tradisi ilmiah seperti itulah yang
kemudian membuat Eropa dan Amerika maju. Penciptaan
tradisi ilmiah di masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pengembangan
ilmu soshum. Ia mengajak manusia untuk berpikir kritis, kreatif, empatik,
selalu mengembangkan rasa ingin tahu, fleksibel, dan bisa beradaptasi. Fungsi
lainnya dari ilmu soshum adalah memberikan etika dan rambu-rambu dalam
penelitian. Sehingga kejadian seperti di zaman Nazi dulu tidak terulang
kembali. Ketika itu ilmu pengetahuan digunakan untuk membantu kehancuran
manusia. Caranya bukan dengan mengekang ilmuwan atau peneliti, melainkan
memberikan kebebasan tanpa batas bagi ilmuwan untuk para ilmuwan dalam
melakukan eksperimen, termasuk membunuh atau menjadi manusia hidup sebagai
obyek ekperimentasi ilmiah (Heim, Sachse, & Walker 2009, 10). Tidak ada
etika dan empati. Terakhir,
perlu keseimbangan ketika melihat ilmu eksakta dan non-eksakta, terutama
dalam arsitektur ilmu pengetahuan nasional dan dalam pengembangan BRIN.
Selain perlunya keseimbangan, publikasi dan inovasi perlu dilihat sebagai dua
sisi mata uang, bukan sebagai dua hal yang saling berhadapan. Karenanya,
akademisi dan peneliti bukan dituntut untuk memilih salah satunya, tetapi
perlu melihatnya sebagai dua hal yang saling melengkapi. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/27/publikasi-versus-inovasi/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar