Baliho
Politisi dan Politik "Spectacle" Anwar Kurniawan ; Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya &
Media UGM |
DETIKNEWS, 20
Agustus 2021
Sudahkah Anda
melihat baliho bertajuk "Kepak Sayap Kebhinekaan"? Saya sudah. Lho, bukannya
ini masih masa PPKM? Orang diimbau agar di rumah saja untuk mengurangi
tingkat keterpaparan virus corona. Persis. Di
situlah letak paradoksnya. Mbak Puan, atau partainya, atau kader partainya,
atau simpatisannya, senyatanya tetap memasang billboard di pinggir jalan
besar atau perempatan kota-kota sibuk. Padahal, sejauh yang saya tahu,
sejumlah ruas jalan di Yogyakarta ditutup aksesnya. Kepentingan
saya keluar rumah pekan lalu adalah membagikan bansos. Dan, ya, di bilangan
Jalan Kaliurang serta di salah satu perempatan jalan lingkar luar ring-road
Jogja itulah baliho Puan Maharani terpampang. Baliho adalah
satu hal, sedangkan bansos adalah hal lain. Yang satu boleh jadi menolong
citra atau elektabilitas sebuah komoditas (baca: politisi), sedangkan yang
kedua jelas mendongkrak kebutuhan masyarakat terdampak pandemi Covid-19.
Meski begitu, baik baliho maupun bansos, keduanya sama-sama melibatkan uang
yang tidak sedikit. Memang, Mbak
Puan tidak membuat baliho satu jenis. Ada baliho lain yang bertuliskan
"Jaga Iman dan Imun, InsyaAllah Aman Amin." Oleh partai, baliho ini
dianggap sebagai sosialisasi penanganan Covid-19. Sayangnya,
baliho tidak bisa dimakan atau diminum. Menonton baliho juga tidak lantas
membuat saturasi oksigen menjadi normal. Paling jauh, baliho hanya
meningkatkan daya konsumerisme masyarakat, jika itu adalah baliho sebuah
produk industri. Jadi, kalau
pemasangan baliho Puan dimaksudkan untuk mengerek elektabilitas menyongsong
2024, secara benderang niatan itu sudah gagal karena sedikitnya dua alasan.
Pertama, baliho itu bersifat temporal, sedangkan ingatan masyarakat itu
abadi. Baliho bisa diturunkan kapan saja, sedangkan siapa yang bisa menghapus
memori kolektif? Maka, ada
benarnya jika Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyarankan
agar Puan meminta (anggota) DPR mendonasikan 80% gajinya untuk masyarakat
terdampak pandemi. Alasan yang
kedua, pemasangan baliho terlampau konservatif di level politik tontonan.
Praktis, Puan memiliki pesaing yang nyaris mustahil dikalahkan. Betapapun,
strategi pemasangan baliho Puan Maharani masih kalah jauh ketimbang apa yang
dilakukan Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, atau politisi seleb
lainnya. Lembaga Voxpol
Center, umpamanya, pada Juli lalu menyatakan bahwa Ganjar menempati
elektabilitas tertinggi dengan 19,2 persen, disusul Prabowo 18,9 persen,
Anies 14,1 persen, Sandiaga Uno 8,3%, dan Ridwan Kamil 5,8%. Sementara itu,
elektabilitas Puan hanya bergeming di angka 1,3 persen dan menempati posisi
ke-10. Seperti
diketahui, Ganjar Pranowo adalah salah satu politisi yang aktif di media
sosial. Twitter menjadi media yang cukup signifikan untuk komunikasi
(politik) publiknya. Tak jarang, Ganjar menelepon pejabat setempat atau orang
yang mention dirinya terkait keluhan masyarakat. Dan, itu semua terekam
dengan baik di media sosial. Orang bisa menyapa Ganjar kapan saja. Prabowo
mungkin tidak semillenial Ganjar. Namun, Prabowo telah menjadi komoditas
tontonan (spectacle). Tiga kali mengikuti pilpres dan tiga kali itu pula
gagal menghuni istana, citra Prabowo secara tidak sadar telah mapan di altar
media (baru). Betapapun orang mencibir Prabowo, dia senyatanya tetap memiliki
pengikut, baik yang sefrekuensi maupun yang terkonstruk oleh media. Di titik ini,
Puan sebetulnya bisa belajar dari Donald Trump, jika dia memang punya ambisi
kekuasaan yang tidak setengah hati. Trump adalah tamsil yang cukup paripurna
jika bicara politik tontonan (the politic of the spectacle). Seperti
digagas oleh pemikir Prancis, Guy Debord, spectacle atau tontonan telah
merangsek ke dalam setiap lini kehidupan kita. Kata kunci dari masyarakat
tontonan adalah "yang tampak" (appearances). Di sana, citra menjadi
komoditas. Dan, media menjadi agen penafsir realitas. Dalam Pemilu
2016 di Amerika Serikat, tidak dapat disangkal bilamana kemunculan Trump
adalah bentuk utama dari tontonan media yang mengorbitkan dirinya menjadi
selebriti. Sebagai maestro spectacle, Trump secara sadar menggunakan kekuatan
media untuk mendongkrak citra dan kepopulerannya. Dia punya acara TV series
sendiri bernama The Apprentice yang menjadikan 'The Donald' sebagai figur
publik utama bagi pemirsa Amerika. Dia juga aktif di media sosial dan
seringkali membuat kegaduhan lewat cuitan kontroversial. Idealnya,
modus kapital dan segenap privilese yang dimiliki Mbak Puan memungkinkan
dirinya untuk melampaui Trump. Puan tidak harus membuat channel atau serial
TV sendiri untuk mengorbitkan dirinya. Puan juga tidak harus frontal kayak
Trump di media sosial. Soalnya, itu semua adalah budaya Barat yang harus kita
kesampingkan. Budaya kita
adalah memanfaatkan kekuatan orang dalam. Merangkap jabatan sebagai Ketua DPP
PDIP, Puan sebetulnya bisa dibilang sebagai orang dalam. Persoalannya, dia
akan berpihak ke mana? Menjadi orang dalam untuk masyarakat atau menjadi
orang dalam untuk penguasa? ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5689259/baliho-politisi-dan-politik-spectacle |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar