Pentingnya
Pendidikan Karakter Zaman Digital Ridwan Sanjaya ; Guru Besar Sistem Informasi Unika
Soegijapranata |
KOMPAS,
08 Maret
2021
Meskipun sejatinya istilah netizen atau
dalam KBBI disebut warganet dipakai untuk merujuk pada pengguna internet
secara umum, akhir-akhir ini terasa memiliki konotasi yang negatif. Ketika
membaca komentar-komentar yang tidak nyaman di berbagai media online,
seringkali ungkapan “dasar mulut netizen” spontan dikeluarkan. Istilah netizen menjadi semakin terasa
negatif, bukan hanya karena komentarnya yang pedas, tetapi juga yang
dirasakan kasar, nyinyir, provokatif, memojokkan, keroyokan, dan juga
menyebarkan kebohongan. Hal ini mengingatkan pada survei Katadata
Insight Center (KIC) yang dirilis pada November 2020, dimana menunjukkan
bahwa hampir 60 persen orang Indonesia terpapar hoaks saat menggunakan
internet. Ketidakmampuan dalam mengolah informasi dan
rendahnya literasi digital menyebabkan mereka tidak bisa bertanggungjawab
terhadap berita yang disebarnya. Seringkali banyaknya penyebar berita hoaks
yang sama menjadi semacam justifikasi kebenaran berita dan pembenaran
perilaku yang menyimpang. Hal ini tentu saja mempunyai resiko polarisasi
opini bagi mereka yang mempercayai hoax dan yang melawan. Adu balas yang tidak sehat, diskriminasi,
dan perundungan untuk mereka yang berbeda pendapat menjadi peristiwa
sehari-hari yang kita rasakan di berbagai media sosial. Penyebaran kebencian secara bersama-sama
yang merusak mental, moral, dan rasionalitas masyarakat dimungkinkan menjadi
penyebab perilaku warganet yang negatif. Ketika Microsoft merilis Digital Civility
Index atau Indeks Keberadaban Digital tahun 2020 pada bulan Februari 2021,
kita baru menyadari kerusakan yang ditimbulkan. Netizen Indonesia menempati
posisi ke-29 dari 32 negara yang diteliti oleh Microsoft. Kesopanan pengguna internet di Indonesia
dinilai masih lebih baik daripada di Meksiko, Rusia, dan Afrika Selatan
secara global, namun di bawah Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, dan
Vietnam di wilayah Asia Tenggara. Survei yang dilakukan pada bulan April
sampai Mei 2020, memperlihatkan skor DCI atau tingkat kesopanan netizen
Indonesia turun dibandingkan tahun yang lalu. Semakin banyak masyarakat dari
kelompok dewasa yang dinilai makin turun peradabannya. Apakah masih ada
kaitannya dengan sisa-sisa polarisasi opini saat pemilihan presiden tahun
sebelumnya? Bisa jadi. Pendidikan
Karakter Kekinian Secara mudah, seringkali masyarakat menyalahkan
dan menyerahkan permasalahan ini pada pendidikan karakter yang seharusnya
sudah diperoleh sejak masih dalam pendidikan dasar. Atau bahkan dijadikan
sebagai bagian dari pengakuan kebebasan berpendapat yang tidak terhindarkan. Ketidakberdayaan masyarakat akan kondisi
ini tercermin dalam keinginan 59 persen responden survei DCI yang meminta
perusahaan media sosial agar ikut memperbaiki. Hal ini menunjukkan bahwa
begitu ringkihnya bangunan keberadaban masyarakat karena kemunculan media
sosial. Pendidikan karakter juga sudah seharusnya
semakin disesuaikan dengan kondisi terkini. Selain cara penyampaiannya yang
harus kekinian, juga perlunya memasukkan kemungkinan-kemungkinan yang semakin
luas dalam hal komunikasi dan interaksi tanpa batas, tanpa identitas, dan
multi platform di zaman digital. Namun sayangnya di berbagai institusi
pendidikan, mata pelajaran atau mata kuliah ini masih sering dipandang
sebelah mata oleh siswa karena tidak terkait peningkatan pengetahuan dan
keterampilan atau karena cara penyampaian dan konten pembelajarannya yang
tidak kekinian. Di sisi lain, teknologi yang ada telah
memanjakan penggunanya terutama dalam hal identitas. Kelebihan yang dimiliki
oleh media sosial untuk menyembunyikan identitas alias anonim, menggerakkan
massa dalam ruang lingkup yang luas, atau membombardir informasi dalam waktu
singkat, memungkinkan penguna internet menjadi sosok yang lebih berani
dibandingkan jika bertemu secara langsung. Peluang untuk memiliki banyak identitas
juga memungkinkan pengguna internet menjadi pribadi yang mampu melewati
batas-batas norma yang ada di masyarakat. Identitas
masyarakat internet Kebebasan dalam berpendapat memang
seharusnya jangan diberangus, namun sebaiknya diarahkan pada kebebasan yang
bertanggungjawab. Namun selama seseorang masih bisa menjadi banyak pribadi,
keinginan ini akan sangat sulit untuk diwujudkan. Jika bercermin pada pemberian status
“verified” pada profil-profil tertentu oleh beberapa media sosial, sepertinya
profil resmi sebagai masyarakat di internet juga perlu dihadirkan oleh
negara. Meskipun seseorang masih dimungkinkan
memiliki banyak profil di dunia maya, identitas resmi yang dikelola oleh
negara dapat memudahkan pengguna internet lainnya untuk bersikap mengabaikan
atau mempercayai berbagai komentar atau postingannya di media sosial. Di sisi lain, tetap perlu ada literasi
digital agar masyarakat semakin mampu mengolah informasi dengan benar dan
berperilaku sopan. Jangan sampai karena ketidakmampuannya tersebut, membuat
seluruh pengguna Indonesia dinilai tidak beradab dan membuat malu bangsa.
Gara-gara nilai setitik, rusak susu sebelanga! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar