Selasa, 09 Maret 2021

 

Kudeta dalam Partai Politik

 Hamid Awaludin ; Mantan Menteri Hukum dan HAM, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar

                                                        KOMPAS, 08 Maret 2021

 

 

                                                           

Indonesia memang sangat unik, terutama dari segi politik. Di negara-negara lain, biasanya, kolonel atau mayor yang mengudeta jenderal. Namun, di negeri kita yang tercinta ini, jenderal yang mengudeta mayor. Heboh, kan?

 

Perpecahan internal partai politik (parpol) di negeri ini sudah berlangsung lama. Tidak ada yang baru. Sarikat Islam (SI) mengalami perpecahan internal yang melahirkan SI merah dan SI putih. SI merah lalu menjadi komunis. Ini berlangsung seabad silam. Hingga kini, perpecahan internal parpol masih saja berlangsung.

 

Perpecahan internal Partai Demokrat kali ini memang sangat berbeda dengan perpecahan internal parpol yang lain. Perpecahan di Partai Golkar, misalnya, hanya memperhadapkan kader-kader internal sendiri, semisal Aburizal Bakrie berhadapan dengan Agung Laksono.

 

Di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga begitu, antara Suryadharma Ali berhadapan dengan Muhammad Romahurmuziy. Di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga demikian, memperhadapkan antara Muhaimi Iskandar (Cak Imin) dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), atau Gus Dur berhadapan dengan Matori Abdul Jalil.

 

Di Partai Demokrat, yang berhadapan adalah orang dalam versus orang luar: Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) versus Moeldoko. AHY adalah kader partai, sementara Moeldoko bukan kader partai. Setelah Kongres Luar Biasa (KLB) partai ini, Moeldoko menerima mandat menjadi ketua umum. Penegasan penerimaannya itu kian memperteguh tudingan terhadap dirinya bahwa Moeldoko memang merancang pengambilalihan Partai Demokrat.

 

Lantaran Moeldoko bukan kader partai tetapi mengklaim diri sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, maka sak-wasangka pun kian liar. Posisi Moeldoko sebagai bukan kader partai tersebut, dilengkapi lagi dengan posisinya sebagai Kepala Staf Presiden, membuat persangkaan adanya intervensi pemerintah terhadap Partai Demokrat kian berkecambah dan liar. Padahal, belum tentu gerakan Moeldoko tersebut direstui Presiden Jokowi, atasan langsungnya.

 

Anggapan tersebut kian menguat setelah publik mulai membicarakan bahwa memang pernah ada masa di mana Moeldoko juga ingin menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Katanya, ia mendatangi Jusuf Kalla untuk minta dukungan. Namun, Jusuf Kalla menutup pintu itu dengan alasan, jangan memasuki rumah orang. Menjadi Ketua Umum Partai Golkar harus mengabdi dulu beberapa tahun sebagai pengurus.

 

Sebulan silam, ketika gerakan Moeldoko mengumpulkan sejumlah kader atau mantan kader Partai Demokrat, dan kepergok, ia masih membantah bahwa mereka datang bukan berbicara tentang pengambilalihan kepemimpinan partai, melainkan bantuan sosial. Kini, Moeldoko bersama pendukungnya sudah mengklaim bahwa ia sudah menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Lantas, penyangkalan itu diletakkan di mana?

 

Mahkamah partai

 

Sejatinya, apabila ada masalah dalam internal partai, katakanlah ada ketidakpuasan ataupun kekecewaan para kader atau pengurus, seharusnya diselesaikan lewat mahkamah partai. Begitu perintah Undang-Undang Partai Politik di negeri kita.

 

Ini adalah mekanisme baku yang menjadi keharusan konstitusional para politisi. Para perancang undang-undang membuat mekanisme tersebut agar perpecahan partai bisa diselesaikan lebih awal melalui mekanisme internal.

 

Biar kemandirian partai bisa kian terjaga, tidak langsung melibatkan intervensi negara. Lantas, ke arah mana pertikaian Partai Demokrat ini?

 

Moeldoko pasti sesegera mungkin mendaftarkan diri dan komposisi pengurusnya ke Kementerian Hukum dan HAM.

 

Mekanisme baku yang ada setelah pengurus baru sebuah partai politik terbentuk dan didaftar ke pemerintah, maka Kementerian Hukum dan HAM menelaah: apakah kepengurusan itu sah atau tidak, menurut konstitusi partai politiknya.

 

Dalam konteks ini, Kementerian Hukum dan HAM akan mempelajari sedalam mungkin bagaimana mekanisme pergantian pengurus yang diatur oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik.

 

Dalam proses inilah, tafsir politik acapkali menyisihkan tafsir yuridis. Dan, tatkala tafsir politik sudah surplus, segala kemungkinan bisa jadi tidak mungkin, dan ketidakmungkinan bisa jadi mungkin.

 

Di masa silam, segala pengesahan pengurus partai politik, dilakukan di Kementerian Dalam Negeri. Ketika itu, penyelesaian banyak dilakukan hanya dengan pertimbangan politis belaka, yang menyisihkan pertimbangan yuridis.

 

Kini, pendaftaran pengurus partai politik dilakukan di Kementerian Hukum dan HAM supaya fokus penyelesaian kepengurusan partai atau sengketa partai dititikberatkan pada pertimbangan yuridis belaka. Itu maksud pembuat undang-undang.

 

Pengalaman empirik belakangan ini menunjukkan, pemerintah cenderung mengesahkan pengurus partai politik hasil kongres luar biasa. Kita lihat, misalnya, kepengurusan Agung Laksono sebagai hasil KLB Partai Golkar sebagai tandingan kepengurusan Aburizal Bakrie. Pemerintah mengesahkan kepengurusan Agung Laksono.

 

Pemerintah juga mengesahkan kepengurusan Romahurmuziy yang lahir dari muktamar luar biasa PPP, dibandingkan kepengurusan Djan Faridz yang dihasilkan Muktamar non-luar biasa. Kasus teranyar adalah pertikaian antara Tommy Soeharto dan Muchdi PR di Partai Berkarya. Pemerintah mengesahkan kepengurusan Muchdi yang lahir dari hasil KLB Partai Berkarya.

 

Apa pun posisi pemerintah kelak, pasti salah satu pihak akan membawa keputusan pemerintah tersebut ke ranah hukum. Pengadilan akan menjadi pengadil, siapa sesungguhnya yang sah: kepengurusan Moeldoko atau AHY. Apabila jalur pengadilan yang ditempuh, napas kedua belah pihak yang bertikai harus panjang karena proses hukum yang ditempuhnya pun harus panjang.

 

Kedua belah pihak harus menyiapkan argumentasi yuridis yang kuat. Untuk sekarang ini, argumentasi yuridis pihak AHY masih sangat kuat karena mekanisme penyelenggaraan KLB yang memilih Moeldoko tidak terpenuhi sama sekali, antara lain terlewatinya mekanisme usulan dari majelis kehormatan partai. Begitu juga dengan usulan para pengurus daerah dan cabang yang nihil.

 

Masih dalam argumentasi yuridis, pihak Moeldoko harus kerja ekstra keras untuk berargumentasi kelak di pengadilan tentang perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai. Konstitusi partai tersebut diubah melalui KLB yang masih dipersoalkan keabsahannya. Semua ini bakal menjadi pertanyaan elementer pengadilan kelak.

 

Posisi pemerintah

 

Terlepas dari adu argumentasi legal itu, pihak Moeldoko harus menjawab pertanyaan politik: bagaimana dengan penolakan para pengurus daerah dan cabang Partai Demokrat yang kian marak hari-hari ini? Mereka merasa sebagai pemilik sah suara di kongres partai, tetapi mereka tidak pernah memberi mandat kepada Moeldoko untuk memimpin mereka?

 

Yang pasti, ketiga kasus sengketa internal partai itu, Partai Golkar, PPP dan Partai Berkarya, tatkala dibawa ke pengadilan, para hakim memutuskan kepengurusan dari hasil kongres atau muktamar luar biasa selalu dinyatakan kalah. Pengadilan berpihak kepada pengurus yang lahir dari kongres atau muktamar normal.

 

Dalam kisruh Partai Demokrat ini, ada yang mencoba mengajukan tesis: Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang memang berseberangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), akan mendesak Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang kader PDI-P, mengesahkan kepengurusan Moeldoko. Saya tepis kemungkinan itu karena Megawati pernah menunjukkan kenetralannya dalam sengketa internal partai politik.

 

Ketika ia menjadi presiden menggantikan Gus Dur, terjadi sengketa internal PKB, yang memperhadapkan Gus Dur dengan Matori Abdul Jalil. Megawati sama sekali tidak mencampurinya. Sebagaimana pengakuan Yusri Ihza Mahendra yang ketika itu menjadi Menteri Hukum dan HAM, ia tidak pernah diperintahkan atasannya, Megawati, untuk mengesahkan kepengurusan mana yang dikehendakinya.

 

Yang jelas, apa pun keputusan Menteri Hukum dan HAM kelak, akan menjawab pertanyaan: apakah Presiden Jokowi menyetujui atau tidak menyetujui gerakan Moeldoko mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat, dari tangan AHY, yang lahir dari hasil kongres normal dan telah disahkan pemerintah. Mari kita tunggu adegan berikutnya dari drama politik di negeri kita ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar