Selasa, 09 Maret 2021

 

Pentingnya Pendidikan Karakter Zaman Digital

 Ridwan Sanjaya ; Guru Besar Sistem Informasi Unika Soegijapranata

                                                        KOMPAS, 08 Maret 2021

 

 

                                                           

Meskipun sejatinya istilah netizen atau dalam KBBI disebut warganet dipakai untuk merujuk pada pengguna internet secara umum, akhir-akhir ini terasa memiliki konotasi yang negatif. Ketika membaca komentar-komentar yang tidak nyaman di berbagai media online, seringkali ungkapan “dasar mulut netizen” spontan dikeluarkan.

 

Istilah netizen menjadi semakin terasa negatif, bukan hanya karena komentarnya yang pedas, tetapi juga yang dirasakan kasar, nyinyir, provokatif, memojokkan, keroyokan, dan juga menyebarkan kebohongan.

 

Hal ini mengingatkan pada survei Katadata Insight Center (KIC) yang dirilis pada November 2020, dimana menunjukkan bahwa hampir 60 persen orang Indonesia terpapar hoaks saat menggunakan internet.

 

Ketidakmampuan dalam mengolah informasi dan rendahnya literasi digital menyebabkan mereka tidak bisa bertanggungjawab terhadap berita yang disebarnya.

 

Seringkali banyaknya penyebar berita hoaks yang sama menjadi semacam justifikasi kebenaran berita dan pembenaran perilaku yang menyimpang. Hal ini tentu saja mempunyai resiko polarisasi opini bagi mereka yang mempercayai hoax dan yang melawan.

 

Adu balas yang tidak sehat, diskriminasi, dan perundungan untuk mereka yang berbeda pendapat menjadi peristiwa sehari-hari yang kita rasakan di berbagai media sosial.

 

Penyebaran kebencian secara bersama-sama yang merusak mental, moral, dan rasionalitas masyarakat dimungkinkan menjadi penyebab perilaku warganet yang negatif.

 

Ketika Microsoft merilis Digital Civility Index atau Indeks Keberadaban Digital tahun 2020 pada bulan Februari 2021, kita baru menyadari kerusakan yang ditimbulkan. Netizen Indonesia menempati posisi ke-29 dari 32 negara yang diteliti oleh Microsoft.

 

Kesopanan pengguna internet di Indonesia dinilai masih lebih baik daripada di Meksiko, Rusia, dan Afrika Selatan secara global, namun di bawah Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam di wilayah Asia Tenggara.

 

Survei yang dilakukan pada bulan April sampai Mei 2020, memperlihatkan skor DCI atau tingkat kesopanan netizen Indonesia turun dibandingkan tahun yang lalu. Semakin banyak masyarakat dari kelompok dewasa yang dinilai makin turun peradabannya. Apakah masih ada kaitannya dengan sisa-sisa polarisasi opini saat pemilihan presiden tahun sebelumnya? Bisa jadi.

 

Pendidikan Karakter Kekinian

 

Secara mudah, seringkali masyarakat menyalahkan dan menyerahkan permasalahan ini pada pendidikan karakter yang seharusnya sudah diperoleh sejak masih dalam pendidikan dasar. Atau bahkan dijadikan sebagai bagian dari pengakuan kebebasan berpendapat yang tidak terhindarkan.

 

Ketidakberdayaan masyarakat akan kondisi ini tercermin dalam keinginan 59 persen responden survei DCI yang meminta perusahaan media sosial agar ikut memperbaiki. Hal ini menunjukkan bahwa begitu ringkihnya bangunan keberadaban masyarakat karena kemunculan media sosial.

 

Pendidikan karakter juga sudah seharusnya semakin disesuaikan dengan kondisi terkini. Selain cara penyampaiannya yang harus kekinian, juga perlunya memasukkan kemungkinan-kemungkinan yang semakin luas dalam hal komunikasi dan interaksi tanpa batas, tanpa identitas, dan multi platform di zaman digital.

 

Namun sayangnya di berbagai institusi pendidikan, mata pelajaran atau mata kuliah ini masih sering dipandang sebelah mata oleh siswa karena tidak terkait peningkatan pengetahuan dan keterampilan atau karena cara penyampaian dan konten pembelajarannya yang tidak kekinian.

 

Di sisi lain, teknologi yang ada telah memanjakan penggunanya terutama dalam hal identitas. Kelebihan yang dimiliki oleh media sosial untuk menyembunyikan identitas alias anonim, menggerakkan massa dalam ruang lingkup yang luas, atau membombardir informasi dalam waktu singkat, memungkinkan penguna internet menjadi sosok yang lebih berani dibandingkan jika bertemu secara langsung.

 

Peluang untuk memiliki banyak identitas juga memungkinkan pengguna internet menjadi pribadi yang mampu melewati batas-batas norma yang ada di masyarakat.

 

Identitas masyarakat internet

 

Kebebasan dalam berpendapat memang seharusnya jangan diberangus, namun sebaiknya diarahkan pada kebebasan yang bertanggungjawab. Namun selama seseorang masih bisa menjadi banyak pribadi, keinginan ini akan sangat sulit untuk diwujudkan.

 

Jika bercermin pada pemberian status “verified” pada profil-profil tertentu oleh beberapa media sosial, sepertinya profil resmi sebagai masyarakat di internet juga perlu dihadirkan oleh negara.

 

Meskipun seseorang masih dimungkinkan memiliki banyak profil di dunia maya, identitas resmi yang dikelola oleh negara dapat memudahkan pengguna internet lainnya untuk bersikap mengabaikan atau mempercayai berbagai komentar atau postingannya di media sosial.

 

Di sisi lain, tetap perlu ada literasi digital agar masyarakat semakin mampu mengolah informasi dengan benar dan berperilaku sopan. Jangan sampai karena ketidakmampuannya tersebut, membuat seluruh pengguna Indonesia dinilai tidak beradab dan membuat malu bangsa. Gara-gara nilai setitik, rusak susu sebelanga! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar