Senin, 08 Maret 2021

 

Mencari Ruang Kritik Sastra

 S. Prasetyo Utomo ; Sastrawan, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes

                                                        KOMPAS, 07 Maret 2021

 

 

                                                           

Skeptisisme Maneke Budiman bahwa kritik sastra surut, tertinggal jauh dari perkembangan sastra, mati atau sekarat diakuinya ternyata keliru. Kesadaran bahwa kritik sastra Indonesia tidak mati suri muncul ketika Badan Bahasa menyelenggarakan Sayembara Kritik Sastra 2020.

 

Kualitas tulisan yang terpilih dalam sayembara, yang kemudian dibukukan dalam Teks, Pengarang, dan Masyarakat (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2020), memberi kesadaran juri, seperti Seno Gumira Ajidarma, bahwa ”kritik sastra ternyata bukan sesuatu yang terlalu asing”. Teks-teks kritik sastra itu, dalam bahasa Maneke Budiman, ”berbobot isinya, membuka wawasan, dan mencerahkan”.

 

Pergeseran kritik sastra ke ruang media sosial, seperti Facebook, dan surutnya gagasan polemik sastra setelah perdebatan sastra kontekstual, revitalisasi sastra pedalaman dan sastra ”wangi”, tetaplah menghadirkan kritik sastra yang, dalam bahasa Seno Gumira Ajidarma, membongkar teks untuk menunjukkan bagaimana gejala susastra merupakan sumber pengetahuan atas gejala kebudayaan dalam pengertian luas: sosial, politik, agama.

 

Badan Bahasa menggelar sayembara kritik sastra yang menyerap kreativitas berbagai kalangan masyarakat, yang selama ini gencar berpolemik di media sosial, pada kubu-kubu kecil, kelompok-kelompok kecil, bahkan kadang isu-isu kecil.

 

Yang membahagiakan, sayembara kritik sastra ini diarahkan untuk menemukan ”kebaruan pemikiran, kekuatan argumentasi, ketajaman analisis, dan kreativitas penyajian”.

 

Tantangan para peserta kritik sastra terutama pada tuntutan ”kebaruan pemikiran”. Karena itu, pilihan teks yang dianalisis kritikus menjadi pertaruhan utama, selain teori sastra yang diterapkan dan ketajaman analisis.

 

Tak mengherankan apabila kelima juri memilih naskah kritik sastra ”Puisi-puisi Afrizal Malna: Bahasa yang Diam-diam Meninggalkan Tubuh” karya Dwi Pranoto sebagai yang terbaik pertama. Naskah terbaik kedua ”Forgulos, Kambing dan Hujan: Ketika Pemabuk Cinta Menabok Pemabuk Teks Agama” karya Wahyu Kris. Naskah terbaik ketiga ”Poetika Pelenyapan Diri ala Zhang Daqian dan Lompatan Puitik Puji Pistols” yang ditulis Dwi Cipta.

 

Ketiga pemenang Sayembara Kritik Sastra Badan Bahasa 2020 sangat tepat dalam memilih teks sastra sebagai bahan kajian: Afrizal Malna, Aveus Har, dan Puji Pistols (Pujianto).

 

Afrizal Malna dikenal sebagai penyair dengan dekonstruksi diksi, logika, dan menyingkap kehidupan postmodern, yang paradoks, hedonis, dan materialis. Dalam bahasa Dwi Pranoto dikatakan bahwa bahasa yang dikespresikan Afrizal Malna dalam puisi-puisinya meninggalkan tubuh.

 

Aveus Har mencipta novel Forgulos (Basabasi, 2019) merupakan juara pertama Sayembara Novel Basabasi 2019. Aveus Har menyingkap fantasi-fantasi tak terduga, serupa dongeng. Novel ini mengisahkan anomali hidup, eksotisme, dengan ide-ide yang cemerlang tentang perubahan tradisi yang dibawa Arthur.

 

Aveus Har mencipta satire fenomena sosial dan religiositas. Wahyu Kris menemukan kekuatan ”kebaruan pikiran” pada novel yang memiliki ”kebaruan cara pandang” dalam menyingkap tabir kehidupan.

 

Lompatan puitik Puji Pistols (Pujianto), dalam pandangan Dwi Cipta, mengekspresikan pemahaman sang penyair terhadap teks-teks yang dibaca sesuai dengan ekosistem pengetahuan dan orientasi puitiknya.

 

Puji Pistols menyadari cekaman warna kelabu dan riwayat dirinya sendiri, yang hanya bisa dibebaskan lewat pengembaraan intelektual. Sebagai seorang otodidak dalam penulisan puisi, ia mempertaruhkan pilihan pada dunia Timur, yang kemudian dianalisis Dwi Cipta.

 

Dua puluh teks yang dianalisis para kritikus dalam buku ini menandai keberagaman: dongeng, serat, novel, puisi, cerpen, dan esai. Tentu keragaman teori, ketajaman analisis, pengembangan ide, struktur, dan style yang mereka geluti kemudian mencapai ragam ”kritik-esai”.

 

Isu sosial-politik, agama, gender, menantang para kritikus untuk beradaptasi dengan tanggapan terhadap genre baru. Bahkan, mereka beradaptasi dengan obyek sastra yang beragam, tak lagi melakukan oposisi biner antara ”pusat” dan ”pinggiran”, sastra ”lama” dan sastra ”mutakhir”.

 

Para kritikus sastra yang memenangi Sayembara Kritik Sastra Badan Bahasa 2020, dan juga 17 penulis kritik terpilih, telah memanfaatkan berbagai teori untuk menganalisis teks-teks sastra.

 

Dua puluh penulis kritik sastra itu berasal dari berbagai profesi, pendidikan, umur, dan lapisan sosial. Karena itu, teori yang diterapkan pun beragam, disesuaikan dengan teks sastra yang dianalisis dan cakrawala pengetahuan yang mereka miliki.

 

Latar kedua puluh kritikus sastra, yang kemudian dibukukan, di antaranya tokoh-tokoh yang dikenal dalam penciptaan sastra, kritik, esai, dan pemikiran kebudayaan.

 

Setidaknya, saya mencatat enam tokoh: Dwi Cipta, Nirwan Ahmad Arsuka, Bandung Mawardi, Heru Joni Putra, Niduparas Erlang, dan Yusri Fajar. Dwi Cipta dikenal sebagai penulis cerita dan esai. Ia menulis cerpen, menerjemahkan karya-karya sastra, menulis esai-esai budaya, esai politik, dan novel. Ia seorang pegiat literasi.

 

Nirwan Ahmad Arsuka dikenal sebagai penulis esai berbasis budaya, sejarah, yang diterbitkan International Journal of Asian Studies, dan Inter-Asia Cultural Studies Journal. Bandung Mawardi sangat produktif menulis esai, pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi.

 

Heru Joni Putra merupakan seorang sastrawan kebanggaan yang aktif menulis esai, puisi, kritik sastra di forum nasional dan internasional. Niduparas Erlang mencipta novel Burung Kayu (Teroka Press, 2020) yang meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2020. Yusri Fajar dikenal sebagai seorang dosen, kritikus, sastrawan, dan pemenang pertama Lomba Kritik Sastra HISKI dan Balai Bahasa Bali 2020.

 

Ketika dua puluh naskah terpilih Sayembara Kritik Badan Bahasa 2020 dibukukan pada Desember 2020, dan beredar di kalangan pembaca, hal ini mengakhiri keterpasungan kritik sastra dari masyarakat pembacanya.

 

Persoalannya kemudian, berapa banyak lapis masyarakat yang dapat menikmati buku kritik sastra yang ditulis dari kalangan yang beragam dengan ”kebaruan pemikiran”, dan memetakan aneka ragam teks sastra dengan keluwesan menyampaikan argumentasi, bahkan retorika dan penggunaan gaya bahasa.

 

Apabila dulu dunia sastra kita mengikuti patron kritikus sastra HB Jassin, kemudian Korrie Layun Rampan, kini sebenarnya kita memiliki kritikus sastra dari berbagai profesi dengan menerapkan teori yang beragam.

 

Kritik sastra ini mengisi ruang ekspresi yang kurang maksimal karena hilangnya ruang publikasi media massa dan majalah sastra. Tentu diharapkan buku kritik sastra ini bisa dinikmati berbagai lapis masyarakat. Sungguh sangat disayangkan apabila buku ini hanya dicetak secara terbatas dan hanya dinikmati kalangan masyarakat secara terbatas. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar