Renungan
Ibuku Jean Couteau ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas
Minggu |
KOMPAS,
07 Maret
2021
Kalau sedang mengemudi, aku suka membiarkan
pikiranku melayang-layang, merekam arti hal-hal yang sepele. Cara orang
menyeberang jalan, lubang di aspal, gerobak bapak kerempeng yang mengangkut
sampah, mobil sangat besar yang menyosor dari belakang sebelum tiba-tiba
menyalip kasar, kepala pria dihiasi udeng.... Semua detail sepele itu aku perhatikan
dan lantas menjadi kesan yang tertera di benakku: itulah Indonesiaku, dan
itulah Baliku…. Ya! Di negeri itu kini bermukim diriku,
bule sudah tua, yang masa kecilnya dilewati di pinggir sebuah sungai di
Perancis yang indah, dengan benteng kuno besar yang menjorok di seberang
sana, seolah-olah demi mengingatkan kesadaran sejarah. ”Aku” ketika di sana! ”Aku” ketika di sini!
Apakah ”aku” itu adalah ”aku” yang sama? Di sana adalah tempat aku lahir,
Perancis, diasuh ibu yang seorang pelukis. Di sini tempat aku akan mati,
Indonesia, menjadi penulis seni budaya. Jati diri! Kata itu berdengung di telinga,
”Kunci jati dirimu ada pada orang lain”. Almarhumah Ibu pernah berkata. Apa
artinya kata itu bagiku di sini? Apakah usai menjelajahi dunia dan bermukim
di Bali, aku betul-betul telah menemukan kebersamaan dengan sesama yang
diidamkannya? Oh Ibu! Ngapain aku mengendarai mobil ini? Aku
sedang menuju Desa Mas di Kabupaten Gianyar, tepatnya ke Gallery Bidadari.
Akan bertemu dengan seorang yang juga perantau, yang aku ketahui telah
seperti aku ”menggali lubangnya” di rantau sebagai pengelola galeri, seorang
wanita. Bila aku berasal dari ujung Barat Eurasia, di Perancis, dia lahir di
sebuah pulau di ujung Timur-nya, di Jepang. Kami berdua kini berumah tangga di
Indonesia. Sambil membelok ke kanan atau ke kiri,
terbayang di benak wajah ibuku ketika masih muda: ”Kita bangsa yang pintar di
Perancis, Nak. Tetapi, kita juga belajar dari negeri jauh, anakku. Di
Beaux-Arts (Sekolah Tinggi Seni), dosenku selalu menekankan bahwa Jepang-lah
guru kami di dalam hal dialog kontur dan warna,” ujarnya. Berpikir tentang Ibu, tebersit juga wajah
berkeriput seorang pria Jepang tua, teman almarhumah, yang mengunjungi kami
setiap dua tahun. Apa tujuannya? Menjelajahi satu per satu gereja-gereja gaya
Roman di daerah kami. Ya! Jepang dan Perancis memang berbagi minat perihal
sejarah dan seni? Sesampai di Mas, Hiromi sudah menanti,
tersenyum. Kami melihat karya, lalu duduk, lantas berbicara tentang ini itu.
Khususnya tentang seni: seni Jepang yang cenderung mengambil inti bentuknya
dibandingkan dengan seni Bali yang sebaliknya berbiak di dalam detail yang
semakin kecil. Lalu, tiba-tiba suara hati keluar, ”Aku
hidup di Bali, Pak Jean, sebagai orang Jepang. Tetapi, aku tidak melihat perbedaan
antara Bali dan Jepang. Aku justru melihat persamaan.” Hiromi melanjutkan, ”Yang pokok di Bali
adalah leluhur, kan? energi alam, dengan dewa-dewanya, tanpa dogma. Tepat
seperti di ajaran Shinto, yang juga menghormati alam dan leluhur. Keluargaku berasal
dari pusat kultus Shinto di Kiyushu. Di situ pendeta Shinto adalah penjaga
hutan, penjaga keseimbangan, tepat seperti dalam tradisi Bali….” Suara lirih halusnya terdengarnya seolah
bersenandung, bersenandung tentang Bali-nya, yang juga Jepang-nya. Bagaimana
di sana ataupun di sini kita harus berdamai dengan ”mandala” hingga tergapai
kesatuan makna. Mendengarnya berbicara seperti itu, aku
teringat wejangan khas Bali yang berkata: semua kepercayaan adalah sama.
Bagai sungai yang semua berasal dari Gunung dan semua bermuara di Lautan yang
sama. Ada pula padanan ungkapan Jawa yang berkata, Tuhan bagai pasar, untuk
menujunya ada jalan dari Timur, dari Barat, dari berbagai jurusan. Wajah Ibu terlintas di benakku. Saat beliau
sudah sangat tua, delapan tahun yang lalu: ”Kau seperti aku, Jean. Dunia aku
jelajahi dari Yunani sampai ke Laos dan Afrika. Harapan kaum wanita telah aku
abadikan di potret-potretku. Mantra biku-biku aku usapkan di kanvas pada baju
oranyenya. Semoga kau mampu meneruskan dalam pesan kata bermakna apa yang aku
sampaikan dengan garis dan warna.” Itulah terakhir kali aku melihat Ibu masih
hidup sebelum beliau wafat, jauh dari kehadiran saya. Aku kini tahu: baik di Perancis maupun pada
senyuman Hiromi di Mas, Bali, atau di Jawa dan entah lagi di mana, ada saja
orang yang berbagi impian ibuku. Masih mampukah aku? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar