Senin, 08 Maret 2021

 

Katakan Tidak, padahal Korupsi

 Anita Yossihara ; Wartawan Kompas

                                                        KOMPAS, 07 Maret 2021

 

 

                                                           

Kaget, syok, tak percaya, itulah reaksi banyak orang saat mendengar kabar penangkapan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat-Sabtu (27/2/2021) dini hari di Makassar. Betapa tidak, Nurdin adalah satu dari segelintir kepala daerah di Tanah Air yang dikenal cerdas, inovatif, berintegritas, dan punya segudang prestasi.

 

Berbagai penghargaan dari kelompok masyarakat sipil, kampus, media, kementerian, bahkan Presiden, diterima Nurdin saat menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, pada 2008-2018. Tidak sedikit penghargaan yang diberikan atas dasar prestasi Nurdin dalam membenahi pelayanan publik hingga membangun budaya antikorupsi.

 

Baru dua tahun menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Nurdin mendapat penghargaan dari Kejaksaan Agung atas kepeduliannya terhadap pengelolaan dan pengembangan kantin kejujuran di Kabupaten Bantaeng. Ia juga menerima penghargaan dari Ombudsman RI atas predikat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik pada 2017.

 

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu pun bahkan mendapatkan penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award pada 2017. Bung Hatta Award itu merupakan ajang penganugerahan penghargaan bagi masyarakat, termasuk pejabat, yang dikenal bersih dari praktik korupsi, tak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan, tidak pernah menyuap dan menerima suap, serta berperan aktif dalam perang melawan korupsi.

 

Prestasi dalam memajukan Kabupaten Bantaeng pun membawa Nurdin dinobatkan menjadi People of The Year tahun 2012 dari harian Seputar Indonesia, Tokoh Perubahan tahun 2014 dari harian Republika, serta Kepala Daerah Teladan Pilihan Tempo pada 2017. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun memberikan penghargaan Satya Lencana bidang pertanian saat Nurdin baru satu tahun memimpin Kabupaten Bantaeng. Prestasi dan kepercayaan besar masyarakat itulah yang mengantarkan Nurdin menjadi orang nomor satu di Provinsi Sulawesi Selatan. Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin itu pun dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Gubernur Sulsel pada 15 September 2018.

 

Namun, belum genap tiga tahun menjabat sebagai gubernur, Nurdin tersandung kasus hukum. Minggu (28/2/2021) dini hari, penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award itu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021. Berdasarkan data yang diungkap KPK, uang komisi pelaksanaan proyek infrastruktur yang diterima Nurdin dari sejumlah kontraktor mencapai Rp 5,4 miliar. KPK menyebut uang suap itu diterima melalui Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Provinsi Sulsel Edy Rahmat.

 

Banyak kalangan yang tidak percaya kepala daerah dengan rekam jejak cemerlang itu terjerembab ke dalam lubang korupsi. Apalagi, Nurdin membantah telah menerima suap dan mengaku tidak tahu-menahu aktivitas Edy yang juga ditetapkan sebagai tersangka. ”Ternyata Edy itu melakukan transaksi tanpa sepengetahuan saya. Sama sekali tidak tahu, demi Allah, demi Allah,” kata Nurdin di Gedung KPK, Jakarta, Minggu lalu.

 

Apa pun dalihnya, yang pasti saat ini Nurdin sudah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Ketua KPK Firli Bahuri pun meminta masyarakat untuk tidak berpikir bahwa setiap orang yang sudah menerima penghargaan tidak akan melakukan korupsi. ”Jangan berpikir bahwa setiap orang yang sudah menerima penghargaan tidak akan melakukan korupsi karena korupsi adalah pertemuan antara kekuasaan dan kesempatan serta minusnya integritas,” kata Firli saat menyampaikan keterangan pers di Gedung KPK, Minggu lalu.

 

Pernyataan itu ada benarnya. Merujuk pada dalil yang disampaikan politikus sekaligus sejarawan Inggris, John Emerich Edward Dalberg Acton atau Lord Acton (1833-1902), kekuasaan memang cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup. Sejarah mencatat, tidak sedikit pejabat yang berniat menyalahgunakan kekuasaan, menyelewengkan jabatan atau kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi.

 

Jamak

 

Praktik semacam itu pun jamak terjadi di Indonesia. Berteriak paling kencang menolak segala bentuk korupsi, tetapi akhirnya terlibat korupsi juga.

 

Mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara yang menjadi tersangka kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial, salah satunya. Perang terhadap korupsi menjadi isu yang diusung Juliari saat berkampanye untuk pencalonannya dalam pemilihan umum anggota legislasi (pileg) tahun 2019. Politikus PDI-P itu menyebarkan pamflet gambar wajah dirinya beserta tulisan ”Korupsi Dibabat, pasti Indonesia Hebat!” kepada masyarakat di Daerah Pemilihan Jawa Tengah 1.

 

Untuk menunjukkan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini, Juliari pun langsung menyambangi Gedung KPK hanya beberapa jam setelah dilantik menjadi Menteri Sosial, 4 November 2019. Selain bersilaturahim, kedatangannya ke KPK juga dimaksudkan untuk menjalin kerja sama dalam upaya pemberantasan korupsi di lingkungan Kementerian Sosial.

 

”Kami sebagai Menteri Sosial yang baru ingin memantapkan komitmen kami untuk bersinergi dalam rangka pemberantasan korupsi, khususnya di lingkungan Kementerian Sosial,” katanya kala itu.

 

Suara lantang tentang bahaya korupsi juga pernah disampaikan Juliari pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2019. Menurut dia, korupsi terjadi karena keserakahan orang yang tak pernah merasa cukup. Karena itu, pemberantasan korupsi harus dimulai dari mental. ”Jadi, mau sebagus apa pun sistem, seketat apa pun sistem, kalau mentalnya sudah bobrok, ya, tetap saja korup,” tuturnya.

 

Namun, satu tahun kemudian, tepatnya pada 5 Desember, Juliari ikut terjaring operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK. Pejabat yang memiliki harta kekayaan sekitar Rp 50 miliar itu disangka mengutip imbalan dari rekanan proyek pengadaan bansos untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Besarnya Rp 10.000 untuk satu paket bahan pokok yang akan dibagikan kepada masyarakat. Akibatnya, tak hanya menghadapi proses hukum, Juliari pun harus melepas jabatannya sebagai Menteri Sosial.

 

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga tak jauh berbeda. Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya itu pun lumayan vokal menyerukan pemberantasan korupsi. Pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2019, misalnya, ia menyampaikan komitmen perang melawan korupsi melalui akun twitter @Edhy_Prabowo. ”Korupsi adalah musuh utama yang harus kita perangi. Bersama-sama membangun komitmen KKP menjadi birokrat yang bersih dan melayani untuk mewujudkan masyarakat kelautan dan perikanan yang sejahtera,” tulisnya.

 

Kurang dari setahun kemudian, tepatnya 25 November 2020, Edhy ditangkap tim KPK saat baru mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Edhy yang baru saja kembali dari kunjungan kerja ke Hawaii ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan suap terkait perizinan ekspor benur atau benih lobster.

 

Partai politik

 

Kamuflase komitmen antikorupsi sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Tidak sedikit partai politik (parpol) yang gencar mengampanyekan perang melawan korupsi justru terjebak dalam pusaran korupsi. Partai Demokrat, misalnya, gencar mengampanyekan perang terhadap korupsi satu tahun menjelang Pemilu 2009.

 

Kala itu, hampir setiap hari, masyarakat disuguhi iklan kampanye Demokrat di layar kaca. Dalam iklan itu, sejumlah politikus Demokrat, seperti Edhie Baskoro Yudhoyono, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Andi Alfian Malarangeng, dan Iti Octavia Jayabaya, menegaskan tidak untuk korupsi. Kenyataannya, beberapa tahun kemudian, partai besutan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono itu masuk ke dalam pusaran korupsi.

 

Tiga bintang iklan antikorupsi, yakni Anas, Angelina, dan Andi Malarangeng, ditahan KPK karena terjerat kasus korupsi berbagai proyek di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan Nasional. Anggelina lebih dulu ditahap KPK, yakni pada 27 April 2012, karena disangka terlibat korupsi proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games dan proyek di Kemendiknas. Disusul kemudian oleh Andi Mallarangeng, yang resmi ditahan pada 17 Oktober 2013 karena disangka terlibat korupsi proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

 

Terakhir, yakni pada 10 Januari 2014, Anas menyusul mengenakan rompi oranye. Saat ditahan KPK, Anas yang kala itu merupakan Ketua Umum Partai Demokrat, sudah dua tahun ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek P3SON Hambalang.

 

Kasus korupsi yang menimpa para bintang iklan antikorupsi itu berawal dari penetapan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin sebagai tersangka kasus korupsi sejumlah proyek di Kemenpora dan Kemendiknas. Dalam berbagai kesempatan pemeriksaan di KPK sampai persidangan, Nazaruddin menyebut Anas, Anggelina, dan Andi terlibat korupsi proyek Hambalang, Wisma Atlet, dan juga proyek pembangunan gedung perguruan tinggi. Dari ketiga orang itu, baru Andi yang sudah bebas dari penjara.

 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sejak awal berdirinya di tahun 1999 mengusung jargon Bersih dan Peduli pun tak luput dari jerat korupsi. Pada akhir Januari 2013, Presiden PKS (kala itu) Luthfi Hasan Ishaaq, ditahan KPK karena terlibat suap pemberian rekomendasi kuota impor daging pada Kementerian Pertanian.

 

Demokrasi elitis

 

Profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, berpandangan, maraknya korupsi yang dilakukan pejabat publik yang mengaku antikorupsi merupakan fenomena dari paham demokrasi elitis. Salah satu ciri khas demokrasi elitis adalah menjual janji untuk mendapatkan kekuasaan.

 

”Itu merupakan fenomena dari democratic elistism, satu demokrasi yang sangat elitis. Dalam rangka mendapatkan legitimasi atau dukungan, tentu dia harus menjual janji. Menjual janji itu ciri khas democratic elitism,” kata Syarif.

 

Dalam praktik demokrasi elitis, para elite atau politisi memperoleh kekuasaan melalui mekanisme demokrasi, seperti pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Namun, untuk memperoleh dukungan dan memenangkan kontestasi, para elite rela melakukan berbagai macam cara, termasuk membeli suara.

 

Upaya pertama yang dilakukan untuk memperoleh kekuasaan adalah melakukan politik populis, seperti memanipulasi isu primordialisme. Jika upaya itu dirasa tidak cukup untuk menarik dukungan suara, maka melakukan politik uang dengan membeli suara menjadi pilihan.

 

”Itulah yang kemudian menyebabkan mereka terjebak korupsi,” kata Syarif.

 

Sebab, saat menjalankan politik populis, politisi pasti menebar janji yang harus dipenuhi saat kekuasaan sudah di tangan. Begitu pula saat mempraktikkan politik transaksional, politisi akan mengeluarkan modal yang harus dikembalikan.

 

Akibatnya visi yang disampaikan saat kampanye, seperti antikorupsi, prorakyat, dan berpihak kepada rakyat, hanya menjadi dokumen belaka. Pada akhirnya, untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan, mereka pun rela menyelewengkan kekuasaan yang sudah didapat, baik modal untuk membeli suara maupun modal untuk memperoleh dukungan dan promosi dari parpol sebagai kendaraan politik.

 

Praktik korupsi pejabat publik pun menjadi jamak karena parpol pun menuntut kontribusi yang biasanya berbentuk dana ataupun kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. ”Jadi, setelah menjadi pejabat publik pun, mereka harus mengisi ulang (dana) untuk parpol,” kata Syarif.

 

Karena itu, jalan keluar utama untuk memutus praktik korupsi di kalangan pejabat publik adalah dengan membenahi parpol karena parpol merupakan dapur semua pejabat dan elite negeri. Oligarki di tubuh parpol harus dihilangkan karena merupakan akar dari politik berbiaya tinggi.

 

Jika semua parpol di negeri ini telah membebaskan diri dari praktik oligarki, iklan antikorupsi tak akan diplesetkan menjadi ”Katakan tidak, padahal korupsi”. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar