Selasa, 12 Desember 2017

Manisnya Memelihara Sengkarut Beras

Manisnya Memelihara Sengkarut Beras
Enny Sri Hartati ;  Direktur Eksekutif Institute for
Development of Economics and Finance
                                                    KOMPAS, 11 Desember 2017



                                                           
Di zaman now, ketika pasar global semakin terbuka, hampir seluruh penjuru dunia telah memasuki kompetisi era milenial dengan memanfaatkan teknologi digital. Mereka berlomba menciptakan berbagai kreativitas dan mengadu inovasi agar menciptakan efisiensi. Setiap negara menyusun berbagai regulasi agar tidak tersisih dari pertarungan global yang sengit. Berbagai upaya perlindungan kepentingan dalam negeri pasti tetap menjadi tujuan utama.

Insentif dan fasilitas diberikan untuk memaksimalkan ketahanan produk dalam negeri. Ini masih dibarengi upaya menghadang serbuan produk impor dengan menerapkan dan mencari berbagai celah agar menjadi hambatan perdagangan. Sebaliknya, apa yang terjadi dengan regulasi di Indonesia? Para pelaku ekonomi di dalam negeri justru dihadang berbagai aturan dan kebijakan yang rumit sehingga mengikat ruang gerak, sementara barang-barang impor bebas melenggang hampir tanpa hambatan.

Dengan dalih menstabilkan harga beras, pemerintah menetapkan berbagai aturan, mulai dari harga pembelian pemerintah (HPP) hingga harga eceran tertinggi (HET). HPP dimaksudkan untuk melindungi kepentingan petani agar harga tidak jatuh ketika panen. Pemerintah menugaskan Perum Bulog untuk mengawal kebijakan itu melalui Inpres 5/2015 dengan menetapkan HPP gabah kering panen (GKP) Rp 3.700 per kilogram. Ironisnya, sekalipun HPP dinaikkan, harga gabah di pasar selalu lebih tinggi daripada HPP. Celakanya, tidak banyak petani yang mampu memenuhi standar yang ditetapkan Bulog. Akibatnya, Bulog tetap tidak mampu menyerap gabah petani dan harga yang diterima petani tetap dibawah HPP.

Artinya, kebijakan perlindungan yang berbaju HPP itu bisa jadi justru menimbulkan distorsi pasar. HPP menjadi senjata untuk menekan harga di level petani. Dengan posisi tawar petani yang lemah, jaringan pemilik modal besar menjadi pemenang persaingan. Apalagi, dengan penetapan HET oleh pemerintah, penggilingan kecil dengan mudah akan dilibas karena skala ekonominya pasti tidak akan mampu bersaing dengan penggilingan besar. Para pedagang pengepul pun hanya akan menjadi perpanjangan tangan para pemain besar. Tidak mengherankan jika pasokan beras dikuasai oleh pedagang besar. Akibatnya, pedagang besar mampu mengendalikan harga (price maker) sehingga terjadi disparitas harga yang tinggi antara harga gabah yang diterima petani dan harga beras yang harus dibayar konsumen.

Melihat fenomena tersebut, pemerintah per September 2017 menetapkan HET beras medium dan premium. HET juga dibedakan berdasarkan wilayah edar, yaitu sentra konsumsi dan sentra produksi. HET beras medium di sentra produksi sebesar Rp 9.450 per kg, dan di sentra konsumsi Rp 9.950- Rp 10.250 per kg. Sementara HET beras premium di sentra produksi Rp 12.800 per kg.

Sekalipun pemerintah telah menetapkan HET, harga beras justru merangkak naik. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan rata-rata harga beras medium nasional naik. Selama tiga bulan berturut-turut, harga naik dari Rp 10.635 per kg pada September menjadi Rp 10.704 per kg pada Oktober, dan Rp 10.794 per kg pada November.

Pasokan dan kebutuhan

Padahal, di dalam teori maupun dan kondisi pasar mana pun, harga itu kuncinya sederhana, yaitu keseimbangan pasokan dan kebutuhan. Artinya, jika harga ingin stabil, upaya meningkatkan produktivitas agar pasokan cukup menjadi faktor penentu. Kebijakan yang memberikan insentif ekonomi terhadap petani akan menjadi rangsangan petani tertarik memberdayakan sektor pertanian. Jika kemampuan fiskal pemerintah terbatas, minimal tidak ada kebijakan yang mendistrorsi dan mengganggu petani. Pemerintah cukup membuat regulasi agar terjadi persaingan yang sehat dengan tidak mematikan usaha kecil menengah.

Sekalipun Kementerian Pertanian mengklaim telah menambah luas tanam padi hingga 1 juta hektar selama Juli-September 2017, itu tidak mampu langsung menggaransi terjadi peningkatan 6 juta ton padi per bulan. Proyek pembukaan lahan secara besar-besaran yang pernah dilakukan ternyata tidak efektif. Lahan bekas hutan belum tentu cocok untuk ditanami padi. Pembabatan hutan menghilangkan predator alami hama sehingga risiko padi terserang hama juga lebih besar. Belum lagi, ada risiko gagal panen akibat bencana di sejumlah daerah.

Kemampuan pemerintah memiliki cadangan beras juga sangat terbatas. Idealnya, pemerintah memiliki cadangan minimal 2 juta ton, sementara kemampuan Bulog menyerap beras sebagai cadangan pemerintah hanya sekitar 1 juta ton. Pendek kata, dengan terbatasnya instrumen dan kemampuan fiskal pemerintah, efektivitas kebijakan komando melalui HPP dan HET justru berpotensi mendistorsi keseimbangan pasar.

Karena itu, setiap kementerian sebaiknya membuat kebijakan agar fungsi dan tugas utamanya tercapai. Kementerian Pertanian seharusnya berkonsentrasi meningkatkan produktivitas yang konkret dengan akurasi data, bukan berdasarkan data yang semu. Kementerian Perdagangan fokus memperbaiki rantai pasok yang panjang agar jalur perdagangan lebih efisien. Membangun dan memperkuat kelembagaan pertanian justru memiliki kontribusi yang lebih konkret dalam meningkatkan kesejahteraan petani.

Jika tidak, sengkarut beras akan tetap abadi dan hanya dinikmati para pemburu rente ekonomi, sementara melambungnya harga beras jelas akan semakin memperlemah daya beli masyarakat. Di samping sebagai produsen beras, petani juga net konsumen beras. Alih-alih bisa berdampak pada stabilitas harga beras, bisa jadi justru masalah gizi buruk yang semakin meningkat. Perlu diingat, kini persoalan gizi buruk telah meningkat dari 17,9 persen (2010) menjadi 19,6 persen. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar