Jokowi
dan Penataan Undang-Undang
Feri Amsari ; Direktur Pusat Studi
Konstitusi (PUSaKO) dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Andalas; Peserta The 6th Knowledge Co-Creation Program for Practice on
Drafting and Vetting, Tokyo-Jepang
|
DETIKNEWS,
29 November
2017
Presiden Joko Widodo meminta agar DPR
membatasi jumlah perundang-undangan. Pembatasan jumlah itu dianggap akan
menghilangkan kerumitan penyelenggaraan pemerintahan dan memudahkan urusan
ekonomi dan bisnis. Menurut Presiden, DPR cukup menghasilkan 3 hingga 4 UU
saja setiap tahunnya dengan menjauhi pembentukan perundang-undangan yang
transaksional.
Apabila ditinjau dari sisi politik hukum pembentukan
perundang-undangan, pendapat Jokowi itu sulit dibantah. Transaksional dalam
pembentukan perundang-undangan oleh DPR dan Pemerintah acapkali menghasilkan
UU tidak berkualitas. Tidak hanya multi-tafsir, UU juga menciptakan masalah
baru karena berbenturan dengan UU lain.
Contoh yang menarik adalah benturan antara
rezim UU Pemilu. Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ternyata
berbenturan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 Jo UU Nomor 8 Tahun 2015 Jo UU Nomor
10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
Misalnya, kedua rezim UU Pemilu tersebut berbeda mengatur mengenai jumlah
anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Jumlah PPK diatur berbeda; UU Pemilu
mengatur sebanyak 3 orang PPK, sedangkan UU Pilkada mengatur harus 5 orang.
Bahkan UU Pemilu juga bertentangan dengan UU Pemerintahan Aceh (PA) mengenai
jumlah pengawas pemilihan umum. UU PA menentukan jumlah pengawas pemilu
sebanyak 5 orang, sedangkan UU Pemilu mengurangi menjadi 3. Padahal UU PA
merupakan bagian dari keistimewaan Aceh.
Selain UU yang bermasalah, peraturan lain di
bawah UU juga tidak tertata dengan baik --untuk tidak terlalu kasar menyebut
"berantakan". Permasalahan dalam sektor bisnis tidak saja karena UU
yang ambigu dan tumpang tindih, tetapi juga karena tidak harmonisnya
peraturan antarkementerian.
Disharmonisnya peraturan antarkementerian
bukan tidak mungkin karena gagalnya koordinasi di dalam kabinet. Beberapa
kasus penting memperlihatkan kegagalan koordinasi itu. Misalnya dalam
berbagai kasus konflik agraria, masing-masing Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral memiliki aturan yang terkait agraria. Akibatnya,
penyelesaian konflik agraria memiliki banyak "pintu penyelesaian"
yang membingungkan.
Kondisi yang sama juga terjadi dalam dunia
bisnis. Contohnya dalam dunia bisnis gula rafinasi dan gula tebu, terdapat
pengaturan yang tidak senada mengenai gula yang diatur dalam Peraturan Badan
Koordinator Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian
Kehutanan, dan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Masalah
yang sama juga terjadi pada cabang-cabang bisnis dan lapangan penyelenggaraan
negara lainnya.
Lembaga Penata Regulasi
Tumpang-tindihnya UU dan peraturan di
bawahnya bukan yang masalah sulit untuk diselesaikan. Sepanjang terdapat
koordinasi dalam rancangan, pembahasan, dan pembentukan peraturan
perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan yang disahkan pasti akan
jauh lebih tertib.
Presiden semestinya telah memiliki tim
khusus untuk menata peraturan yang ada. Setidaknya keberadaan staf penyusun
dan perancang (Suncang) yang berada pada Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen PP Kemenkumham) dapat
dimaksimalkan oleh Presiden untuk melakukan penataan tersebut.
Kerumitan penataan juga berkaitan dengan
tumpang-tindihnya kelembagaan yang semestinya melakukan penataan peraturan
perundang-undangan. Pada era Orde Baru dibentuk Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) untuk menata peraturan yang sebelumnya merupakan lembaga yang
dibentuk khusus untuk itu. Namun karena tidak terlalu efektif, maka dilebur
di bawah Kemenkumham.
Keberadaan BPHN sesungguhnya tidak efektif
karena menciptakan dualisme kelembagaan karena Kemenkumham telah memiliki
Dirjen PP yang tugas dan kewenangannya dapat disatukan. Jika peran Dirjen PP
diperkuat, misalnya dengan memberikan kewenangan untuk menata peraturan
perundang-undangan pada wilayah eksekutif di tingkat nasional dan daerah,
maka tumpang tindih dan benturan antarperaturan perundang-undangan dapat
dihindari.
Selain usul tersebut di atas, beberapa pakar
seperti Zainal Arifin Mochtar mengusulkan Dirjen PP dapat diletakkan langsung
di bawah Presiden. Pandangan Zainal itu mirip dengan model Biro Legislasi
Kabinet Jepang yang langsung berada di bawah Perdana Menteri. Tugas Biro
Legislasi itu sederhana, yaitu memastikan tidak terdapat peraturan
perundang-undangan yang tumpang tindih dan tidak harmonis satu sama lainnya.
Setidaknya terhadap Dirjen PP dapat
diberikan dua tugas utama, yaitu: (i) memastikan harmonisasi antara UU,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri, serta
Peraturan Daerah. Dirjen PP tidak boleh luput dalam memastikan harmonisasi
antara peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama; (ii) memastikan
kesesuaian antara aturan di bawah UU terhadap UU.
Dengan kewenangan itu, peraturan
perundang-undangan hanya dapat dilanjutkan pembahasannya begitu check and
recheck peraturan itu diberikan tanda "hijau" oleh Dirjen PP.
Sebaliknya, apabila Dirjen PP menemukan ketidaksesuaian dan disharmonisnya
sebuah peraturan maka dapat memberikan tanda "merah" sebagai tanda
tidak perlu dilanjutkan pembahasannya. Bahkan bisa pula memberikan
persetujuan dengan catatan perbaikan.
Dengan menggunakan format penataan peraturan
semacam itu, Presiden menjadi lebih mudah dalam meminta pertanggungjawaban
jika terdapat peraturan yang tidak saling sesuai dan disharmonis karena
terdapat lembaga yang bertanggung-jawab untuk itu. Metode penataan peraturan
perundang-undangan yang diserahkan pada satu lembaga ini tidak pernah
diterapkan Presiden Indonesia. Jadi, bukan hanya "dosa" Presiden
Joko Widodo.
Jika Presiden Jokowi memilih pembenahan peraturan
perundang-undangan, maka penguatan lembaga yang paling bertanggung jawab
menata regulasi menjadi diperlukan. Perlu langkah sistematis untuk pembenahan
peraturan sebelum tindakan kerja, kerja, dan kerja dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar