Tanggung Jawab atas Kebudayaan
Conrad William Watson ; Professor School of Business and
Management, ITB;
Em. Professor, School of
Anthropology and Conservation, University of Kent, UK
|
KOMPAS,
08 September 2015
Bagi seorang antropolog yang profesinya
sehari-hari mengajar mahasiswa mengenai makna budaya dan kebudayaan,
pembahasan yang muncul di surat kabar belakangan ini sangat menggelikan.
Umpamanya polemik mengenai isi RUU Kebudayaan
yang tak kunjung habis. Ada orang berpendapat bahwa dengan adanya UU
tersebut, kebudayaan akan menjadi beku dan statis. Ada orang lain yang
berpendapat bahwa, kecuali ada UU, hasil kebudayaan—kesenian dan kearifan
bangsa—akan cepat musnah. Memandang perselisihan ini, para antropolog
menggeleng-gelengkan kepala: seakan-akan pemikiran yang mereka kemukakan
selama puluhan tahun, baik di perguruan tinggi maupun dalam buku-buku dan
esai-esai, tak pernah sampai ke khalayak ramai.
Sokongan pemerintah
Berkali-kali para antropolog membuktikan bahwa
kebudayaan (culture) ialah sesuatu yang dinamis, yang selalu berubah,
bukan sesuatu yang dapat diatur oleh UU. Akan tetapi, lepas dari tidak perlu
UU, antropolog cukup sadar bahwaada dua hal penting yang tetap mengaitkan
kebijakan pemerintah dengan kesehatan kebudayaan satu negara.
Pertama, untuk memberi semangat pada kegiatan
kesenian dan kebudayaan, pemerintah di mana pun harus memberikan sokongan
kepada kegiatan rombongan dan kelompok yang berkecimpung di bidang
kebudayaan: kelompok sandiwara, tarian, perfilman, kerajinan, tekstil, seni
rupa, pendidikan keilmuan setempat, dan sebagainya.Kalau tidak, mungkin
kegiatan-kegiatan ini akan habis napas, kalah oleh persaingan global.
Justru itu, misalnya, Pemerintah Perancis
memberikan subsidi kepada dunia perfilman di negaranya supaya ada
perlindungan dan supaya film AS tidak menjajah dan menjadi pilihan tunggal
bagi pengujung bioskop. Tetapi, perlu diperhatikan, dana yang diberi bukan
terutama untuk membekukan tradisi lama atau melestarikannya, tetapi justru
untuk mengembangkan tradisi yang hidup sekarang, yang berkembang dan terus
berubah.
Demikianlah, hasil dunia penciptaan seni
selalu harus dilindungi oleh pemerintah, termasuk pemerintah di Indonesia.
Tetapi bagaimana caranya?
Di sebagian besar negara, pemerintah
mendirikan dan mendanai badan-badan seperti Dewan Kesenian (Arts Council) yang mandiri dan bekerja
independen. Badan seperti ini disebut quango (quasi NGO),
bukan NGO (LSM) yang mutlak independen (dana toh dari pemerintah), tetapi
seakan-akan LSM di mana orang yang duduk di dewan tersebut bukan PNS,
melainkan orang yang pakar di bidangnya.
Contoh terkenal dari quango di
Inggris ialah BBC yang menjaga ketat independensinya. Contoh satu lagi
British Council.Jadi, Arts Council, sebagai quango, dialokasikan
dana yang lumayanbesar untukmembagi-baginya ke kelompok kesenian dan lembaga
yang membutuhkan sokongan untuk meneruskan kegiatan.
Namun, tidak semua kelompok yang meminta dana
dari Arts Council akan mendapatkannya. Permintaan dari semuanya akan
dipertimbangkan oleh anggota Arts Council dan stafnya karena pemberian dana
bergantung pada ”pertandingan” di antara para peminta. Baru sesudah
”perlombaan”, kelompok yang memenuhi kriteria bakal menerima subsidi.
Dengan demikian, jelas bahwa orang yang duduk
di dewan itu seharusnya orang berpengalaman dan mampu mempertimbangkan layak
tidak suatu kelompok menerima subsidi. Mereka juga orang yang bersedia
bertanggung jawab secara transparan atas keputusannya. Dalam hal ini tugas
pemerintah ialah memberikan dana memadai untuk keperluan ini dan juga
berhati-hati memilih orang yang akan menjadi anggota dewan: biasanya orang
yang diangkat ditugaskan selama periode tertentu: 1-3 tahun.
Kedua, yang perlu dipertimbangkan ialah
kebenaran pendapat orang yang khawatir mengenai musnahnya hasil dari kesenian
dan ciptaan kebudayaan lama, terutama yang berbentuk fisik: bangunan
arsitektur yang merupakan warisan (heritage); bekas peninggalan
sejarah; benda-benda kuno; patung-patung; lukisan; pakaian;tenunan; dan
buku-buku. Kecuali pemerintah mengambil tindakan tegas, lama- kelamaan hasil
ciptaan masa lampau itu akan hilang.
Justru karena itu, pemerintah yang bijak akan
mempergunakan anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendirikan
banyak museum dan perpustakaan agar mengelakkan kemungkinan ini. Tentu tidak
hanya mendirikannya, tetapi juga membekali dengan anggaran tahunan yang
mencukupi untuk prasarana dan perawatan dan untuk mengangkat cukup banyak
staf/pakar yang diberi pendidikan dan pelatihan yang tepat sebagai kurator
yang dapat menyelenggarakan tugasnya dengan tepat.
Tentu sajapendirian lembaga pelestarian
semacam ini bukan hanya tugas pemerintah pusat. Pemerintah daerah mesti ikut
memberi andil. Memang sekarang kita dapat menyaksikan bagaimana usaha ini
sudah dikerjakan di seluruh Indonesia,tetapidalam menanggapi kepentingan soal
ini—perhatikan minimnya alokasi dana untukkebudayaan—tampaknya keperluan
menyelamatkan warisan leluhur sering dianaktirikan.
Kemudian, kalaukita memperhatikan perkembangan
di Indonesia dewasa ini, tampaknya dari pihak swasta sudah terdapat banyak
usaha untuk mendirikan museum dan perpustakaan kecil. Salah satu contoh,
baru-baru ini diresmikan Perpustakaan Ajip Rosidi di Bandung.
Semestinya usaha swasta semacam ini juga
disokong pihak Dewan Kesenian di tingkat pusat dan tingkat daerah,
sebagaimana dijelaskan di atas. Sekali lagi bukan semua berhak mendapatkan
sokongan, tetapi cuma lembaga yang kinerjanya menurut anggota dewan memenuhi
syarat. Dengan cara demikian, mutu dijaga, serta lembaga dan kelompok swasta
tidak bergantung pada pemberian dari dermawan individu, walaupun peran orang
murah hati (seperti Rockefeller, Carnegie, Cadbury, Ondaatje) sangat penting
dalam mengembangkan kesenian dan merawat warisan sejarah negara.
Didukung anggaran
negara
Maka, secara teratur usaha untuk menjaga
warisan tradisi dan mengembangkan seni budaya sepatutnya didukung kuat oleh
anggaran negara. Bukan undang-undang yang dibutuhkan, melainkan perlembagaan
badan pemerintah dan non-pemerintah (quango) yang bertanggung jawab
atas kesehatan dan kehidupan ciptaan seni budaya.
Kebudayaan tak dapat diatur dengan hukum; ia
selalu akan hidup mandiri. Hanya orang di pemerintahan totaliter seperti
rezim Nazi dan rezim komunis di Uni Soviet dan Tiongkok masa Revolusi
Kebudayaan berpikir kebudayaan dapat diatur demikian. Dalam pemerintahan yang
berbentuk demokrasi,sastra, kesenian, dan sejarah akan diberi tempat
terhormat dan istimewa. Sebab, rakyat sadar bahwa masa depan suatu negara
sangat bergantung pada penjernihan pikiran dan ketulusan kepribadian yang
diutamakan orang/budayawan yang perlu kebebasan untuk terus memperjuangkan
peningkatan derajat manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar