Kamis, 10 September 2015

Tanggung Jawab atas Kebudayaan

Tanggung Jawab atas Kebudayaan

Conrad William Watson  ;  Professor School of Business and Management, ITB;
Em. Professor, School of Anthropology and Conservation, University of Kent, UK
                                                     KOMPAS, 08 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bagi seorang antropolog yang profesinya sehari-hari mengajar mahasiswa mengenai makna budaya dan kebudayaan, pembahasan yang muncul di surat kabar belakangan ini sangat menggelikan.
Umpamanya polemik mengenai isi RUU Kebudayaan yang tak kunjung habis. Ada orang berpendapat bahwa dengan adanya UU tersebut, kebudayaan akan menjadi beku dan statis. Ada orang lain yang berpendapat bahwa, kecuali ada UU, hasil kebudayaan—kesenian dan kearifan bangsa—akan cepat musnah. Memandang perselisihan ini, para antropolog menggeleng-gelengkan kepala: seakan-akan pemikiran yang mereka kemukakan selama puluhan tahun, baik di perguruan tinggi maupun dalam buku-buku dan esai-esai, tak pernah sampai ke khalayak ramai.
Sokongan pemerintah
Berkali-kali para antropolog membuktikan bahwa kebudayaan (culture) ialah sesuatu yang dinamis, yang selalu berubah, bukan sesuatu yang dapat diatur oleh UU. Akan tetapi, lepas dari tidak perlu UU, antropolog cukup sadar bahwaada dua hal penting yang tetap mengaitkan kebijakan pemerintah dengan kesehatan kebudayaan satu negara.
Pertama, untuk memberi semangat pada kegiatan kesenian dan kebudayaan, pemerintah di mana pun harus memberikan sokongan kepada kegiatan rombongan dan kelompok yang berkecimpung di bidang kebudayaan: kelompok sandiwara, tarian, perfilman, kerajinan, tekstil, seni rupa, pendidikan keilmuan setempat, dan sebagainya.Kalau tidak, mungkin kegiatan-kegiatan ini akan habis napas, kalah oleh persaingan global.
Justru itu, misalnya, Pemerintah Perancis memberikan subsidi kepada dunia perfilman di negaranya supaya ada perlindungan dan supaya film AS tidak menjajah dan menjadi pilihan tunggal bagi pengujung bioskop. Tetapi, perlu diperhatikan, dana yang diberi bukan terutama untuk membekukan tradisi lama atau melestarikannya, tetapi justru untuk mengembangkan tradisi yang hidup sekarang, yang berkembang dan terus berubah.
Demikianlah, hasil dunia penciptaan seni selalu harus dilindungi oleh pemerintah, termasuk pemerintah di Indonesia. Tetapi bagaimana caranya?
Di sebagian besar negara, pemerintah mendirikan dan mendanai badan-badan seperti Dewan Kesenian (Arts Council) yang mandiri dan bekerja independen. Badan seperti ini disebut quango (quasi NGO), bukan NGO (LSM) yang mutlak independen (dana toh dari pemerintah), tetapi seakan-akan LSM di mana orang yang duduk di dewan tersebut bukan PNS, melainkan orang yang pakar di bidangnya.
Contoh terkenal dari quango di Inggris ialah BBC yang menjaga ketat independensinya. Contoh satu lagi British Council.Jadi, Arts Council, sebagai quango, dialokasikan dana yang lumayanbesar untukmembagi-baginya ke kelompok kesenian dan lembaga yang membutuhkan sokongan untuk meneruskan kegiatan.
Namun, tidak semua kelompok yang meminta dana dari Arts Council akan mendapatkannya. Permintaan dari semuanya akan dipertimbangkan oleh anggota Arts Council dan stafnya karena pemberian dana bergantung pada ”pertandingan” di antara para peminta. Baru sesudah ”perlombaan”, kelompok yang memenuhi kriteria bakal menerima subsidi.
Dengan demikian, jelas bahwa orang yang duduk di dewan itu seharusnya orang berpengalaman dan mampu mempertimbangkan layak tidak suatu kelompok menerima subsidi. Mereka juga orang yang bersedia bertanggung jawab secara transparan atas keputusannya. Dalam hal ini tugas pemerintah ialah memberikan dana memadai untuk keperluan ini dan juga berhati-hati memilih orang yang akan menjadi anggota dewan: biasanya orang yang diangkat ditugaskan selama periode tertentu: 1-3 tahun.
Kedua, yang perlu dipertimbangkan ialah kebenaran pendapat orang yang khawatir mengenai musnahnya hasil dari kesenian dan ciptaan kebudayaan lama, terutama yang berbentuk fisik: bangunan arsitektur yang merupakan warisan (heritage); bekas peninggalan sejarah; benda-benda kuno; patung-patung; lukisan; pakaian;tenunan; dan buku-buku. Kecuali pemerintah mengambil tindakan tegas, lama- kelamaan hasil ciptaan masa lampau itu akan hilang.
Justru karena itu, pemerintah yang bijak akan mempergunakan anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendirikan banyak museum dan perpustakaan agar mengelakkan kemungkinan ini. Tentu tidak hanya mendirikannya, tetapi juga membekali dengan anggaran tahunan yang mencukupi untuk prasarana dan perawatan dan untuk mengangkat cukup banyak staf/pakar yang diberi pendidikan dan pelatihan yang tepat sebagai kurator yang dapat menyelenggarakan tugasnya dengan tepat.
Tentu sajapendirian lembaga pelestarian semacam ini bukan hanya tugas pemerintah pusat. Pemerintah daerah mesti ikut memberi andil. Memang sekarang kita dapat menyaksikan bagaimana usaha ini sudah dikerjakan di seluruh Indonesia,tetapidalam menanggapi kepentingan soal ini—perhatikan minimnya alokasi dana untukkebudayaan—tampaknya keperluan menyelamatkan warisan leluhur sering dianaktirikan.
Kemudian, kalaukita memperhatikan perkembangan di Indonesia dewasa ini, tampaknya dari pihak swasta sudah terdapat banyak usaha untuk mendirikan museum dan perpustakaan kecil. Salah satu contoh, baru-baru ini diresmikan Perpustakaan Ajip Rosidi di Bandung.
Semestinya usaha swasta semacam ini juga disokong pihak Dewan Kesenian di tingkat pusat dan tingkat daerah, sebagaimana dijelaskan di atas. Sekali lagi bukan semua berhak mendapatkan sokongan, tetapi cuma lembaga yang kinerjanya menurut anggota dewan memenuhi syarat. Dengan cara demikian, mutu dijaga, serta lembaga dan kelompok swasta tidak bergantung pada pemberian dari dermawan individu, walaupun peran orang murah hati (seperti Rockefeller, Carnegie, Cadbury, Ondaatje) sangat penting dalam mengembangkan kesenian dan merawat warisan sejarah negara.
Didukung anggaran negara
Maka, secara teratur usaha untuk menjaga warisan tradisi dan mengembangkan seni budaya sepatutnya didukung kuat oleh anggaran negara. Bukan undang-undang yang dibutuhkan, melainkan perlembagaan badan pemerintah dan non-pemerintah (quango) yang bertanggung jawab atas kesehatan dan kehidupan ciptaan seni budaya.
Kebudayaan tak dapat diatur dengan hukum; ia selalu akan hidup mandiri. Hanya orang di pemerintahan totaliter seperti rezim Nazi dan rezim komunis di Uni Soviet dan Tiongkok masa Revolusi Kebudayaan berpikir kebudayaan dapat diatur demikian. Dalam pemerintahan yang berbentuk demokrasi,sastra, kesenian, dan sejarah akan diberi tempat terhormat dan istimewa. Sebab, rakyat sadar bahwa masa depan suatu negara sangat bergantung pada penjernihan pikiran dan ketulusan kepribadian yang diutamakan orang/budayawan yang perlu kebebasan untuk terus memperjuangkan peningkatan derajat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar