Masyarakat dan Penanggulangan Asap
Sridewanto Edi Pinuji ; Pelajar pada Master of Environmental
Management and Development Australian National University
|
KOMPAS,
15 September 2015
Setiap tahun, warga di
kawasan Sumatera dan Kalimantan menderita karena kebakaran hutan dan lahan. Penyebab
bencana asap telah diketahui dan berbagai upaya telah dilakukan untuk
memadamkan. Namun, bencana tersebut selalu berulang dan menjadi hajat tahunan
republik ini.
Manusia adalah
penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Kondisi makin parah karena faktor
kemarau dan fenomena El Nino yang mempermudah dan memperluas penyebaran api.
Oknum-oknum pembakar
hutan dan lahan jelas memiliki motif ekonomi. Pertama, karena metode inilah
yang paling murah. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
pembukaan lahan dengan membakar hanya perlu biaya Rp 600.000-Rp 800.000 per
hektar, sedangkan tanpa bakar Rp 3,5 juta-Rp 5 juta.
Motif kedua berkaitan
dengan harga lahan, yaitu melonjaknya harga lahan setelah dibakar. Hasil
penelitian Cifor menunjukkan, harga lahan sebelum dibakar Rp 8 juta dan
setelah pembakaran Rp 11 juta.
Cifor mencatat, para
pihak terkait pembakaran hutan dan lahan adalah kelompok tani, pengklaim
lahan, perantara penjual lahan, dan investor sawit. Seiring dengan
peningkatan industri sawit, pembakaran hutan dan lahan akan terus terjadi.
Selain motif ekonomi
dari sejumlah pihak, kebakaran lahan dan hutan juga terjadi karena
ketidakpatuhan. Tahun 2014, dibentuk Tim Gabungan Audit Kepatuhan yang terdiri
dari Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan
Hidup, BP REDD+, UKP4, dan para ahli serta asisten teknis. Tim ini bertujuan
mendapatkan informasi tingkat kepatuhan perusahaan dan pemerintah daerah. Tim
juga mencoba menemukan akar persoalan dan pemenuhan kewajiban dari perusahaan
dan pemerintah daerah dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan sekaligus
rekomendasi pengawasan.
Hasilnya adalah ada
ketidakpatuhan baik yang dilakukan perusahaan dan pemerintah daerah.
Perusahaan tidak patuh karena adanya lahan gambut di wilayah konsesi,
perusahaan tidak mampu menjaga wilayah konsesinya karena berbenturan dengan
kepentingan masyarakat yang tinggal di sana, tidak ada laporan dari
perusahaan yang mempermudah deteksi sebelum kebakaran, dan perusahaan tidak
memiliki sarana prasarana dan sumber daya manusia untuk pencegahan.
Di sisi lain,
pemerintah daerah juga tidak patuh karena pengawasan terhadap perusahaan
tidak optimal, tidak ada perlindungan dalam tata ruang, tidak ada dukungan untuk
pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB), dan kurangnya dukungan anggaran.
Masyarakat sudah
dilibatkan untuk menghadapi kebakaran lahan dan hutan, tetapi masih terdapat
beberapa kendala. Pertama, wilayah yang dikelola Manggala Agni terlalu luas.
Kedua, pemberdayaan masyarakat peduli api belum optimal karena belum ada di
semua daerah dan tidak dilengkapi dengan peralatan memadai.
Dampak kebakaran
Asap karena kebakaran
hutan dan lahan berdampak pada kesehatan dan ekonomi masyarakat. Ribuan warga
menderita infeksi saluran pernapasan akut. Asap tebal juga mengganggu jarak
pandang dan penerbangan sehingga warga kesulitan beraktivitas. Dari sisi
ekonomi, data kerugian mencapai Rp 20 triliun.
Selain pada manusia,
kebakaran hutan dan lahan juga berdampak pada lingkungan, keanekaan hayati,
dan pemanasan global. Cifor mengungkapkan, pembakaran hutan akan menyebabkan
krisis lingkungan dan hilangnya sumber air. Yang lebih penting lagi,
penyusutan keragaman hayati setelah kebakaran hutan dan lahan yang tidak
terkendali. Kebakaran juga melepaskan gas karbon ke atmosfer 1,5 ton-2 ton
yang akan memperparah peningkatan suhu bumi.
Upaya mengatasi
Pemerintah telah
melakukan berbagai upaya memadamkan api. BNPB, misalnya, mempunyai empat
langkah. Langkah itu meliputi pemadaman dari udara dengan hujan buatan dan
bom air; pemadaman di darat oleh tim gabungan BPBD, Manggala Agni, TNI,
Polri, MPA, dan masyarakat; penegakan hukum; serta pelayanan kesehatan dan
sosialisasi.
Selain berbagai upaya
oleh BNPB, tahun 2014, Tim Gabungan Audit Kepatuhan juga memberikan beberapa
rekomendasi. Hal itu berupa perbaikan kebijakan, pelaksanaan evaluasi
konsesi, penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam resolusi konflik lahan,
pembinaan dan pengawasan berjenjang, pemberdayaan masyarakat, dukungan PLTB,
dan insentif.
Berbagai upaya
pemerintah menunjukkan hasil menggembirakan dan dapat memadamkan api pada
tahun berjalan. Namun, tahun berikutnya, kebakaran kembali terjadi dengan
penyebab sama dan dampak makin luas. Sudah waktunya penanggulangan bencana
asap memasuki babak baru.
Peran masyarakat
Masyarakat sebagai
pihak paling dekat dan terdampak langsung kebakaran bisa menjadi jalan
keluar. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berada di lokasi ketika
bencana terjadi. Namun, setelah teratasi, mereka segera pergi. Maka,
masyarakat di lokasi hendaknya bisa mencegah pembakaran lahan dan hutan agar
tidak menjadi bencana.
Peran serta masyarakat
untuk mencegah bencana kebakaran lahan dan hutan bisa dimulai dari tingkat
desa. Masyarakat Desa Harapan Jaya, Kecamatan Tempuling, Kabupaten Indragiri
Hilir, Riau, telah memiliki Peraturan Desa Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan. Peraturan desa ini lahir karena
keprihatinan warga terhadap dampak kebakaran hutan dan lahan serta melihat
penegakan peraturan daerah di tingkat provinsi yang lemah.
Dalam peraturan desa
tersebut diatur dengan jelas dan tegas bahwa setiap warga masyarakat yang
membakar lahan dan mengakibatkan kebun/ladang tetangga ikut terbakar akan
mendapat sanksi. Besaran sanksi adalah sebagai berikut. Membakar tanaman
karet didenda Rp 100.000/batang dan tanaman sawit Rp 350.000/batang. Aturan
tersebut terbukti ampuh dan sudah ada warga yang membayar denda Rp 20 juta.
Dalam mekanisme ini, pemerintah daerah tidak menerima denda, hanya sebagai
pihak penengah.
Peraturan Desa Harapan
Jaya memberikan pelajaran bagi penanggulangan bencana kebakaran hutan dan
lahan. Pertama, masyarakat dengan inisiatif sendiri bisa bekerja sama untuk
menghukum warga yang membakar lahan tanpa kendali. Kedua, mekanisme denda
atau sanksi ampuh untuk memberikan efek jera kepada para pembakar. Namun,
kendati peraturan desa itu ampuh, cakupannya hanya terbatas pada administrasi
desa dan tidak berdaya untuk menghukum perusahaan yang membakar lahan.
Maka, kiranya hal ini
bisa ditindaklanjuti pemerintah pusat dan daerah agar kebakaran tidak terus
berulang setiap tahun. Pertama, partisipasi masyarakat harus ditingkatkan,
terutama untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di lingkungannya, dengan
pelatihan dan penyediaan sarana dan prasarana pemadaman.
Kedua, kemitraan
antara perusahaan dan masyarakat perlu dijalin oleh pemerintah daerah agar
tidak timbul konflik.
Ketiga, memberlakukan
mekanisme denda kepada perusahaan yang wilayah konsesinya terbakardengan
perhitungan denda per hektar. Sistem denda ini akan efektif karena efek jera
dan kecepatan dalam pelaksanaannya dibandingkan upaya pidana atau perdata.
Keempat, mengembangkan
teknologi tepat guna untuk menggantikan metode pembakaran lahan. Kelima, jika
metode membakar masih tetap menjadi pilihan, hal itu harus terkendali dan
diawasi dengan ketat agar tidak meluas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar