Selasa, 08 September 2015

Aylan Kurdi

Aylan Kurdi

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 06 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Aylan Kurdi. Bocah 3 tahun itu, hingga Selasa lalu, bukan siapa-siapa. Ia anak kedua pasangan Abdullah Kurdi dan Rehan Kurdi. Anak pertama mereka diberi nama Galip Kurdi (5). Mereka adalah orang Kurdi yang tinggal di Kobani.

Kobani, kota di perbatasan antara Suriah dan Turki. Kota yang masuk Provinsi Aleppo, Suriah utara, adalah kota lama yang sering juga disebut Ayn al-Arab. Kobani sebenarnya adalah nama sebuah perusahaan Jerman yang membangun jaringan rel kereta api Konya-Baghdad pada 1911. Pada 1980-an, saat Hafez al-Assad berkuasa di Suriah, nama Kobani diubah menjadi Ayn al-Arab sebagai usaha untuk Arabisasi.

Sejak Rabu lalu, kisah Aylan Kurdi mendunia. Semua itu gara-gara foto: foto Aylan tertelungkup di pantai dekat kota wisata Bodrum, Turki barat daya. Foto itu memperlihatkan bocah kecil berbaju kaus warna merah cerah, bercelana pendek, dan bersepatu. Wajah bocah kecil itu mencium pasir pantai yang basah. Badannya tidak hanya basah, tetapi juga sudah dingin. Badan itu sudah tak bernyawa lagi. Tewas!

Kematian Aylan mengguncang dunia setelah fotonya tersebar luas. Ia tewas. Galip tewas. Rehan juga tewas. Mereka tewas ketika tengah berusaha mewujudkan mimpinya pergi ke Jerman. Mereka tewas ketika meninggalkan kampung halamannya di Kobani yang hancur. Kobani yang sebelumnya berpenduduk sekitar 45.000 orang-Kurdi, Arab, Turkoman, dan Armenia-selama enam bulan dua hari (13 September 2014-15 Maret 2015) dikepung oleh kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Penduduk kota itu kabur mencari selamat, begitu pula keluarga Abdullah. Beberapa bulan lalu, 11 anggota keluarga Abdullah tewas dibunuh NIIS.

Apakah kematian tragis Aylan Kurdi, juga saudara dan ibunya, benar-benar akan membuka mata dunia, mata negara-negara maju, mata dan hati para pemimpin negara Eropa, mata orang-orang beradab bahwa tragedi kemanusiaan akibat perang sudah demikian tak terkira? Ratusan ribu orang menerjang perbatasan dan berusaha menundukkan laut untuk masuk ke Eropa. Lebih dari 2.500 orang di antaranya tewas saat menggapai mimpi. Ratusan ribu orang mati akibat perang. Ratusan ribu lainnya terluka.

Bukan tidak mungkin tragedi seperti yang dialami Aylan akan terjadi dan terjadi lagi. Gelombang manusia mencari selamat akan terus terjadi selama kekerasan, perang, teror, dan segala macam tindakan penghinaan terhadap rasa kemanusiaan masih terus terjadi di Suriah, Irak, Libya, dan sejumlah negara lainnya yang dikuasai nafsu kekerasan.

Di Suriah dan Irak, jelas, bahwa tindakan brutal NIIS yang menjadi pemicu terjadinya gelombang migran. Rasa sakit sebagai akibat tindak kekerasan dapat ditemukan dalam batin orang-orang Suriah-juga Irak, Libya, dan banyak negara di Afrika yang nekat berimigrasi ke Eropa-tersimpan seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat muncul secara tiba-tiba dalam kemarahan sporadis.

Dunia telah kehilangan hatinya. Perasaan "kita semua bersaudara" seperti yang diungkapkan Mahatma Gandhi dan ungkapan Ahimsa, berjuang tanpa kekerasan, punah. NIIS, misalnya, tidak mengenal kata "berjuang tanpa kekerasan" karena ideologi mereka adalah kekerasan dan teror. Mereka tidak mengenal istilah rasa kesetiakawanan, tidak mengenal cinta kasih. Padahal, cinta kasih menjadi kekuatan yang mendorong sekaligus berperan sebagai perekat dalam kesatuan tanpa ada dimensi diskriminatif. Apabila setiap orang mengedepankan cinta kasih, tidak akan ada lagi kebencian dan perang.

Namun, nyatanya ada anak seperti Aylan yang tewas dalam mimpi di pantai. Bolehkah anak tidak bersalah seperti mereka itu-dan masih banyak lagi anak-anak tidak bersalah di dan dari Suriah, Irak, Libya, negara-negara Afrika-menderita dan mati karena keganasan orang-orang dewasa yang beku hatinya. Mengapa anak-anak itu harus dilibatkan dalam penderitaan dan mengalami kematian tragis? Mengapa NIIS, sebagai contoh, membangun masa depan di atas penderitaan dan kematian anak-anak dan genangan air mata ribuan anak-anak?

Itulah yang kita saksikan sekarang. Sejarah seperti berulang: rezim-rezim revolusioner yang menegakkan terorisme dan kekerasan membenarkan penderitaan manusia demi masa depan, keadilan di dunia menurut gambaran mereka. Itulah akar dari otoritarianisme dan totalitarisme, seperti Nazisme atau Stalinisme di zaman modern, yang sangat kejam, brutal, dan nihilistis terhadap kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar