Aylan Kurdi
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
06 September 2015
|
Aylan Kurdi. Bocah 3 tahun itu, hingga Selasa lalu, bukan
siapa-siapa. Ia anak kedua pasangan Abdullah Kurdi dan Rehan Kurdi. Anak
pertama mereka diberi nama Galip Kurdi (5). Mereka adalah orang Kurdi yang
tinggal di Kobani.
Kobani, kota di perbatasan antara Suriah dan Turki. Kota yang
masuk Provinsi Aleppo, Suriah utara, adalah kota lama yang sering juga
disebut Ayn al-Arab. Kobani sebenarnya adalah nama sebuah perusahaan Jerman
yang membangun jaringan rel kereta api Konya-Baghdad pada 1911. Pada 1980-an,
saat Hafez al-Assad berkuasa di Suriah, nama Kobani diubah menjadi Ayn
al-Arab sebagai usaha untuk Arabisasi.
Sejak Rabu lalu, kisah Aylan Kurdi mendunia. Semua itu gara-gara
foto: foto Aylan tertelungkup di pantai dekat kota wisata Bodrum, Turki barat
daya. Foto itu memperlihatkan bocah kecil berbaju kaus warna merah cerah,
bercelana pendek, dan bersepatu. Wajah bocah kecil itu mencium pasir pantai
yang basah. Badannya tidak hanya basah, tetapi juga sudah dingin. Badan itu
sudah tak bernyawa lagi. Tewas!
Kematian Aylan mengguncang dunia setelah fotonya tersebar luas.
Ia tewas. Galip tewas. Rehan juga tewas. Mereka tewas ketika tengah berusaha
mewujudkan mimpinya pergi ke Jerman. Mereka tewas ketika meninggalkan kampung
halamannya di Kobani yang hancur. Kobani yang sebelumnya berpenduduk sekitar
45.000 orang-Kurdi, Arab, Turkoman, dan Armenia-selama enam bulan dua hari
(13 September 2014-15 Maret 2015) dikepung oleh kelompok Negara Islam di Irak
dan Suriah (NIIS). Penduduk kota itu kabur mencari selamat, begitu pula
keluarga Abdullah. Beberapa bulan lalu, 11 anggota keluarga Abdullah tewas
dibunuh NIIS.
Apakah kematian tragis Aylan Kurdi, juga saudara dan ibunya,
benar-benar akan membuka mata dunia, mata negara-negara maju, mata dan hati
para pemimpin negara Eropa, mata orang-orang beradab bahwa tragedi
kemanusiaan akibat perang sudah demikian tak terkira? Ratusan ribu orang
menerjang perbatasan dan berusaha menundukkan laut untuk masuk ke Eropa.
Lebih dari 2.500 orang di antaranya tewas saat menggapai mimpi. Ratusan ribu
orang mati akibat perang. Ratusan ribu lainnya terluka.
Bukan tidak mungkin tragedi seperti yang dialami Aylan akan
terjadi dan terjadi lagi. Gelombang manusia mencari selamat akan terus
terjadi selama kekerasan, perang, teror, dan segala macam tindakan penghinaan
terhadap rasa kemanusiaan masih terus terjadi di Suriah, Irak, Libya, dan
sejumlah negara lainnya yang dikuasai nafsu kekerasan.
Di Suriah dan Irak, jelas, bahwa tindakan brutal NIIS yang
menjadi pemicu terjadinya gelombang migran. Rasa sakit sebagai akibat tindak
kekerasan dapat ditemukan dalam batin orang-orang Suriah-juga Irak, Libya,
dan banyak negara di Afrika yang nekat berimigrasi ke Eropa-tersimpan seperti
api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat muncul secara tiba-tiba dalam
kemarahan sporadis.
Dunia telah kehilangan hatinya. Perasaan "kita semua
bersaudara" seperti yang diungkapkan Mahatma Gandhi dan ungkapan Ahimsa,
berjuang tanpa kekerasan, punah. NIIS, misalnya, tidak mengenal kata
"berjuang tanpa kekerasan" karena ideologi mereka adalah kekerasan
dan teror. Mereka tidak mengenal istilah rasa kesetiakawanan, tidak mengenal
cinta kasih. Padahal, cinta kasih menjadi kekuatan yang mendorong sekaligus
berperan sebagai perekat dalam kesatuan tanpa ada dimensi diskriminatif.
Apabila setiap orang mengedepankan cinta kasih, tidak akan ada lagi kebencian
dan perang.
Namun, nyatanya ada anak seperti Aylan yang tewas dalam mimpi di
pantai. Bolehkah anak tidak bersalah seperti mereka itu-dan masih banyak lagi
anak-anak tidak bersalah di dan dari Suriah, Irak, Libya, negara-negara
Afrika-menderita dan mati karena keganasan orang-orang dewasa yang beku
hatinya. Mengapa anak-anak itu harus dilibatkan dalam penderitaan dan
mengalami kematian tragis? Mengapa NIIS, sebagai contoh, membangun masa depan
di atas penderitaan dan kematian anak-anak dan genangan air mata ribuan
anak-anak?
Itulah yang kita saksikan sekarang. Sejarah seperti berulang:
rezim-rezim revolusioner yang menegakkan terorisme dan kekerasan membenarkan
penderitaan manusia demi masa depan, keadilan di dunia menurut gambaran
mereka. Itulah akar dari otoritarianisme dan totalitarisme, seperti Nazisme
atau Stalinisme di zaman modern, yang sangat kejam, brutal, dan nihilistis
terhadap kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar