Membaca
Kembali Hoegeng, Tentang Kepemimpinan dan Integritas Arief Sulistyanto ; Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri |
TEMPO.CO, 16
Agustus 2021
Jenderal
(Polisi) Hoegeng Iman Santoso, Kepala
Kepolisian Republik Indonesia ke-5 adalah sejarah yang indah bagi institusi
kepolisian. Kepada “Pak Hoegeng” , saya dan tentunya seluruh anggota Polri di
seluruh Indonesia wajib menyampaikan hormat dan rasa bangga. Tidak hanya
sebagai mantan Kapolri, tapi atas jasanya meletakkan pondasi yang kuat bagi
institusi kepolisian dan bangsa yaitu integritas dan kejujuran serta
kesetiaan pada profesinya. Secara
pribadi, saya tidak mengenal secara langsung Kapolri yang menjabat dalam
periode 1968-1971. Namun nama beliau, Pak Hoegeng, demikian kami para
yuniornya di Polri selalu memanggil, sudah tertoreh dengan sangat rapi dalam
sanubari. Saya banyak membaca biografi Pak Hoegeng, buku sejarah kepolisian
dan berdiskusi dengan putra beliau. Dari banyak materi itu, saya sungguh
mengagumi karakter Pak Hoegeng, baik dalam kehidupan sehari-hari bersama
istri dan anak-anaknya, juga dalam pelaksanaan tugas sebagai anggota Polri.
Contoh ideal yang tak pernah lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Hoegeng memawarnai
tatanan nilai dan karakter yang baik bagi kami para anggota Polri. Sudah
tentu, tidak ada manusia yang sempurna, termasuk di dalamnya Pak Hoegeng.
Namun dari riwayat Pak Hoegeng dan para Kapolri penerusnya, kita bisa menarik pelajaran
berharga. Masing-masing dari mereka mememiliki karakter kepemimpinan yang
saling melengkapi satu sama lainnya. Kiprah kepemimpinan mereka menjadi
referensi dalam praktik kepemimpinan di lingkungan Polri, saya sendiri
membingkainya menjadi referensi berguna dalam meningkatkan kapasitas
leadership. Jejak sejarah
Pak Hoegeng saat memimpin institusi kepolisian, secara jelas telah
menempatkan fungsi serta tugas Polri dalam masyarakat dan kehidupan
bernegara. Integritas institusi direpresentasikan oleh integritas pribadinya dengan
memberikan suri tauladan dalam sikap dan perbuatan. Mungkin ada yang berpikir
“aneh” dan “nyleneh” di kala sikap jujur dan baik itu berada dalam lingkungan
yang biasa abai terhadap kejujuran dan kebenaran. Tetapi pak Hoegeng tetap
“keukeuh” dengan sikapnya. Yakin dengan semua tindakannya karena didasari
oleh prinsip kejujuran. Walaupun penuh
risiko dan konsekuensi yang tentu telah diperhitungkan. Baginya sikap
“ikhlas” harus diwujudkan dengan perbuatan nyata bukan sekedar kata-kata. Dalam
mengelola organisasi Polri yang saat
itu belum sebesar sekarang ini, Pak Hoegeng telah mengarahkan insititusi ini
sejak awal sebagai lembaga yang melindungi dan mengayomi masyarakat.
Kolaborasi dan sinergisitas dengan Tentara Nasional Indonesia dan komponen
pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajiban negara dilakukan dengan
baik. Bahu membahu dalam melaksanakan amanat konstitusi yang sampai saat ini
terus berlangsung, menjadi satu cara efektif untuk menyelesaikan masalah
bangsa yang semakin berat dan kompleks. Dari Pak
Hoegeng, saya juga belajar tentang bagaimana kepemimpinan dan integritas
sangat penting bagi kami para aparat kepolisian. Pengalaman dan tindakan
nyata yang dipraktikkan Pak Hoegeng banyak menginspirasi generasi penerus
Polri. Nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan dalam kepemimpinannya yang
penting dan berguna adalah tentang kejujuran, kesetiaan pada kebenaran,
menjunjung tinggi nilai profesionalitas dan kecintaan pada profesi, yang
dijalankan Pak Hoegeng menjadi pelajaran yang tidak ternilai. Rangkaian
catatan hidup pak Hoegeng sangat berkesan dan bernilai. Pilihan sikapnya
dalam meniti karir di institusi Polri bisa menjadi materi penting penanaman
leadership dan integritas. Khususnya bagai taruna Akademi Kepolisian dan
pusat pendidikan Polri lainnya yang mempersiapkan calon-calon pemimpin Polri
mendatang. Mempelajari dan mengetahui dasar filosofi kebaikan para senior di
institusi, adalah cara pembelajaran paling efektif bagi mereka. Apalagi
senior mereka itu, adalah Pak Hoegeng, sosok yang diakui dan dikagumi banyak
orang, baik anggota Polri, maupun masyarakat biasa. Pak Hoegeng
adalah role model bagi institusi Polri dalam membangun dan
menginternalisasikan sistem nilai ideal pada program pendidikan, pengelolaan
sumber daya manusia dan pengaturan jenjang karir Polri. Dari sejarah lelaki
kelahiran di Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921 itu, saya memetik
pelajaran hidup terpenting dalam meniti karir. Bahwa dengan kejujuran dan
integritas tinggi, Pak Hoegeng tetap bisa meniti karir dengan baik dan sampai
pada level tertinggi, sebagai Kapolri. Kepada dia, saya dan seluruh anggota
Polri di Indonesia bisa meniru keberhasilan tersebut. Sikap hidup
sederhana dan taat azas yang berlaku pada organisasi , Pak Hoegeng memberi
contoh dengan melarang anaknya agar tak mendapat perlakuan istimewa karena
jabatan bapaknya. Tak hanya itu, dia menolak gaji ganda dan mobil dinas—meski
itu hak dia—serta memilih tinggal di rumah kontrakan tanpa penjaga. Urusan
menghindari benturan kepentingan saat menjabat, Pak Hoegeng malah menutup
toko kembang istrinya karena khawatir diborong oleh orang yang mencari muka. Selaku penegak
hukum, Pak Hoegeng pun tak pernah ragu membongkar kejahatan besar, termasuk
yang melibatkan aparat atau pejabat. Tak pernah surut menghadapi tantangan.
Pak Hoegeng tak silau pula oleh jabatan. Dia menolak jabatan duta besar
ketika Presiden Soeharto menghentikannya dari jabatan sebagai Kapolri. Lalu, apakah
Pak Hoegeng pemilik tunggal polisi yang baik di institusi Polri, seperti joke
lawas yang menyebut hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: Hoegeng, polisi
tidur dan patung polisi? Saya tidak sepenuhnya sependapat dengan klaim itu.
Sebab, masih banyak “Hoegeng-Hoegeng” lain di insitusi Polri, baik mereka
yang sudah purna tugas maupun yang masih aktif. Mungkin saja, mereka tidak
mencuat atau terekspose, karena juga memegang prinsip Pak Hoegeng, “sepi ing
pamrih rame ing gawe” yang dimaknai dengan: pengabdian dalam tugas adalah
ibadah, tidak perlu ekspose untuk pamrih. Pak Hoegeng,
terima kasih atas contoh baik dan dedikasimu. Saya bangga menjadi bagian
institusi yang pernah Jendral pimpin, dan berupaya terus menghidupkan sinar
kepemimpinanmu untuk tetap hidup hingga sekarang, nanti dan selamanya. Rastra
Sewakotama sepanjang masa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar