Kebijakan
Berbasis Bukti di Musim Pandemi Bahruddin ; Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan UGM; Research Fellow di University of Melbourne, Australia |
KOMPAS, 19 Agustus 2021
Bulan
Agustus ini rumah kita Indonesia genap berusia 76 tahun. Pemerintah mengajak
kita bersama berefleksi, berkomitmen, dan bergotong royong untuk ”Indonesia
Tangguh, Indonesia Tumbuh”. Tema perayaan kemerdekaan tahun ini menggugah
jiwa kebangsaan kita bersama untuk senantiasa optimistis walaupun di tengah
gempuran mematikan dari makhluk kecil nan cerdas yang bernama Covid-19. Duka
yang datang silih berganti memang sangat menyedihkan dan menyakitkan. Meski
demikian, di balik setiap kematian selalu tersimpan cahaya untuk penghidupan
selanjutnya. Demikianlah ajaran penting setiap perayaan Hari Kemerdekaan.
Pengorbanan para pahlawan merupakan fondasi kuat untuk kita tetap berkarya
demi Indonesia. Pada
umumnya, tema-tema perayaan hari kemerdekaan selalu terkait dengan upaya
untuk membangun politik harapan. Meminjam karya Martin Wolf (2019) dalam
bukunya yang berjudul The Politic of Hope Against the Politic of Fear,
politik harapan sangat diperlukan untuk meningkatkan imunitas kolektif sebuah
bangsa di tengah berbagai badai krisis yang menciptakan kerentanan kompleks.
Serangan Covid-19 beserta infodemiknya yang menyesatkan masyarakat perlu
dilawan dengan optimisme bersama. Walau ini memang tidak mudah karena data
menunjukkan kita memang sedang tidak baik-baik saja. Potret
ekonomi menunjukkan bahwa serangan virus Covid-19 telah membawa Indonesia ke
jurang resesi ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan minus selama dua
kuartal berturut-turut. Tren menurunnya angka kemiskinan juga harus terhenti karena
Covid-19. Angka kemiskinan naik dari 24,79 juta pada September 2019 menjadi
27,55 juta di September 2020 atau naik sebesar 0,97 persen (BPS, 2021).
Kondisi ini memaksa Indonesia turun kelas dari golongan negara berpendapatan
menengah ke atas (upper middle income country) menjadi negara berpenghasilan
menengah ke bawah (lower middle income country). Dari
sisi kesehatan, berbagai seri pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat
(PPKM) juga belum mampu menekan angka penularan Covid-19. Akibatnya, rumah
sakit dan tenaga medis kewalahan melayani pasien. Oksigen, obat-obatan, dan
vitamin juga sempat menghilang di pasaran. Kerentanan di bidang kesehatan ini
terkonfirmasi dengan meningkatnya angka kematian yang sempat menembus angka
psikologi 2.000 per hari. Budaya gotong royong Covid-19
memang sedang menguji daya lenting kita sebagai bangsa untuk melewati krisis.
Indonesia pasti tangguh menghadapi pandemi ini karena dibangun atas nilai
gotong royong. Budaya gotong royong merupakan ”benteng” abstrak yang telah
terbukti membawa Indonesia keluar dari berbagai krisis. Selama
pandemi ini, aksi solidaritas menolong sesama telah tumbuh di berbagai
penjuru Indonesia. Masyarakat meyakini bahwa sekecil apa pun aksi solidaritas
lebih baik daripada sekadar menunggu bantuan dari pihak lain. Kaum muda juga
menggunakan keterampilan digitalnya untuk aksi kedermawanan di dunia maya.
Berbagai platform digital telah menjembatani ribuan dermawan di Indonesia
untuk berbagi dengan sesama. Kuatnya
budaya gotong royong bangsa Indonesia terekam dalam studi CAF World Giving
Index 2021. Dalam studi ini, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai
negara yang paling dermawan. Pada masa pandemi, skor kedermawanan Indonesia
mencapai 69 atau meningkat 10 poin dari periode sebelum pandemi. Studi ini
menunjukkan bahwa geliat gotong royong yang terwujud dalam berbagai aksi
kedermawanan sosial merupakan asa untuk bangkit dari pandemi. Kebijakan berbasis bukti Gotong
royong merupakan nilai yang telah diwariskan sejarah bangsa Indonesia. Namun,
nilai ini tidak akan kekal tanpa upaya untuk merawatnya. Hadirnya pemerintah
untuk merawat nilai gotong royong merupakan suatu keniscayaan. Orasi-orasi
politik Presiden Soekarno dan juga perilaku keteladanan Mohammad Hatta
merupakan upaya merawat gotong royong masyarakat di masa kemerdekaan. Meski
demikian, kompleksitas dan perubahan sosial saat ini membutuhkan lebih dari
sekadar orasi-orasi politik dan keteladanan. Pemerintah harus merawat gotong
royong melalui tatanan pemerintahan yang baik, salah satunya adalah perumusan
kebijakan berbasis bukti (evidence-based
policy). Berbagai
studi menunjukkan bahwa salah satu manfaat dari perumusan kebijakan berbasis
bukti adalah untuk meningkatkan kepercayaan publik (OCED, 2017). Kepercayaan
publik sangat menentukan efektivitas pemerintahan untuk mendayagunakan sarana
yang tersedia (misalnya teknologi, keuangan, birokrasi, dan nilai gotong
royong) untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bersama. Nihilnya
kepercayaan publik tidak hanya menyia-nyiakan sarana yang dimiliki, tetapi
juga berkontribusi merusak budaya gotong royong. Padahal, gotong royong
merupakan modal sosial yang strategis bagi Indonesia untuk keluar dari
pandemi ini. Selain
spirit berbagi dalam menghadapi pandemi, budaya gotong royong juga perlu
diterjemahkan sebagai keterlibatan multi-aktor dari seluruh lapisan
masyarakat dalam penyusunan kebijakan berbasis bukti. Tidak hanya pemerintah,
tetapi juga swasta, akademisi, LSM, dan masyarakat memiliki andil dalam
membangun ekosistem pengetahuan dan inovasi yang mendorong terwujudnya
kebijakan berbasis bukti. Dengan demikian, kebijakan dan pembangunan akan
tepat sasaran, berdaya, partisipatif, dan inklusif untuk kesejahteraan
masyarakat. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah perlu memastikan bagaimana
Indonesia ke depan dapat tumbuh secara bersama-sama melalui kolaborasi
multi-aktor. Kebijakan
berbasis bukti mempermudah pemerintah mengomunikasikan proses kebijakan yang
kompleks ke publik. Saat ini, publik mengharapkan penjelasan rasional untuk
setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Kebijakan PPKM yang berseri-seri,
misalnya, bukanlah regulasi yang dinginkan baik pemerintah maupun masyarakat. Namun,
bukti-bukti akademis di sejumlah negara menunjukkan bahwa pembatasan
mobilitas harus dilakukan untuk mengendalikan penyebaran virus Covid-19.
Tanpa kepercayaan publik, PPKM tidak akan efektif untuk mengendalikan
mobilitas masyarakat. Selain
itu, kebijakan berbasis bukti juga menunjukkan bahwa pemerintah terus belajar
untuk menghadapi krisis yang berat ini. Berbagai ilmuwan mengisyaratkan bahwa
Covid-19 bukanlah virus terakhir yang menyebabkan pandemi. Pandemi lain
sangat berpotensi terjadi di masa mendatang. Pembelajaran
kolektif antara pemerintah dan masyarakat dalam siklus kebijakan berbasis
bukti menentukan sejauh mana bangsa ini siap menghadapi pandemi berikutnya.
Dengan demikian, derita dan duka yang saat ini kita alami bermakna untuk
menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang ”tangguh dan tumbuh”. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/kebijakan-berbasis-bukti-di-musim-pandemi/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar