Senin, 23 Agustus 2021

 

Kebijakan Berbasis Bukti di Musim Pandemi

Bahruddin ;  Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM; Research Fellow di University of Melbourne, Australia

KOMPAS, 19 Agustus 2021

 

 

                                                           

Bulan Agustus ini rumah kita Indonesia genap berusia 76 tahun. Pemerintah mengajak kita bersama berefleksi, berkomitmen, dan bergotong royong untuk ”Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh”. Tema perayaan kemerdekaan tahun ini menggugah jiwa kebangsaan kita bersama untuk senantiasa optimistis walaupun di tengah gempuran mematikan dari makhluk kecil nan cerdas yang bernama Covid-19.

 

Duka yang datang silih berganti memang sangat menyedihkan dan menyakitkan. Meski demikian, di balik setiap kematian selalu tersimpan cahaya untuk penghidupan selanjutnya. Demikianlah ajaran penting setiap perayaan Hari Kemerdekaan. Pengorbanan para pahlawan merupakan fondasi kuat untuk kita tetap berkarya demi Indonesia.

 

Pada umumnya, tema-tema perayaan hari kemerdekaan selalu terkait dengan upaya untuk membangun politik harapan. Meminjam karya Martin Wolf (2019) dalam bukunya yang berjudul The Politic of Hope Against the Politic of Fear, politik harapan sangat diperlukan untuk meningkatkan imunitas kolektif sebuah bangsa di tengah berbagai badai krisis yang menciptakan kerentanan kompleks. Serangan Covid-19 beserta infodemiknya yang menyesatkan masyarakat perlu dilawan dengan optimisme bersama. Walau ini memang tidak mudah karena data menunjukkan kita memang sedang tidak baik-baik saja.

 

Potret ekonomi menunjukkan bahwa serangan virus Covid-19 telah membawa Indonesia ke jurang resesi ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan minus selama dua kuartal berturut-turut. Tren menurunnya angka kemiskinan juga harus terhenti karena Covid-19. Angka kemiskinan naik dari 24,79 juta pada September 2019 menjadi 27,55 juta di September 2020 atau naik sebesar 0,97 persen (BPS, 2021). Kondisi ini memaksa Indonesia turun kelas dari golongan negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income country) menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income country).

 

Dari sisi kesehatan, berbagai seri pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) juga belum mampu menekan angka penularan Covid-19. Akibatnya, rumah sakit dan tenaga medis kewalahan melayani pasien. Oksigen, obat-obatan, dan vitamin juga sempat menghilang di pasaran. Kerentanan di bidang kesehatan ini terkonfirmasi dengan meningkatnya angka kematian yang sempat menembus angka psikologi 2.000 per hari.

 

Budaya gotong royong

 

Covid-19 memang sedang menguji daya lenting kita sebagai bangsa untuk melewati krisis. Indonesia pasti tangguh menghadapi pandemi ini karena dibangun atas nilai gotong royong. Budaya gotong royong merupakan ”benteng” abstrak yang telah terbukti membawa Indonesia keluar dari berbagai krisis.

 

Selama pandemi ini, aksi solidaritas menolong sesama telah tumbuh di berbagai penjuru Indonesia. Masyarakat meyakini bahwa sekecil apa pun aksi solidaritas lebih baik daripada sekadar menunggu bantuan dari pihak lain. Kaum muda juga menggunakan keterampilan digitalnya untuk aksi kedermawanan di dunia maya. Berbagai platform digital telah menjembatani ribuan dermawan di Indonesia untuk berbagi dengan sesama.

 

Kuatnya budaya gotong royong bangsa Indonesia terekam dalam studi CAF World Giving Index 2021. Dalam studi ini, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara yang paling dermawan. Pada masa pandemi, skor kedermawanan Indonesia mencapai 69 atau meningkat 10 poin dari periode sebelum pandemi. Studi ini menunjukkan bahwa geliat gotong royong yang terwujud dalam berbagai aksi kedermawanan sosial merupakan asa untuk bangkit dari pandemi.

 

Kebijakan berbasis bukti

 

Gotong royong merupakan nilai yang telah diwariskan sejarah bangsa Indonesia. Namun, nilai ini tidak akan kekal tanpa upaya untuk merawatnya. Hadirnya pemerintah untuk merawat nilai gotong royong merupakan suatu keniscayaan. Orasi-orasi politik Presiden Soekarno dan juga perilaku keteladanan Mohammad Hatta merupakan upaya merawat gotong royong masyarakat di masa kemerdekaan.

 

Meski demikian, kompleksitas dan perubahan sosial saat ini membutuhkan lebih dari sekadar orasi-orasi politik dan keteladanan. Pemerintah harus merawat gotong royong melalui tatanan pemerintahan yang baik, salah satunya adalah perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).

 

Berbagai studi menunjukkan bahwa salah satu manfaat dari perumusan kebijakan berbasis bukti adalah untuk meningkatkan kepercayaan publik (OCED, 2017). Kepercayaan publik sangat menentukan efektivitas pemerintahan untuk mendayagunakan sarana yang tersedia (misalnya teknologi, keuangan, birokrasi, dan nilai gotong royong) untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bersama.

 

Nihilnya kepercayaan publik tidak hanya menyia-nyiakan sarana yang dimiliki, tetapi juga berkontribusi merusak budaya gotong royong. Padahal, gotong royong merupakan modal sosial yang strategis bagi Indonesia untuk keluar dari pandemi ini.

 

Selain spirit berbagi dalam menghadapi pandemi, budaya gotong royong juga perlu diterjemahkan sebagai keterlibatan multi-aktor dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyusunan kebijakan berbasis bukti. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga swasta, akademisi, LSM, dan masyarakat memiliki andil dalam membangun ekosistem pengetahuan dan inovasi yang mendorong terwujudnya kebijakan berbasis bukti. Dengan demikian, kebijakan dan pembangunan akan tepat sasaran, berdaya, partisipatif, dan inklusif untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah perlu memastikan bagaimana Indonesia ke depan dapat tumbuh secara bersama-sama melalui kolaborasi multi-aktor.

 

Kebijakan berbasis bukti mempermudah pemerintah mengomunikasikan proses kebijakan yang kompleks ke publik. Saat ini, publik mengharapkan penjelasan rasional untuk setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Kebijakan PPKM yang berseri-seri, misalnya, bukanlah regulasi yang dinginkan baik pemerintah maupun masyarakat.

 

Namun, bukti-bukti akademis di sejumlah negara menunjukkan bahwa pembatasan mobilitas harus dilakukan untuk mengendalikan penyebaran virus Covid-19. Tanpa kepercayaan publik, PPKM tidak akan efektif untuk mengendalikan mobilitas masyarakat.

 

Selain itu, kebijakan berbasis bukti juga menunjukkan bahwa pemerintah terus belajar untuk menghadapi krisis yang berat ini. Berbagai ilmuwan mengisyaratkan bahwa Covid-19 bukanlah virus terakhir yang menyebabkan pandemi. Pandemi lain sangat berpotensi terjadi di masa mendatang.

 

Pembelajaran kolektif antara pemerintah dan masyarakat dalam siklus kebijakan berbasis bukti menentukan sejauh mana bangsa ini siap menghadapi pandemi berikutnya. Dengan demikian, derita dan duka yang saat ini kita alami bermakna untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang ”tangguh dan tumbuh”. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/kebijakan-berbasis-bukti-di-musim-pandemi/

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar