Senin, 23 Agustus 2021

 

Rejuvenasi Kemerdekaan

Azyumardi Azra ;  Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin Khalifa University, Qatar

KOMPAS, 19 Agustus 2021

 

 

                                                           

Tujuh puluh enam tahun kemerdekaan Indonesia. Banyak pencapaian terwujud yang boleh jadi tidak pernah terbayangkan oleh para pejuang dan pendiri republik. Indonesia hari ini dan ke depan sungguh beyond imagination. Indonesia di masa awal kemerdekaan 1945 dengan sekarang berjarak seperti bumi dan langit.

 

Tidak perlu mendaftar kemajuan yang dicapai selama 76 tahun kemerdekaan. Boleh jadi yang timbul complacency, merasa puas dengan semua pencapaian tanpa merasa perlu berusaha keras mencapai keadaan lebih baik agar NKRI makin dekat dengan cita kemerdekaan. Hal ini penting ditekankan. Apalagi pandemi Covid-19 terus berlanjut, membuat cita kemerdekaan makin jauh. Beruntung, negara-bangsa Indonesia masih punya modal persatuan, kohesi sosial, dan optimisme (Kompas, 18/8/2021).

 

Sambil mensyukuri pencapaian, patut dilakukan asesmen jujur, kritis, dan berani untuk melangkah lebih mantap ke depan. Dari asesmen itu segera tampak banyak hal masih jauh atau kian jauh dari cita kemerdekaan.

 

Parameter asesmen pencapaian, misalnya, ada pada tujuan kemerdekaan dalam Pembukaan UUD 1945: ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.

 

Berdasarkan parameter ini, jelas belum segenap bangsa Indonesia terlindungi. Jika tumpah darah Indonesia relatif terlindungi meski ada kekuatan adidaya dengan ambisi teritorial luar biasa ingin menguasai wilayah utara lautan Nusantara, sebaliknya masih banyak warga tidak terlindungi dalam kehidupan—mereka tertinggal, hidup masih dalam budaya pra-agraris.

 

Jumlah mereka berganda beserta warga yang hidup dalam budaya agraris—sebagian besar buruh tani. Jumlah mereka kian meningkat akibat Covid-19. Jika ada produk pertanian mereka, itu tidak bisa terlindungi dan terpasarkan dengan harga layak. Mereka jauh dari ”kesejahteraan umum”—salah satu tujuan kemerdekaan.

 

Kebanyakan mereka juga masih belum merepresentasikan kecerdasan bangsa. Mereka tertinggal dalam pendidikan yang lalu membuat mereka terbelakang secara ekonomi dan sosial. Sebaliknya ketinggalan ekonomi dan sosial membuat mereka terus terbelakang dalam pendidikan.

 

Indonesia agak beruntung karena selain mereka yang belum terlindungi dan belum tercerdaskan, ada lapisan warga yang secara ekonomi, pendidikan, dan sosial-budaya lebih baik. Sebagian adalah kelas atas dan lebih banyak kelas menengah. Mereka jadi tulang punggung kemajuan, pertumbuhan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat lewat gerakan masyarakat sipil.

 

Namun, kelas menengah tak selalu terlindungi hak politiknya. Banyak dari mereka tergabung dalam masyarakat sipil yang seharusnya dinamis dalam demokrasi. Kini banyak dari mereka termarjinalisasi dalam proses politik dan juga sering mengalami ”pelecehan dunia maya” karena bersikap kritis.

 

Sementara itu, dalam ”dunia Indonesia” sendiri, setelah 76 tahun merdeka, belum terwujud sepenuhnya ketertiban politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Pada dunia global, Indonesia juga belum mampu berperan signifikan untuk promosi kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

 

Ini ironis karena Indonesia adalah negara ekonomi terbesar dalam Organisasi Kerja Sama Islam; negara berpenduduk Muslim terbanyak; negara demokrasi terbesar ketiga di dunia; dan negara berpenduduk keempat terbanyak di dunia.

 

Mempertimbangkan semua fenomena itu, para pejabat publik dan semua pemangku kepentingan perlu melakukan rejuvenasi kemerdekaan. Usia NKRI 76 tahun belumlah tua jika dibandingkan banyak negara lain yang lebih berumur. Namun, usia 76 tahun memberi banyak pertanda urgensi ”rejuvenasi”, ”peremajaan kembali”, atau ”penguatan energi” untuk mewujudkan cita dan tujuan kemerdekaan.

 

Negara semacam Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Uni Eropa, atau China secara periodik melakukan rejuvenasi dalam perjalanan sejarah. Lazimnya wacana dan orientasi baru tentang rejuvenasi negara terutama terfokus pada sistem dan praksis politik yang menentukan arah perkembangan negara bangsa ke depan.

 

Dalam konteks itu, patut dipinjam kerangka Carnegie Europe tentang Six Ideas for Rejuvenating European Democracy (2019). Untuk rejuvenasi politik Indonesia guna penyegaran cita kemerdekaan bisa diajukan beberapa poin. Pertama, rekonsolidasi demokrasi dengan menghentikan kecenderungan peningkatan oligarki nepostik dan despotik. Fenomena ini berbahaya karena mengakibatkan rakyat semakin kehilangan banyak hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

 

Kedua, mengkaji ulang pemilihan pejabat publik lewat sistem pemilu dan pilkada serta ambang batas parlemen dan ambang batas presidensial. Sistem pemilu dan pilkada sekarang menyebabkan maraknya politik uang dan politik transaksional. Ketiga, penguatan parpol dan kultur politik demokrasi, perekrutan, dan promosi kader berdasarkan merit ketimbang nepotisme. Keempat, penguatan kembali masyarakat sipil yang mengalami marjinalisasi. Rekonsolidasi masyarakat sipil amat penting sebagai kekuatan moral dan pengimbang dalam proses politik.

 

Terakhir, penciptaan kembali keseimbangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Eksekutif yang terlalu kuat karena didukung koalisi politik amat besar berakibat hampir tak adanya check and balance. Pemerintah bisa leluasa menjauh dari cita dan tujuan kemerdekaan, lebih memprioritaskan kepentingan lingkaran politik sendiri ketimbang kepentingan negara-bangsa. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/rejuvenasi-kemerdekaan/

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar