Senin, 01 Maret 2021

 

Perangai Intelektual dan Kekuasaan

 Herlambang P Wiratraman  ;  Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

                                                        KOMPAS, 01 Maret 2021

 

 

                                                           

“All men are potentially intellectuals in the sense of having an intellect and using it, but not all are intellectuals by social function”

 

Antonio Gramsci, 1971

 

Indonesia bukan kurang intelektual dan cerdik pandai, melainkan terjadi proses penihilan kerja pencerdasan.

 

Dalam kasus Covid-19, sekalipun diingatkan epidemiolog, pemerintah merahasiakan sejumlah informasi terkait penanganan virus korona, agar tak menimbulkan kepanikan di publik (Kompas, 13/3/2020).

 

Tetapi, dampak sepuluh bulan berselang, angka konfirmasi positif dan kematian, terus melejit tinggi. Juga tingginya tenaga kesehatan yang meninggal, layanan rumah sakit darurat kian tak mampu menerima beban pasien.

 

Mengapa peran intelektual seakan hilang dalam menopang kebijakan negara menghadapi pandemi? Penyangkalan bahaya pandemi justru akan melahirkan dampak dan ancaman lebih besar yang merugikan bangsa di masa datang.

 

Penyangkalan bukan sebatas watak personal, atau kultural. Ia bertemali dengan relasi kekuasaan yang memengaruhinya. Ini yang menegaskan sudut struktural sebagai elemen penting, karena melekat dalam narasi formal penyelenggara kekuasaan melalui kebijakan.

 

Peran intelektual banyak dipengaruhi relasi kekuasaannya. Pelibatan ilmuwan dalam pengambilan kebijakan, tentu patut diapresiasi sebagai langkah maju memastikan kebijakan akan lebih bisa memberi kebermaknaan dan kemanfaatan di tengah masyarakat.

 

Tapi bagaimana bila pelibatan bersifat karikatif, sebatas kosmetik kekuasaan melegitimasi kepentingan modal dan politik dibanding perlindungan hak asasi warga?

 

Ini yang disebut praktik penjinakan. Praktik penjinakan intelektual dalam sejarahnya menampilkan beragam cara, dari yang represif, hingga pendisiplinan, ‘ideologisasi’ dan pemasungan karier akademik.

 

Riset sejarawan Abdul Wahid (2019) memperlihatkan kebijakan anti-kolonial dan revolusioner Soekarno dan proyek anti-komunis dan pembangunan Soeharto telah memanipulasi dan mengekang kampus sehingga secara substansial perburuk jaminan kebebasan akademik.

 

Bahkan, dalam risetnya ia menyebutkan hilangnya generasi intelektual masa Orde Baru, produk masa liberal dan kosmopolitan pada 1950-an (termasuk mahasiswa eksil).

 

Sementara mahasiswa pun dibatasi dan dilemahkan daya kritisnya. Puncaknya tatkala Menteri Pendidikan Daoed Joesoef mengeluarkan SK No 0156/U/ 1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan.

 

Itu sebabnya, Kemendikbud melalui Surat Edaran No 1035/E/KM/2020 yang mengimbau Pembelajaran secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja, sebenarnya mengulang cara normalisasi kampus ketika aksi demonstrasi menolak RUU Omnibus Cipta Kerja meluas.

 

Campur tangan politik kekuasaan dalam kebijakan pembatasan dan normalisasi kampus demikian sesungguhnya penjinakan yang berupaya mengingkari kebebasan ekspresi dan kebebasan akademik.

 

Profesionalisme

 

Warisan Orba telah membawa dampak besar, salah satunya kampus merefleksikan struktur sosial ‘organisasi priayi Jawa’ (Jadikan Siswohartono, 2004). Kampus bergeser jadi pelayan kekuasaan. Perangai intelektual feodalisme justru kian jamak ditemui, melekat di birokrasi kampus dan memperlihatkan peran abdi kekuasaan.

 

Intelektual hadir sebagai profesi, dan profesionalisme itulah yang jadi tameng justifikasi perannya. Dalam pendidikan hukum, tak sedikit fakultas hukum mengedepankan tujuan ‘profesionalisme yuris’ semata.

 

Dalam bukunya Peran Intelektual (1998), Edward Said mempertanyakan peranan intelektual di abad 20. Ia mengkritik intelektual yang menganggapnya sebagai profesi yang bertujuan material belaka.

 

Ancaman khusus intelektual saat ini, bukanlah otonomi kampus, bukan posisi pinggiran, bukan pula komersialisme pendidikan yang mengerikan, tetapi justru perangai profesionalisme.

 

Menurutnya, profesionalisme adalah bahaya laten yang dapat menurunkan derajat intelektual seseorang, bekerja layaknya tukang yang dilakukan untuk penghidupan, ‘antara pukul sembilan sampai pukul lima’.

 

Dalam struktur sosial feodalistik, kritik menjadi tabu dan bisa mengancam posisi intelektual. Itu sebab, Said mengecam kebiasaan kaum intelektual yang mengetahui sebuah kebenaran tapi memilih ‘diam’ dan apolitis. Ia khawatir muncul kontroversi dan menyulitkan kariernya.

 

Said membedakan profesionalisme dengan intelektual amatir. Intelektual amatir bergerak bukan karena keuntungan tertentu atau imbalan, tapi karena cinta pencarian ‘kebenaran ilmiah’, kepedulian dan keberpihakan.

 

Keberpihakan di sini terhadap kelompok lemah dan tertindas. Gramsci (1971) menyebutnya intelektual organik.

 

‘Kelas kambing’

 

Keteguhan ilmuwan kerap ‘dibayar mahal’. Kisah Socrates rela dipaksa minum racun karena tuduhan provokasi idealisme kaum muda terhadap kekuasaan. Begitu juga Giordano Bruno. Ia dibakar hidup-hidup karena menolak teori geosentris dan menawarkan teori heliosentris, Bumi mengorbit matahari.

 

Di Indonesia, Achmad Mochtar, ilmuwan dan dokter yang memimpin Laboratorium Eijkman, dipancung militer Jepang atas tuduhan menukar vaksin tipus dengan tetanus sehingga mengakibatkan kematian ratusan romusha.

 

Lemahnya perangai ilmiah paralel dengan pesatnya industri hoaks di negeri ini. Diperlukan ilmuwan tampil memperjuangan kesadaran publik, tak bisa sekadar ‘berada di menara gading’. Ia tak boleh membiarkan kebenaran diselewengkan. Kampus, lembaga riset, dan ilmuwan seharusnya menjadi benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan.

 

Sayangnya, krisis intelektual terjadi. Mengapa intelektual terbatas mempertaruhkan keilmuannya untuk penyelamatan ekologi, pembelaan HAM, atau pula perlawanan terhadap kesewenang-wenangan?

 

Bukankah, alih fungsi hutan lindung jadi kawasan tambang emas, meluasnya deforestasi di Kalimantan untuk ekspansi tambang maupun perkebunan sawit, atau penghancuran gunung karst purba untuk industri semen, melibatkan kaum intelektual? Sudah sedemikian lemah tak berdayakah intelektual di hadapan korporasi dan birokrasi pemerintahan?

 

Mereka tak sedang menjalankan intelektual sebagai profesi, atau profesionalisme. Meminjam istilah Romo Mangun, mereka ‘intelektual kelas kambing’, menghitung 4×4=20 karena kekuasaan.

 

Menguatnya rezim anti-sains, penjinakan dan ‘profesionalisme tukang’ kian diperburuk oleh perangai intelektual itu sendiri, yakni pembohongan dan pengsubordinasian sains untuk peradaban kemanusiaan dan ekologi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar